Menguji Kultur Demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta
Pola perilaku memilih partai politik di DIY tak lepas dari sejarah proses demokratisasi yang berlangsung sejak awal era kemerdekaan.
Peran Sultan HB IX dan Keraton Yogyakarta yang berspirit nasionalis dan bersemboyan ”takhta untuk rakyat” telah mendidik rakyat Yogyakarta berdemokrasi sejak dini.
Dalam kurun tahun 1950-an, Yogyakarta (DIY) sudah pernah mengalami tiga kali peristiwa hajatan politik membangun demokrasi, yakni Pemilu Daerah 1951, Pemilu Nasional 1955, dan Pemilu Swapraja 1957.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ketiga pemilu itu berhasil dijalankan warga di Yogyakarta di tengah berbagai keterbatasan kemampuan dan anggaran pemerintah RI yang masih usia belia sebagai negara.
Pemilu nasional 1955 merupakan perwujudan dari Maklumat X Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945 tentang Partisipasi dan Pengorganisasian Masyarakat Dalam Bernegara Lewat Lembaga Partai Politik.
Setelah maklumat Hatta, berbagai partai tumbuh bagaikan ”jamur di musim hujan”. Ibu kota Jakarta dan Yogyakarta menjadi tempat berdiri dan pelaksanaan kongres partai-partai politik maupun organisasi massa.
Catatan M Nazir Salim dalam buku Membayangkan Demokrasi Menghadirkan Pesta, Ombak (2014), mengisahkan, warga Yogyakarta sebelumnya terbiasa berdemokrasi di tingkat lokal melalui pemilihan langsung di Dewan Kelurahan dan Majelis Permusyawaratan Desa.
Dewan Kelurahan adalah lembaga demokrasi lokal didasarkan atas Maklumat (Puro Pakualaman) Nomor 7 Tanggal 6 Desember 1945, sedangkan Majelis Permusyawaratan Desa adalah lembaga demokrasi lokal berdasarkan Maklumat Nomor 14 Tanggal 11 April 1946.
Fungsi dari Dewan Kelurahan tersebut adalah mewakili seluruh rakyat di dalam daerah perwakilannya untuk membicarakan permasalahan rumah tangga dan membuat aturan-aturan.
Keanggotaan dipilih oleh rakyat desa dengan perbandingan seratus orang diwakili satu orang. Dewan desa bisa menyampaikan mosi tidak percaya kepada pamong desa, dan apabila dianggap menyimpang, pamong bisa diberhentikan.
Institusi-institusi demokrasi lokal itu dibangun Sultan HB IX yang semula ditujukan untuk mengawasi kinerja pamong desa dalam membangun kesejahteraan masyarakat di tengah situasi kolonialisme yang menindas. Namun, dalam perkembangannya, membawa rakyat pada alam kesadaran berdemokrasi yang lebih dini dengan tetap dalam bingkai keraton Yogyakarta.
Tak hanya di tingkat lokal, Sultan HB IX sebagai Raja Keraton Yogyakarta juga mengembangkan demokrasi di tingkat regional. Salah satunya pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daerah di tingkat provinsi.
Studi PJ Suwarno menunjukkan bahwa Sultan HB IX naik takhta dengan membentuk perangkat-perangkat kelembagaan tingkat provinsi hingga desa untuk mendistribusikan kekuasaan.
Tengok pula sistem pemilihan kepala desa secara langsung yang diatur dengan Maklumat Nomor 15 Tahun 1946. Desa-desa di DIY telah menerapkan sistem pemilihan langsung dengan menggunakan bumbung (bambu) dan biting (lidi).
Sistem pemilihan langsung ini mengubah sistem sebelumnya yang dilakukan masyarakat Yogyakarta semasa pendudukan Belanda. Saat itu, hanya para pemilik tanah yang memiliki hak memilih kepala desa secara langsung. (Demokrasi sebagai Siasat, Tapak Politik Sultan HB IX, Bastian Widyatama, PolGov, 2017)
Dengan berbagai perubahan sosial itu, sistem birokrasi pemerintahan Yogyakarta mengalami perubahan secara ”revolusioner”. Secara filosofis, kekuasaan Keraton Yogyakarta yang ”tidak tersentuh” kemudian ”disentuhkan” oleh rajanya sendiri kepada rakyat.
Nalar berdemokrasi dikenalkan kepada rakyat dalam sebuah sistem feodal meski sejumlah pendapat menalar hal itu agar Sultan HB IX bisa ”membumi” ke ranah publik dan pada gilirannya mendapat pengakuan dari masyarakat.
Baca juga : Napas Nasionalisme dan Tantangan Partai Religius
Pemilih nasionalis dan Islam
Sulit memisahkan spirit nasionalisme dari pemilih Yogyakarta karena episode sejarah yang terbentuk dalam sejarah perjuangan kemerdekaan RI membawa semangat itu tertanam dalam diri warga Yogyakarta.
Sultan HB IX sebagai raja Yogyakarta bahkan dipercaya menjadi inisiator (selain Soeharto) dari peristiwa bersejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang membuat dunia memperhitungkan kemerdekaan RI.
Patut pula dicatat perpindahan ibu kota RI ke Yogyakarta 4 Januari 1946 karena situasi keamanan Jakarta yang rawan akibat kedatangan tentara Sekutu yang dibonceng NICA.
Perpindahan itu telah mengakibatkan pimpinan pusat partai-partai politik ikut pindah ke Yogyakarta. Letak Yogyakarta yang strategis dan sejarah pusat gerakan kaum revolusioner menjadikan Yogyakarta pilihan yang ideal.
Di tahun 1951 itu, Yogyakarta sudah menjadi kota pelajar, pusat pemerintahan, kota perjuangan, kota budaya, menjadi tujuan ribuan pelajar dari berbagai daerah. Disebutkan, banyak pendatang di Yogyakarta (DIY) yang saat itu sudah berpenduduk 1,8 juta jiwa.
Tak heran, Yogyakarta menjadi kota tempat kelahiran partai-partai, di antaranya Masyumi (7 November 1945), Partai Katolik (8 Desember 1923), PIR (10 Desember 1948), dan Partai Wanita Rakyat (6 September 1946).
Dengan latar suasana otonom-demokratis di kehidupan tingkat desa hingga provinsi, dan nuansa perjuangan kemerdekaan yang kental, tidak sulit bagi pemilih pemilu Yogyakarta untuk mengidentifikasi diri ke mana arah pilihan politik saat pemilu. Kemenangan PNI yang menonjol di catatan hasil Pemilu 1955 membuktikan kawasan ini merupakan pemilih nasionalis dan abangan sejak dulu.
Meski demikian, kalangan pemilih partai Islam juga menjadi kuda hitam di wilayah ini. Terbukti dalam Pemilu 1951, yang menggunakan sistem perwakilan/tidak langsung, justru Masyumi yang berjaya.
Banyak kalangan organisasi Islam laki-laki dan perempuan modernis Islam bergabung ke Masyumi saat itu. Bahkan, Kauman berhasil meloloskan satu-satunya perempuan tokoh Aisiyah Siti Zaenab Damiri yang menjadi satu-satunya perempuan anggota parlemen hasil pemilu 1951 dari 40 anggota DPR DIY.
Hal ini menunjukkan pemilih berbasis massa Islam juga memiliki pijakan kuat di Yogyakarta pada saat itu. Hal ini juga terus berlangsung hingga saat ini di mana partai Islam modernis seperti PAN senantiasa beroleh suara signifikan dalam pemilu era reformasi selain dominasi PDI Perjuangan.
Baca juga : Wilayah Loyal dan Tarian Dinamis Pantura
Pemilih pragmatis
Affan Gafar dalam buku Javanese Voters (1992) pernah menyimpulkan bagaimana perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam pola memilih pemimpin dalam masyarakat Yogyakarta.
Di tingkat desa, sistem pemilihan kepala desa yang sebelumnya terisolasi dalam ”satu kesatuan” masyarakat desa menjadi komunitas yang sangat terpolitisisasi di era Demokrasi Terpimpin, kemudian berubah lagi menjadi komunitas yang sangat dipengaruhi birokrasi di era Orde Baru.
Dalam berbagai perubahan itu, desa-desa di Yogyakarta terbukti ”kukuh” bersifat unik karena pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih berkomitmen pada penerapan nilai demokrasi di perpolitikan desa. Hal ini terutama pada daerah yang masih menerapkan pemilihan kepala desa (bukan lurah hasil penunjukan).
Perkembangan masyarakat akibat modernisasi dan teknologi komunikasi telah membuat sekat-sekat feodalisme yang masih tersisa semakin mudah diteropong dan diterabas pragmatisme.
Kini, paduan antara demokrasi dan tradisi aristokrasi itu telah berkembang ke arah yang semakin ”longgar”. Sultan Hamengku Buwono X yang menjadi tokoh sentral, baik karena kedudukan sebagai gubernur eksisting maupun posisinya sebagai raja, sejauh ini bertekad membangkitkan kembali Peradaban Unggul Yogyakarta dan Nusantara melalui ”Renaisans Budaya”. Hal itu, antara lain, diwujudkan dalam bentuk pembangunan daerah dan budaya melalui Dana Keistimewaan.
Di sisi lain, perkembangan masyarakat akibat modernisasi dan teknologi komunikasi telah membuat sekat-sekat feodalisme yang masih tersisa semakin mudah diteropong dan diterabas pragmatisme.
Dalam pergulatan antara feodalisme dan demokrasi semacam itu, pemilih pemilu di Yogyakarta akan kembali dihadapkan dengan pilihan politik yang semakin menantang. Apakah pilihan politiknya mencerminkan sebuah loyalitas kepada parpol nasionalis, abangan atau bergeser ke platform politik yang lain. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Memori Historis dan Kemenangan PDI-P di Mataraman Jawa Timur