Dalam lini sejarah penguasaan politik sejak reformasi, terdapat tiga pembabakan yang dapat dicermati terkait pola penguasaan partai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Sejak era reformasi tidak terdapat pola penguasaan partai yang ajek di lima kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam lima pemilu terakhir, yakni 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019, tidak ada partai yang bisa mempertahankan kemenangannya secara konsisten. Hal ini mengindikasikan provinsi ini memiliki arena politik yang cenderung terbuka.
Dalam lini sejarah penguasaan politik sejak reformasi, terdapat tiga pembabakan yang dapat dicermati. Pembabakan pertama dimulai dari pemilu pertama setelah reformasi, di mana kontestasi politik di tingkat nasional di provinsi ini didominasi oleh PDI-P. Pada pemilu tersebut, partai ini mampu meraih suara di atas 31 persen di tiap kabupaten kota. Bahkan, perolehan partai ini di Kota Yogyakarta menembus angka 42 persen kala itu.
Meski sedikit tergerus, dominasi PDI-P masih berlanjut di Pemilu 2004. Saat itu, partai ini mampu menguasai empat wilayah, yakni Kulon Progo, Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sementara itu, posisi PDI-P sebagai pemenang di Gunung Kidul mampu digeser oleh Partai Golkar yang mengantongi seperempat dari total suara di kabupaten ini.
Pembabakan kedua dimulai ketika pengaruh Partai Demokrat mulai merangsek. Pada Pemilu 2009, hampir semua basis partai nasionalis dikuasai Demokrat. Beberapa wilayah yang berhasil dikuasai meliputi Sleman, Kota Yogyakarta, dan Bantul. Selain fenomena Partai Demokrat, Pemilu 2009 juga menunjukkan kekuatan Partai Golkar mempertahankan kemenangan di Gunung Kidul.
Pemilu 2009 juga membukakan ruang bagi partai berbasis massa Islam. Hal tersebut terkonfirmasi dari kemenangan Partai Amanat Nasional (PAN) di Kulon Progo. Kemenangan PAN ini menjadi yang pertama semenjak reformasi dan menjadi preseden dinamika penguasaan di kabupaten ini.
Kembalinya PDI-P
Babak ketiga dari konfigurasi peta politik provinsi ini dimulai pada Pemilu 2014 dengan kembalinya dominasi PDI-P. Setelah tersingkir selama dua periode pemilu, pada Pemilu 2014, PDI-P mampu memenangkan suara pemilu legislatif pusat. PDI-P menyapu habis kemenangan di tiap kabupaten dan kota di DIY. Rerata perolehan suara partai ini pun relatif tinggi, bahkan di Kota Yogyakarta mencapai lebih dari 40 persen di Pemilu 2019.
Penguasaan politik PDI-P sejak reformasi juga tampak konsisten. Pasalnya, semenjak Pemilu 1999, DPRD Provinsi DIY selalu dipimpin oleh kader partai tersebut. Artinya, PDI-P secara konsisten mampu meraih kursi paling banyak di pemilu legislatif tingkat provinsi.
Tatkala PDI-P kembali berjaya, tidak demikian dengan Partai Demokrat. Mulai berkurangnya penguasaan politik Partai Demokrat di DIY salah satunya tak terlepas dari kontroversi UU Keistimewaan yang sempat mendapat perhatian mulai 2010. Saat itu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencoba mengatur pemerintahan DIY melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta. Salah satu isu yang muncul adalah pemerintah pusat ingin mereduksi kekuasaan politik Sultan sehingga Gubernur Yogyakarta akan dipilih melalui pemilu layaknya provinsi lain.
Besarnya legitimasi politik yang dimiliki Sultan HB X membuat isu pemilihan gubernur ini menjadi sangat sensitif. Tidak sedikit yang menganggap bahwa sikap Presiden SBY dan Partai Demokrat tidak selaras dengan masyarakat Yogyakarta. Tak ayal, meski akhirnya UU Keistimewaan DIY yang disahkan pada 2012 tetap memberi legitimasi politik dan hukum terhadap Sultan, kepercayaan masyarakat Yogyakarta terhadap Partai Demokrat tergerus.
Dominasi partai nasionalis
Dinamika penguasaan partai memberikan gambaran bahwa provinsi ini memiliki arena politik yang terbuka. Namun, jika ditilik lebih dalam, terdapat sebuah pola yang ajek dalam hal posisi ideologis konstituen di provinsi ini. Dari dua pola ideologi, yakni nasionalis dan religius, partai dengan napas nasionalis memiliki kekuatan yang lebih mengakar di tanah Yogyakarta.
Kuatnya pengaruh ideologi nasionalis ini terlihat konsisten di empat kabupaten kota, yakni Sleman, Bantul, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta. Sementara itu, tarikan ideologi di Kulon Progo lebih cair dengan munculnya kemenangan baik partai berhaluan religius ataupun nasionalis.
Namun, dominasi ini sedikit luntur di arena politik pada tingkat provinsi. Tak seperti di level nasional, dinamika partai di tingkatan ini lebih cair. Setidaknya, hal ini terlihat dari hasil pemilihan DPRD Provinsi DIY di dua pemilu terakhir. Walau PDI-P masih mendominasi, dengan perolehan 13 kursi, suara dari partai agamis tak bisa dibilang sedikit di Pemilu 2014. Dalam pemilihan tersebut, PAN memperoleh enam kursi dan PKS mendapat lima kursi di parlemen daerah. Perolehan tersebut lebih baik dibandingkan beberapa partai nasionalis, seperti Golkar dan Nasdem, yang mendapat empat kursi dan Demokrat yang memperoleh dua kursi.
Tren serupa terulang di Pemilu 2019. Meskipun PDI-P tetap bisa mempertahankan kekuatannya, dengan perolehan 17 kursi, di pemilihan ini PAN dan PKS mampu meningkatkan perolehan suara hingga dapat menempatkan tujuh kadernya di DPRD DIY. Selain itu, PKB juga berhasil mendorong keterpilihannya sehingga mampu mengamankan enam kursi untuk kadernya.
Idealnya, dominasi politik oleh kelompok tertentu akan melahirkan situasi yang lebih stabil. Stabilitas politik ini menjadi esensial dalam menjamin ekonomi untuk bisa bertumbuh. Namun, hal ini belum tampak dalam lanskap Yogyakarta.
Stagnasi ekonomi terlihat dari rendahnya produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita. Dari lima kota kabupaten, hanya Kota Yogyakarta yang memiliki PDRB per kapita cukup tinggi, sedangkan Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul memiliki PDRB per kapita tergolong rendah.
Masih minimnya perekonomian provinsi ini juga terlihat dari data tingkat kemiskinan. Alih-alih menurun, jumlah masyarakat miskin di provinsi ini bertambah. Data dari BPS menunjukkan, jumlah warga miskin di DIY ada di kisaran 448.000 jiwa di tahun 2019. Angka ini melejit hingga di atas 500.000 jiwa pada 2021.
Tantangan perekonomian dan kesejahteraan rakyat ini akan dihadapi partai-partai nasionalis di Pemilu 2024. Kuatnya dominasi partai nasionalis masih belum mampu membawa dampak signifikan bagi ekonomi masyarakat.
Stagnasi ini juga bisa jadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Masyarakat yang terimpit tekanan ekonomi pada suatu titik berpotensi menuntut adanya perubahan. Apabila impitan ekonomi berujung pada perubahan sikap politik, tidak menutup kemungkinan dominasi partai atau ideologi tertentu akan runtuh dan membuat peta politik di provinsi ini menjadi jauh lebih cair.