Kejar Putusan Sengketa Hasil Pilpres, MK Hanya Libur Dua Hari Saat Lebaran
Mahkamah Konstitusi hanya libur dua hari pada hari raya Idul Fitri untuk mengejar putusan sengketa hasil Pilpres 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun di hari libur, delapan hakim konstitusi tetap bekerja. Baik hakim konstitusi maupun seluruh pegawai Mahkamah Konstitusi hanya mendapatkan libur dua hari, yaitu tanggal 10 dan 11 April 2024, yang bertepatan hari raya Idul Fitri 1445 Hijriah.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih saat dihubungi, Sabtu (6/4/2024), mengatakan, perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan presiden (pilpres) merupakan perkara yang bisa dikatakan khusus. Sebab, perkara itu menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia dan luar negeri.
Periode libur hari raya Idul Fitri tahun ini beririsan dengan waktu yang dimiliki MK untuk digunakan sebaik mungkin guna mendalami seluruh proses dalam persidangan pembuktian, termasuk menyiapkan sidang PHPU pemilu legislatif.
”Jadi, hari ini, besok, dan seterusnya, kecuali tanggal 10 dan 11 April, kami sudah sepakat tetap kerja. Mulai hari ini, setiap hakim mendalami bukti dari hasil persidangan pembuktian kemarin dan menyiapkan legal opininya untuk dibawa ke RPH (rapat permusyawaratan hakim),” kata Enny.
Baca juga: Hasil Akhir Pilpres Segera Diputus Delapan Hakim MK
Sesuai Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2024, perkara PHPU pilpres diputus paling lama 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam e-BPRK atau Buku Register Perkara Konstitusi daring. Sidang sengketa hasil pilpres dimulai 27 Maret 2024 dengan agenda pembacaan permohonan dari pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin), dan pasangan calon nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Baca juga: MK Putus Sengketa Pilpres pada 22 April
Sidang pemeriksaan kemudian dilanjutkan secara maraton pada 28 Maret 2024 dengan agenda mendengarkan jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu. Setelah libur akhir pekan, pada 1 April 2024, MK kembali menggelar sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi atau ahli yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 1.
Sidang dilanjutkan pada 2 April 2024 dengan mendengarkan keterangan saksi atau ahli yang diajukan pasangan calon nomor urut 3 dan pada 3 April 2024 mendengarkan keterangan saksi atau ahli dari KPU.
Pada 4 April 2024, mahkamah mendengarkan keterangan dari pasangan calon nomor urut 2. Dan, pada Jumat (5/4/2024), delapan hakim konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara itu mendengarkan keterangan dari empat menteri Kabinet Indonesia Maju.
Keempat menteri dimaksud adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Menurut Enny, sejak 6 April 2024, dipotong libur pada 10-11 April 2024, mahkamah akan terus menggelar RPH. Pada 16 April 2024 para pihak terkait bisa menggunakan haknya untuk menyerahkan kesimpulan selama persidangan secara tertulis. Mereka diberi waktu hingga pukul 16.00 WIB untuk menyerahkan dokumen tertulis kepada bagian kepaniteraan MK.
Hari ini, besok, dan seterusnya, kecuali tanggal 10 dan 11 April, kami sudah sepakat tetap kerja.
Terakhir, pada Senin (22/4/2024), delapan hakim konstitusi akan membacakan putusannya terhadap sengketa PHPU pilpres yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 1 dan 3 itu.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Universitas Islam Indonesia Dian Kus Pratiwi berpandangan, tidak liburnya hakim konstitusi dan para pegawai MK pada hari Lebaran memang konsekuensi dari aturan yang mengikat MK untuk memutus perkara sengketa hasil pilpres dengan jangka waktu 14 hari.
Baca juga: Hakim MK Tanyakan Penggunaan Bansos, Ingin Buka Cawe-cawe Presiden
Hal itu diatur dalam Pasal 87 Huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 475 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2024.
”Menjadi hal yang sangat memungkinkan apabila hakim MK maupun pegawai MK untuk lembur di dalam cuti bersama yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu dari 6 April hingga 15 April 2024, untuk mengejar mempersiapkan RPH sekaligus putusan yang akan diucapkan pada 22 April mendatang,” ujar Dian.
Dengan waktu yang sangat mepet, menurut Dian, adalah hal wajar jika saat ini MK mengebut untuk mempersiapkan dengan sebaik-baiknya putusan terkait PHPU pilpres. Adapun terkait hak-hak pegawai yang tetap masuk pada hari libur, hal itu pasti telah diperhitungkan dan menjadi kebijakan internal dari MK.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, berpandangan senada. Menurut dia, soal MK tidak libur itu memang karena konsekuensi tenggat untuk penyelesaian sengketa hasil pilpres hanya 14 hari sejak perkara diregistrasi.
Baca juga: Bersifat Final dan Mengikat, Apa Saja Ragam Putusan MK?
Rentang waktu itu termasuk sangat pendek jika dibandingkan dengan beban pemeriksaan dan analisis terhadap bukti-bukti yang dihadapkan di persidangan.
”Hakim konstitusi sekarang harus memeriksa hubungan antara bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan dan dalil yang dikemukakan. Itu pasti membutuhkan waktu, apalagi ada dua permohonan,” kata Khairul.
Khairul menambahkan, dengan adanya dua permohonan itu, MK harus menilai dua perkara sekaligus dengan mempertimbangkan dua alat bukti. Hakim juga harus menilai apakah alat bukti yang dihadirkan itu relevan atau tidak dengan dalil-dalil yang diajukan pemohon.
”Menganalisis itu membutuhkan waktu. Dan, saya kira konsekuensi tidak cuti menjadi suatu keharusan. Kalau tidak, malah bisa keteteran dan MK bisa dituduh tidak serius dalam menangani sengketa hasil pilpres,” katanya.
Substansi pemeriksaan
Terkait dengan substansi pemeriksaan perkara PHPU pilpres itu, Dian menilai masyarakat telah mengikuti bersama seluruh rangkaian pemeriksaan yang dihadirkan di muka persidangan. Keterangan-keterangan yang disampaikan itu nantinya diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi MK untuk memutus PHPU pilpres dengan memenuhi rasa keadilan.
”Selama ini tantangan yang dihadapi oleh MK tidak hanya sebagai Mahkamah Kalkulator yang secara kewenangan MK hanya berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi),” ujar Dian.
Namun, lebih dari itu, MK juga diharapkan mampu menjadi Mahkamah Kualitatif untuk menilai apakah pemilu telah dilaksanakan sesuai dengan prinsip konstitusi, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh sebab itu, MK benar-benar harus berperan sebagai penjaga konstitusi dan penjaga demokrasi di Indonesia.
Menurut Khairul Fahmi, melihat persidangan yang berlangsung di MK, pemohon nomor urut 1 dan 3 memang tidak banyak mendalilkan selisih angka hasil pilpres. Mereka lebih banyak bicara aspek penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
Baca juga: Wanti-wanti Wapres, Pemilu Luber Jurdil, dan Perintah Konstitusi
Ada dua titik pandang yang berbeda antara pemohon pasangan calon Amin dan Ganjar-Mahfud dengan KPU dan pihak terkait. Karena itu, wajar jika ada pandangan KPU dan penilaian pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, bahwa dalil-dalil yang diajukan pemohon lemah dan tidak terbukti dalam persidangan.
”MK sudah memberi ruang yang memadai bagi para pihak terkait untuk membuktikan dalil-dalilnya. Apakah MK akan memutus permohonan dikabulkan atau ditolak, tentu kami belum tahu,” kata Khairul.
Walakin, Fahmi berpandangan bahwa dalam sejarahnya MK pernah melihat, menilai, dan menulis hal-hal yang bersifat kualitatif dari pelanggaran pemilu. Salah satunya berkaitan dengan aspek pelaksanaan pemilu yang jurdil.
Jika MK konsisten, peluang permohonan dikabulkan terbuka. Namun, opsi untuk ditolak juga dimungkinkan.
”Semua kemungkinan tergantung keyakinan hakim. Bagaimana MK menilai bukti-bukti keterangan saksi dan termasuk keterangan menteri yang hadir di persidangan MK kemarin itu,” jelasnya.
Baca juga: Merunut Rekam Jejak Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres
Khairul menegaskan, proses peradilan konstitusi di MK memang akan berfokus pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak. Hakim konstitusi lalu menilai bukti-bukti itu dengan dalil.
Hakim memang tidak boleh mengambil putusan berdasarkan opini dan pandangan dari luar. Putusan hakim ditentukan oleh alat-alat bukti di persidangan.
”Penilaian hakim terhadap kondisi di luar seperti amicus curiae atau sahabat pengadilan itu sudah tecermin dalam suasana di persidangan. Tetapi, tetap, apa yang ada di dalam persidangan (adalah) yang menjadi pertimbangan bagi MK untuk memutus hal tersebut,” kata Khoirul.
Baca juga: Gelombang Kritik yang Berujung pada Legitimasi Pemilu
Lebih lanjut, saat ditanya terkait komposisi hakim yang terdiri dari delapan orang, apabila keputusan imbang seperti 4:4, menurut Khairul, sikap dari Ketua MK Suhartoyo yang akan menjadi penentu keputusan akhir.
Posisi Ketua MK memiliki porsi yang lebih besar daripada anggota lainnya. Oleh sebab itu, apa pun sikap dan pandangan dari Ketua MK akan menjadi penentu hasil akhir putusan yang menentukan legitimasi Pemilu 2024 ini.