Pesan Politik Jokowi di Balik Jenderal Kehormatan bagi Prabowo
Presiden Jokowi diingatkan, sekuat apa pun kedekatan psikologis yang dibangun, akan dikalahkan kepentingan partai.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengamat politik menilai ada pesan politik tersendiri dalam pemberian pangkat jenderal kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto oleh Presiden Joko Widodo. Jokowi dinilai ingin ”menanam jasa” bagi Prabowo yang dianggap akan menjadi presiden selanjutnya. Hal ini mengingat ada berbagai program Jokowi yang perlu dituntaskan.
Namun, Presiden Jokowi juga diingatkan bahwa situasi politik tidaklah selalu linier. Sekuat apa pun kedekatan psikologis yang telah dibangun antara dirinya dan Prabowo, sangat mungkin dikalahkan oleh kepentingan yang dibangun secara kelembagaan oleh partai politik.
Status keanggotaan Jokowi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan masih belum jelas setelah memilih berseberangan dengan partai itu dalam Pemilihan Presiden 2024.
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (FISIP UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (28/2/2024), mengatakan, pemberian pangkat jenderal kehormatan ini tentu merupakan suatu kebanggaan bagi Prabowo.
Menurut Bakir, di TNI, mendapatkan gelar jenderal adalah sebuah kebanggaan dan menjadi mimpi setiap prajurit. ”Jadi, secara psikologis, tentu memberikan dampak, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Tetapi, sejauh mana kemudian itu mengikat terhadap kerja berikutnya, itu kita bisa lihat nanti,” ujar Bakir.
Baca juga: Disaksikan Para ”Bintang”, Presiden Angkat Prabowo Jadi Jenderal Kehormatan
Jika dilihat seusai kontestasi Pilpres 2019, terutama sejak proses pencalonan presiden-wakil presiden di 2024, hubungan antara Jokowi dan Prabowo bisa dibilang cukup intim. Apalagi, Prabowo memiliki komitmen untuk melanjutkan program Jokowi.
”Jadi, itu adalah bagian dari bentuk intimasi sebenarnya antara Jokowi dan Prabowo yang ke depannya, versi quick count(hitung cepat) sampai sekarang, adalah pemenang (Pilpres 2024). Apalagi, menitipkan Gibran (cawapres Prabowo sekaligus putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka) di dalamnya, itu adalah semacam senyawa yang kemudian memperkuat relasi Jokowi dan Prabowo,” ucap Bakir.
Baca juga: Presiden: Pemberian Kenaikan Pangkat Istimewa Prabowo Bukan Transaksi Politik
Bukan tidak mungkin, Bakir melanjutkan, langkah Jokowi memberikan pangkat kehormatan ke Prabowo ini juga sebagai bagian dari upaya ”menanam modal”. Dengan begitu, Prabowo juga akan selalu ingat terhadap jasa Jokowi. Pesan politik ini dianggap penting karena Jokowi juga perlu memastikan Prabowo bisa mengawal dan menyelesaikan segala programnya.
”Salah satu caranya mungkin lewat pendekatan yang lebih ke psikologis atau personal tadi (dengan pemberian pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo). Tetapi memang politik ini, kan, tidak linier, tidak final, selalu zig-zag. Apa yang kita bayangkan hari ini bisa bersama, nanti sore juga bisa kemudian bersaing. Jadi, inilah kondisi atau realitas perpolitikan kita,” kata Bakir.
Namun, menurut Bakir, itu hanyalah bersifat psikologis personal. Pertimbangan personal atau psikologis ini nanti bergantung pada perkembangan yang akan dihadapi oleh presiden terpilih nanti, misal Prabowo, jika memenangi Pilpres 2024.
Politik ini, kan, tidak linier, tidak final, selalu zig-zag. Apa yang kita bayangkan hari ini bisa bersama, nanti sore juga bisa kemudian bersaing.
Perlu diingat, dalam penerapan kebijakan ke depan, presiden terpilih nantinya dipastikan akan banyak menerima pertimbangan-pertimbangan lain dari partai politik, terutama yang di DPR. Sementara Jokowi belum definitif, apakah masih di PDI-P atau bakal pindah partai.
”Jadi, kekuatan personal itu pada akhirnya tentu akan kalah oleh kepentingan kolektif yang dibangun secara kelembagaan oleh parpol. (Oleh) Karena itu, nanti banyak hal yang bisa dilakukan, termasuk misalnya presiden terpilih bakal cenderung merangkul semua kekuatan. Bahkan, musuhnya akan dirangkul untuk menjadi bagian menggerakkan program yang dicanangkan. Jadi, tidak secara otomatis kemudian muncul komentar terkait Prabowo nanti sepenuhnya di bawah kendali Jokowi,” kata Bakir.
Mengabaikan HAM
Secara terpisah, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, melihat pemberian bintang kehormatan bagi Prabowo ini lebih mengedepankan pertimbangan politik dan untuk kepentingan politik Jokowi. Kepentingan politik dimaksud adalah ingin ”menanam jasa” kepada Prabowo yang diproyeksikan oleh Jokowi bakal menjadi presiden selanjutnya.
Padahal, menurut Halili, pemberian bintang kehormatan itu juga tidak sah dan ilegal. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI tidak mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran. Bintang sebagai pangkat militer untuk perwira tinggi hanya berlaku untuk prajurit aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan.
Jika merujuk pada UU No 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, bintang yang dimaksud dalam UU tersebut adalah bintang sebagai tanda kehormatan. Bintang tersebut kemudian, menurut Pasal 7 Ayat 3 UU itu, terdapat berbagai macam.
Ragam bintang dimaksud meliputi Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa. ”Jadi, bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer,” tegas Halili.
Secara lebih spesifik, jika merujuk pada Peraturan Menteri Pertahanan No 18/2012 tentang Tata Cara Pengajuan Hak atas Penghormatan dan Penerimaan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bagi Prajurit dan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pertahanan, pemberian kenaikan pangkat ini juga merupakan tanda tanya besar.
Baca juga: Sematan Bintang dari Presiden bagi Mereka yang Berjasa
Dalam ketentuan umum peraturan itu, disebutkan bahwa kenaikan pangkat istimewa diberikan kepada PNS dengan prestasi luar biasa baik. Adapun kenaikan pangkat luar biasa (KPLB) diberikan kepada prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya.
”Dalam dua kategori ini, tentu Prabowo tidak masuk kualifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan tersebut,” ucap Halili.
Selain itu, pemberian bintang kehormatan sebagai pangkat militer perwira tinggi itu juga bermasalah. Prabowo pensiun dari dinas kemiliteran karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keputusan Presiden (Keppres) No 62/1998, bukan karena memasuki usia pensiun.
Alasan pemberhentian Prabowo ialah pertimbangan dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang menyebut Prabowo terlibat dalam penculikan aktivis pro-demokrasi pada masa Reformasi.
”Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu problematik. Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” tutur Halili.
Baca juga: Prabowo Subianto, dari Diberhentikan hingga Jadi Jenderal Kehormatan
Lebih dari itu, pemberian gelar kehormatan jenderal bintang empat kepada Prabowo ini juga dinilai merupakan langkah politik Jokowi yang menghina dan merendahkan korban dan pembela HAM, terutama dalam tragedi penculikan aktivis 1997-1998. Dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis itu sudah jelas dinyatakan oleh DKP, dan kemudian dituangkan dalam bentuk keppres.
”Negara jelas menyatakan bahwa Prabowo merupakan pelanggar HAM, berdasarkan keputusan negara. Maka, langkah politik Jokowi tersebut nyata-nyata bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo dan pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM yang hingga detik ini terus berjuang mencari keadilan,” tegas Halili.
Oleh karena itu, SETARA Institute menuntut Jokowi membatalkan pemberian bintang kehormatan kemiliteran untuk Prabowo. Jika tuntutan ini diabaikan, semakin jelaslah di ujung periode pemerintahannya, Presiden Jokowi justru lebih sering menampilkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum, melawan arus aspirasi publik, serta mengabaikan hak asasi manusia.