logo Kompas.id
Politik & HukumBersifat Final dan Mengikat,...
Iklan

Bersifat Final dan Mengikat, Apa Saja Ragam Putusan MK?

Putusan MK bakal melegitimasi hasil pemungutan suara. Sah tidaknya kemenangan capres-cawapres pun ada di tangan MK.

Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
· 5 menit baca
Sembilan hakim konstitusi dalam sidang lanjutan sengketa perselisihan hasil pemilu  pilpres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Sembilan hakim konstitusi dalam sidang lanjutan sengketa perselisihan hasil pemilu pilpres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6/2019).

Tak lama lagi mata mayoritas masyarakat Indonesia akan tertuju ke Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini menjadi pemutus akhir sengketa hasil pemilihan umum, baik pemilu presiden maupun pemilu legislatif. Putusan MK bakal melegitimasi hasil pemungutan suara yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Bahkan, sah atau tidaknya kemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden juga berada di tangan MK.

Merujuk pada hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, unggul atas dua pasangan calon lainnya. Sampai saat ini Prabowo-Gibran juga masih memimpin perolehan suara menurut hasil penghitungan (real count) sementara Komisi Pemilihan Umum.

Jika pada akhirnya Prabowo-Gibran meraih suara terbanyak melebihi 50 persen plus 1 dari total suara sah nasional, KPU tentu akan menetapkan pasangan ini sebagai capres dan cawapres terpilih. Namun, penetapan KPU itu bukanlah akhir karena masih bisa digugat di MK.

Baca juga: Memahami Perihal Sengketa Pilpres 2024 di MK

MK tentu akan menggelar persidangan jika pasangan capres-cawapres lainnya, yakni Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mengajukan keberatan terhadap hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU. Berdasarkan pemberitaan media hingga saat ini, tiap-tiap kandidat bersama tim hukum pemenangan paslon yang perolehan suaranya tertinggal, baik versi hitung cepat maupun real count KPU, menyatakan akan maju ke MK.

Membawa hasil perhitungan versi mereka dan dalil kecurangan pemilu yang selama ini disebutkan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Perlu diketahui, apa pun sikap MK terhadap dalil keberatan tersebut, putusan lembaga ini bersifat final dan mengikat. Tak ada upaya hukum lain untuk mempersoalkan sengketa hasil pemilihan setelah dari MK.

Pihak termohon, KPU, menunjukkan dan menyerahkan alat bukti kepada hakim MK saat sidang sengketa perselisihan hasil pemilu Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/6/2019).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pihak termohon, KPU, menunjukkan dan menyerahkan alat bukti kepada hakim MK saat sidang sengketa perselisihan hasil pemilu Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/6/2019).

Hal tersebut termaktub secara jelas di dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Pasal ini juga menjadi dasar kewenangan MK menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).

Adapun pasal itu berbunyi, ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Baca juga: Tak Cukup 14 Hari Tangani Sengketa Pilpres, Hakim Perlu Buat Terobosan

Sebelum memasuki masa-masa penanganan sengketa pemilu yang akan dimulai setelah KPU menetapkan hasil pemilu 20 Maret, ada baiknya mengenal sedikit tentang beberapa ending dari perkara PHPU.

Mengacu pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara PHPU Anggota DPR dan DPRD, khususnya Pasal 57, ada tiga jenis putusan MK, yakni putusan, putusan sela, dan ketetapan. Hal serupa juga diatur di dalam PMK 3/2023 tentang PHPU Calon Anggota DPD dan PMK 4/2023 tentang PHPU Pilpres, tetapi dalam pasal yang berbeda.

https://cdn-assetd.kompas.id/xNALuZmSQOid5YmEYPS5ynyu91E=/1024x1381/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F08%2F6273bc11-e699-42b6-9721-8a724fe14c50_png.png

Putusan pun bervariasi amarnya, yaitu amar putusan ”permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard)” apabila pemohon ataupun permohonannya tidak memenuhi syarat; ”permohonan dikabulkan” apabila permohonan terbukti beralasan hukum. Dalam hal permohonan tersebut dikabulkan, MK kemudian membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU kemudian menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

Adapun jenis amar putusan ketiga adalah ”permohonan ditolak” apabila permohonan terbukti tidak beralasan. Dalam perkembangannya, MK juga mengeluarkan putusan ”mengabulkan permohonan sebagian” apabila tak seluruh permohonan pemohon disetujui dan dikabulkan MK.

Iklan

Baca juga: Menko Polhukam: Semua Harus Siap Dengan Putusan MK

Petugas memeriksa alat bukti tambahan yang diajukan Partai Golkar dalam perkara perselisihan hasil pemilu umum legislatif 2019 di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (2/7/2019).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Petugas memeriksa alat bukti tambahan yang diajukan Partai Golkar dalam perkara perselisihan hasil pemilu umum legislatif 2019 di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (2/7/2019).

Sementara itu, ketetapan MK diterbitkan apabila pemohon dalam proses persidangan menarik permohonannya (sesuai ketentuan Pasal 35 UU MK). Penarikan permohonan tersebut memiliki konsekuensi bahwa permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali.

Putusan sela

Mengacu pada Pasal 60 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), putusan sela dijatuhkan apabila MK memandang perlu hal tersebut dilakukan. Putusan sela tersebut dapat berupa perintah kepada Komisi Pemilihan Umum ataupun pihak lain untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan obyek yang dipersengketakan.

Contoh pelaksanaan putusan sela yang dijatuhkan MK lebih banyak diberikan pada sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Biasanya amar putusan sela tersebut lebih digunakan dalam putusan PHPU pilkada.

Ada beberapa alasan mengapa MK menjatuhkan putusan semacam itu. Misalnya, putusan sela dalam perkara sengketa hasil pemilihan dalam Pilkada Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, tahun 2021 di mana salah satu calonnya, Orient Riwu Kore, terbukti masih berstatus sebagai warga negara Amerika Serikat. MK memerintahkan digelarnya pemungutan suara ulang di Sabu Raijua dengan mendiskualifikasi pasangan calon Orient Riwu Kore-Thobias Uly.

Baca juga: Keputusan MK Soal Pemungutan Suara Ulang Makin Bebani Sabu Raijua

Putusan sela berupa perintah pemungutan suara ulang juga dijatuhkan dalam perkara sengketa hasil Pilkada Nabire, Papua, tahun 2020. Alasan diperintahkannya pemungutan suara ulang adalah pencoblosan yang dilakukan sebelumnya tidak didasarkan pada daftar pemilih tetap (DPT) yang valid, tidak logis, dan tidak menggunakan sistem pencoblosan langsung.

https://cdn-assetd.kompas.id/ym75qGuBcunI2g3B-cUw60vq9C8=/1024x367/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F03%2F13%2F6f6d2ece-94b5-4395-a34b-fecbc2b5596c_jpeg.jpg

Selain pemungutan suara ulang, amar putusan sela juga diberikan MK apabila perlu dilakukan penghitungan suara ulang. Misalnya, pada Pilkada Sekadau, Kalimantan Barat, tahun 2021, MK memerintahkan penghitungan suara ulang semua pasangan calon di seluruh TPS (65 TPS) di Kecamatan Belitang Hilir, Sekadau, karena terdapat sejumlah suara yang tidak sah.

Baca juga: Manajemen Sidang MK yang Kian Tertib

Tak hanya di dalam pilkada, perintah penghitungan suara ulang juga pernah dijatuhkan dalam perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019. Saat itu MK mengabulkan permohonan keberatan atas keputusan rekapitulasi hasil suara KPU yang diajukan calon anggota legislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa untuk Kabupaten Pegunungan Arfak Daerah Pemilihan I.

MK menemukan adanya kesalahan pencatatan suara baik untuk partai maupun caleg. Demi kepastian, penghitungan suara ulang pun perlu dilakukan.

https://cdn-assetd.kompas.id/OGu8Njf4Oem0IzP9v18I_ylDzLg=/1024x346/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F03%2F13%2Fd287eee9-4a3b-4523-9c69-5fe7ec421248_jpeg.jpg

Hal-hal di atas hanyalah beberapa contoh putusan sela yang pernah dijatuhkan MK. Setelah putusan sela dijatuhkan, MK biasanya menyelenggarakan persidangan untuk mendengarkan laporan pelaksanaan putusan sela sebagai dasar dan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan akhir.

Khusus untuk sengketa pilpres, MK belum pernah sekali pun mengabulkan permohonan para kandidat.

Demikian sekelumit informasi mengenai beberapa peluang putusan MK apabila kandidat dalam pemilu baik calon presiden/wakil presiden maupun calon anggota legislatif mengajukan sengketa hasil pemilihan ke MK.

Editor:
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, ANITA YOSSIHARA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000