”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik
Membaca peta persaingan politik di Jawa Timur, setidaknya tersingkap tiga kekuatan politik dominan yang kerap berebut pengaruh.
Sulit terelakkan jika Jawa Timur akan menjadi arena persaingan politik paling kompetitif dalam penguasaan suara Pemilu 2024. Dominasi politik berbasis ideologi keagamaan dan kebangsaan tengah dipertaruhkan kekuatannya.
Sejarah pemilu menunjukkan, Jawa Timur kerap menjadi determinan bagi ajang pemilu di negeri ini. Masuk akal, dengan jumlah pemilihnya yang terbilang besar, kali ini sebanyak 31.402.838 pemilih, sekaligus menjadi provinsi terbesar kedua di negeri ini setelah Jawa Barat, maka penguasaan suara Jawa Timur sangat berkontribusi terhadap potensi kemenangan di level nasional.
Presiden Joko Widodo dalam dua pemilu sebelumnya membuktikan signifikansi politik Jawa Timur. Dalam Pemilu 2014, tatkala ia berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi mampu meraih 53,17 persen pemilih di Jawa Timur. Capaian hasil yang mirip dengan capaian pasangan ini di tingkat nasional (53,15 persen).
Pada Pemilu 2019, kontribusi Jawa Timur sedemikian signifikan, hingga menjadi salah satu penentu kemenangannya secara nasional. Saat itu, Jokowi secara mengejutkan memilih KH Ma’ruf Amin, ulama NU yang aktif di MUI, dikenal juga sebagai politisi PKB, sebagai pasangannya. Hasilnya, dukungan pemilih di Jawa Timur melonjak, pasangan ini mampu menguasai hingga dua pertiga pemilih (65,79 persen). Dukungan pemilih Jawa Timur kembali mengantarkannya sebagai pemenang pemilu nasional (55,49 persen).
Pada Pemilu 2024, arena politik Jawa Timur tetap menyedot perhatian. Tidak heran jika penentuan bakal calon presiden bersama wakilnya, menjadikan potensi penguasaan Jawa Timur sebagai salah satu pertimbangan. Tiga sosok teratas bakal calon presiden, baik Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, maupun Anies Baswedan, menjadikan Jawa Timur sebagai perhatian utama. Terbaru, upaya menyandingkan bakal calon presiden Anies dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, misalnya, tidak terlepas dari kalkulasi potensi penguasaan suara pemilih di Jawa Timur.
Begitu juga pertarungan perebutan 87 kursi legislatif tingkat nasional. Dari 11 daerah pemilihan yang terbentuk di Jawa Timur, tidak satu pun terlihat wilayah yang ”tidak bertuan”. Kekuatan antarpartai politik, yang selama ini memang memiliki tradisi penguasaan suatu wilayah, berkelindan dengan kekuatan sosok-sosok petarung politik yang juga selama ini menguasai arena persaingan. Tatkala keduanya, baik militansi partai politik maupun sosok politik, saling dipertarungkan, Jawa Timur tidak ubahnya sebagai ”medan pertempuran” (battle ground) politik.
Dalam kondisi persaingan semacam ini, pertanyaannya akankah perubahan penguasaan politik di Jawa Timur pada Pemilu 2024 terjadi?
Tiga kekuatan
Membaca peta persaingan politik di Jawa Timur, setidaknya tersingkap tiga kekuatan politik dominan yang kerap berebut pengaruh. Pertama, kekuatan ideologis paham keagamaan yang terepresentasikan dalam wujud keislaman Nahdlatul Ulama (NU), di Jawa Timur sudah memiliki jejak historis kuat membekas. Di arena politik, semenjak NU terjun dalam Pemilu 1955, tidak kurang dari 34,1 persen pemilih diraih. Proporsi tersebut mengantarkan NU sebagai pemenang di Jawa Timur, menguasai 20 dari 63 total kursi legislatif yang diperebutkan kala itu.
Pada pemilu era Orde Baru (1971-1997) dan pemilu di era Reformasi 1999, kekuatan Islam tetap terjaga. Kendati tekanan politik rezim Orde Baru sedemikian mengekang, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tempat kekuatan politik NU bernaung, mampu mempertahankan sedikitnya sepertiga bagian dari total pemilih di Jawa Timur. PPP juga kerap mempersulit langkah penguasaan Partai Golongan Karya (Golkar), kekuatan politik pemerintah. Bahkan, tatkala NU pada 1984 memilih kembali ke ”Khittah 1926” yang dengan sendirinya menjauhkan dari kehidupan politik, pemilih PPP bertahan dengan kekuatan 21,4 persen.
Baca juga: Napas Nasionalisme dan Tantangan Partai Religius
Setelah keruntuhan Orde Baru, hegemoni negara yang berlangsung tidak kurang dari 32 tahun, pada kenyataannya tidak mampu menghapus loyalitas rakyat Jawa Timur terhadap identitas dan ideologi partai. Pemilu 1999 menjadi bukti kokohnya bangunan keislaman NU di Jawa Timur. Kali ini kehadiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dilahirkan dari rahim NU, mampu mengumpulkan suara 35,5 persen pemilih, yang seolah mengulang kisah sukses Partai NU dalam Pemilu 1955.
Kekuatan kedua, nasionalis nonkeagamaan yang kini terepresentasikan pada para pemilih PDI-P. Barisan pendukung kekuatan nasionalis yang umumnya hasil reproduksi politik Partai Nasional Indonesia (PNI) ini juga tampak dominan. Pada Pemilu 1955, PNI berada pada posisi ketiga, memperoleh 22,8 persen atau 14 kursi.
Begitu pula pada pemilu selanjutnya, khususnya di era Reformasi, kekuatan nasionalis terbilang kokoh di Jawa Timur. Melalui PDI-P, 33,8 persen pemilih di Jawa Timur berhasil dikuasai. Penguasaan PDI-P itu berselisih tipis dari PKB yang menjadi pemenang.
Ketiga, kekuatan politik tandingan yang terbentuk di luar PKB dan PDI-P. Kekuatan politik yang cenderung tidak terpolakan pada kekuatan ideologis, baik keislaman maupun nasionalis, ini kemunculannya beriringan dengan semakin menguatnya posisi aktor politik dalam peta persaingan Jawa Timur. Dari sisi penetrasi politik, kehadirannya tidak lagi dapat dipandang sebelah mata karena makin signifikan jumlahnya.
Kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI, misalnya, melahirkan kekuatan politik Partai Demokrat di Jawa Timur. Begitu juga kekuasaan tokoh-tokoh ulama PPP dan penguasaan sejumlah wilayah kota oleh para tokoh politik lokal melalui Partai Golkar dan Partai Nasdem.
Dalam beberapa ajang pemilu terakhir, ketiga kekuatan politik ini bersaing ketat. Menariknya, persaingan melahirkan penguasaan di 38 wilayah kabupaten/kota yang kerap diidentikkan dengan benteng kekuatan kultur politik setempat.
Bagi partai berbasis keagamaan, misalnya, wilayah-wilayah kabupaten yang terkuasai, mulai dari kabupaten di kawasan tapal kuda, seperti Situbondo, Bondowoso, Jember, Pasuruan, Sidoarjo, hingga kawasan pantura, seperti Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, ataupun Sumenep di Madura, menjadi basis kekuasaan PKB.
Bagi partai berbasis nasionalis, wilayah-wilayah berbatasan dengan Jawa Tengah mulai Ngawi, Madiun, menyusur ke Selatan, seperti Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Blitar, Malang, Lumajang, Banyuwangi, dan kawasan perkotaan seperti Mojokerto, hingga Surabaya, jadi basis kemenangan PDI-P.
Selain dari wilayah tersebut, terdapat wilayah kemenangan kekuatan ketiga di Jawa Timur. Di sebelah selatan yang berbatasan dengan Jawa Tengah, seperti Pacitan, Ponorogo, hingga Magetan, terkuasai oleh Demokrat. Sementara sebagian wilayah Madura, mulai dari Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan kerap berganti-ganti penguasaan politik, baik di antara PPP, Gerindra, maupun Nasdem.
Dinamika 2024
Kendati setiap kekuatan politik membangun basis kekuatan dukungan di setiap daerah, tidak berarti politik Jawa Timur terbilang statis. Mencermati dinamika politik yang terus-menerus berlangsung, sesungguhnya peta persaingan kini semakin sengit terjadi.
Jika pada Pemilu 1999 kedua kekuatan politik, baik keagamaan maupun nasionalis, masing-masing menguasai sekitar sepertiga bagian pemilih Jawa Timur, hal ini kini mulai menyusut. Pada Pemilu 2019, PDI-P unggul dari PKB. Ini berbeda dari Pemilu 2014, di mana PKB meraih suara terbanyak di Jawa Timur.
Kemunculan kekuatan ketiga tidak hanya memperketat persaingan di setiap daerah pemilihan ataupun wilayah kabupaten dan kota, tetapi juga sangat mengancam basis kekuatan PKB ataupun PDI-P di Jawa Timur. Bukti bahwa beberapa wilayah kabupaten dan kota telah dikuasai, menunjukkan agresivitas penguasaan pemilih oleh Golkar, Demokrat, Nasdem, Gerindra, ataupun PPP dengan kekuatan tokoh politik lokal yang mereka miliki.
Itulah mengapa, dengan melihat sedemikian kompetitifnya peta persaingan politik yang terbangun dalam Pemilu 2024, bukan hal yang mustahil jika perubahan peta politik Jawa Timur akan terjadi.