Corak Politik Kontras Metropolitan Surabaya dan Satelitnya
Secara politik dan ekonomi, wilayah Gerbangkertosusila memiliki perbedaan karakter di tiap-tiap kabupaten/kota di dalamnya. Isu politik dan ekonomi tetap berkelindan di dalam wilayah ini.
Secara ekonomi, kelindan antara Surabaya dan kabupaten/kota di sekitarnya bisa dibilang cukup erat. Dinamai Gerbangkertosusila atau Surabaya Raya dikenal menjadi wilayah aglomerasi terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek.
Namun, keselarasan di bidang ekonomi ini tak selalu terjadi dalam aspek dinamika politik, di mana terdapat corak politik yang cukup kontras antara kota metropolitan Surabaya dan wilayah satelitnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Gerbangkertosusila, singkatan dari Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan, menjadi salah satu simpul ekonomi yang penting di Jawa dan Indonesia.
Pada 2022, lebih dari 43 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Jawa Timur berasal dari wilayah aglomerasi tersebut. Tak hanya besar, ekonomi di kawasan ini juga bertumbuh dengan laju tinggi dan resilien, ditandai dengan cepatnya pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Secara ekonomi, kelindan antara Surabaya dan kabupaten/kota di sekitarnya bisa dibilang cukup erat.
Dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Timur, area Surabaya Raya memang terbilang metropolis. Hal ini salah satunya diindikasikan dengan tingginya masyarakat pekerja, dibandingkan dengan warga yang berusaha sendiri. Dari beberapa daerah di Surabaya Raya, hanya Lamongan dan Bangkalan yang memiliki jumlah pemilik usaha yang relatif tinggi.
Potensi Surabaya Raya sebagai salah satu hub perekonomian nasional ini pun disadari oleh pemerintah pusat. Bentuk dukungan pusat salah satunya tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Perkotaan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan.
Hadirnya regulasi ini menjadi sinyal bahwa wilayah ini tak hanya penting bagi Provinsi Jawa Timur, tapi juga memiliki posisi strategis di mata nasional.
Baca juga : Tinjau Ulang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya
Corak kontras politik
Menariknya, keharmonisan integrasi ekonomi justru dibarengi dengan corak politik yang relatif kontras. Secara tradisional, Kota Surabaya menjadi enklave bagi partai nasionalis di wilayah ini.
Pada Pemilu Legislatif 1999, sebagian besar daerah di Gerbangkertosusila dikuasai oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Di wilayah ini hanya Kota Surabaya dan Sidoarjo yang berhasil dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Pada pemilu selanjutnya di 2004, dominasi PKB semakin kentara. Saat itu partai ini mampu merebut Sidoarjo. Penguasaan ini membuat Kota Surabaya menjadi satu-satunya daerah di wilayah itu yang dikuasai partai nasionalis.
Penguasaan PKB di Gerbangkertosusila sempat terusik dengan gelombang kemenangan Partai Demokrat di Pemilu 2009. Pada pemilihan tersebut, partai ini mampu menggusur posisi PKB di beberapa wilayah seperti Kota Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik. Sementara itu, Bangkalan berpindah tangan ke Partai Gerindra dan Lamongan berhasil dikuasai oleh partai bernapas Islam, yakni Partai Amanat Nasional (PAN).
Tak berlangsung lama, peta politik di wilayah ini segera kembali bergeser di Pemilu 2014. Hal ini ditandai dengan mulai bangkitnya PKB di beberapa wilayah, seperti Sidoarjo dan Mojokerto serta keberhasilan PDI-P merebut kandangnya di Kota Surabaya.
Di beberapa wilayah lainnya, pemain baru berhasil menguasai, yakni Partai Golkar di Gresik dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Bangkalan.
Tren penguasaan partai yang menyerupai situasi di 1999 kembali menguat di Pemilu 2019. Di pemilu ini PDI-P mampu mempertahankan kemenangannya di Kota Surabaya sekaligus merebut kemenangan di Mojokerto.
Sebagai perwakilan golongan agamais, PKB mampu menguasai beberapa daerah, seperti Gresik, Lamongan, dan Sidoarjo. Sementara Bangkalan yang lebih sering diduduki partai Islam justru berhasil dimenangi partai berhaluan nasionalis, Gerindra.
Kontrasnya corak politik di wilayah ini semakin terlihat jelas jika melihat lebih dalam ke komposisi legislatif di tingkat kabupaten/kota.
Selaras dengan perolehan pada pemilu legislatif nasional, PDI-P menguasai nyaris sepertiga kursi legislatif di Surabaya. Tingkat penguasaan ini tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan partai besar lain seperti PKB, Golkar, Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sementara itu, dominasi PKB kentara di daerah-daerah seperti Sidoarjo, Lamongan, dan Gresik. Di daerah-daerah ini tingkat penguasaan kursi oleh PKB berkisar di angka 20 hingga 30 persen. Berkebalikan dengan komposisi di Surabaya, PDI-P hanya mampu memperoleh sekitar 10 persen di tiap daerah-daerah ini.
Baca juga : ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik
Wilayah dinamis
Selain kontras, histori penguasaan partai di tiap pemilu ini juga menunjukkan bahwa Gerbangkertosusila ini merupakan wilayah yang dinamis secara politik. Bisa dibilang, tidak ada daerah yang mampu dikuasai secara ajek oleh partai-partai yang berkontestasi.
Secara ideologi, hanya Kota Surabaya yang tampak konsisten. Selama lima pemilu pascareformasi, kota ini selalu dimenangi oleh partai-partai berhaluan nasionalis, yakni PDI-P dan Demokrat. Utamanya, dominasi PDI-P terlihat sangat kuat, dengan kemenangan dalam empat pemilu, yakni 1999, 2004, 2014, dan 2019.
Adapun daerah-daerah lain di wilayah aglomerasi ini lebih dinamis. Baik partai Islam maupun partai nasionalis sama-sama memiliki kans untuk memenangi pemilu. Meskipun demikian, dalam dua pemilu terakhir, kekuatan partai Islam relatif lebih kuat dibandingkan dengan partai nasionalis.
Kuatnya pengaruh partai nasionalis di Surabaya ini bisa jadi berkaitan dengan kondisi demografis di kota tersebut. Dibandingkan dengan daerah lainnya, kota ini bisa dibilang cukup heterogen. Artinya, jumlah populasi etnis dan pemeluk agama nonmayoritas relatif lebih banyak.
Sementara kondisi demografis di wilayah sekitarnya cenderung homogen. Hal ini terlihat dari proporsi golongan minoritas yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan warga yang tergolong dalam kelompok mayoritas.
Tak heran, partai bernapas Islam, yang lebih merepresentasikan kepentingan mayoritas, lebih mampu untuk membangun pengaruhnya hingga ke akar rumput.
Di balik gemerlap metropolis
Dinamisnya peta politik di Gerbangkertosusila ini justru bisa menjadi hal yang positif. Posisi status quo yang tidak aman akan membuat para aktor politik terus berupaya keras memikat hati para pemilih. Pasalnya, di balik gemerlap metropolis Surabaya Raya, masih banyak persoalan yang perlu mendapat perhatian lebih.
Salah satu persoalan dari wilayah ini adalah soal ketimpangan. Dalam hal tingkat pembangunan manusia, misalnya, terdapat ketimpangan cukup serius antara Surabaya dan kabupaten tetangganya, Bangkalan.
Data IPM pada 2022 menunjukkan, Surabaya memiliki skor IPM kategori tinggi dan Bangkalan masuk ke kategori skor rendah.
Selain soal kualitas manusia, terlihat juga ketimpangan ekonomi. Salah satu pertanda dari ketimpangan ekonomi ini adalah masih rendahnya PDRB per kapita.
Artinya, meskipun mampu menghasilkan keluaran ekonomi yang besar, mayoritas penduduknya masih memiliki pendapatan rendah. Utamanya, persoalan ini paling kentara di Kota Surabaya. (LITBANG KOMPAS)