Ahli Kubu Prabowo Gibran, Margarito Kamis: Rezim Pilkada Berbeda dengan Pemilu
Putusan MK mendiskualifikasi calon Bupati Sabu Raijua pada Pilkada 2020 dinilai tidak dapat diterapkan untuk pilpres.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Margarito Kamis, ahli dari pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menilai rezim pemilihan umum berbeda dengan pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi tidak bisa mengambil perspektif yang digunakan ketika memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU pilkada untuk diberlakukan pada pemeriksaan pemilihan presiden.
Menurut Margarito, rezim antara pemilu dan pilkada adalah dua hal yang berbeda. Dilihat dari sejarah, perdebatan mengenai pemilu dan pilkada tidak muncul secara bersamaan. Perdebatan tentang pilkada muncul pada tahun 2000, sedangkan pemilu lima kotak baru dimulai pada September 2023 oleh mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Slamet Effendy Yusuf.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Saya berpendapat pilkada tidak dapat disamakan dengan pemilu, dengan konsekuensi Mahkamah tidak bisa menyamakan, tidak bisa mengambil perspektif-perspektif pilkada atau tindakan-tindakan yang telah dilakukan untuk pilkada diberlakukan di pemeriksaan pemilu. Itu tidak bisa karena rezimnya berbeda,” kata Margarito dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024).
Dengan demikian, katanya, putusan Mahkamah untuk mendiskualifikasi calon Bupati Sabu Raijua pada Pilkada 2020 tidak bisa diterapkan untuk pemilihan presiden. Tidak ada dasar hukum yang kuat untuk bisa memutuskan diskualifikasi kandidat di pilpres. Terlebih dasar hukum yang mengatur syarat calon yang diubah melalui putusan MK sudah langsung berlaku setelah diucapkan.
Sementara terkait pengangkatan penjabat kepala daerah, Margarito berpandangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengatur mengenai cara menentukan penjabat kepala daerah. UU No 10/2016 juga tidak mengatur bahwa Presiden harus menerbitkan peraturan pemerintah untuk menetapkan penjabat kepala daerah.
MK dalam Putusan Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK No 18/PUU-XX/2022, dan Putusan MK No 67/PUU-XX/2022 juga dianggap tidak memerintahkan pembentukan PP. Pembentukan aturan turunan hanya disinggung dalam pertimbangan, bukan amar putusan.
”Soalnya sekarang, di fakta jurnalistik yang saya temukan, ada persepsi seolah-olah pengangkatan penjabat-penjabat itu tidak sah karena tidak ada peraturan pemerintah. Padahal, undang-undang tidak memerintahkan pembentukan peraturan pemerintah,” tutur Margarito.
Di fakta jurnalistik yang saya temukan, ada persepsi seolah-olah pengangkatan penjabat-penjabat itu tidak sah karena tidak ada peraturan pemerintah. Padahal, undang-undang tidak memerintahkan pembentukan peraturan pemerintah.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo memiliki diskresi untuk mengangkat siapa pun menjadi pj kepala daerah. Presiden memiliki doktrin implied power atau impliedauthority dalam menentukan penjabat kepala daerah. Namun, dalam perkembangannya, pemerintah tetap melibatkan partisipasi dewan perwakilan rakyat daerah untuk menentukan tiga kandidat penjabat kepala daerah untuk dipilih oleh presiden.
Begitu pula kewenangan untuk memberhentikan jika tindakan penjabat kepala derah dianggap bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan tujuan pengangkatannya. ”Salahkah? Tidak. Nepotistikkah tindakan pemberhentian itu? Tidak. Saya berpendapat tidak,” kata Margarito.
Namun, Ketua Majelis Pemeriksa Suhartoyo mengatakan, putusan MK merupakan satu kesatuan antara pertimbangan dan amar.