Gugatan Anwar dan Majelis Kehormatan MK yang Siap Menghadapinya...
PTUN Jakarta diingatkan untuk hati-hati dalam mengadili gugatan Anwar Usman. Perkara itu bukan tergolong perkara biasa.
Hingga 3,5 pekan menjelang hari pemungutan suara dan lebih kurang delapan pekan menjelang pelaksanaan sidang sengketa hasil Pemilihan Umum 2024, buntut persoalan etik dalam perkara pengujian syarat usia calon presiden dan wakil presiden, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, belum juga tuntas. Hakim Konstitusi Anwar Usman yang divonis melanggar etik berat dan diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK masih ”membanding” putusan Majelis Kehormatan MK tersebut.
Anwar menggugat Keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengangkatan Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai ketua lembaga penafsir tunggal konstitusi periode 2023-2028 ke Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN) Jakarta. Ia menilai keputusan MK tersebut yang didasarkan atas putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) tidak sah. Persoalannya, bagi Anwar, putusan MKMK tersebut bermasalah.
Putusan MKMK itu dijatuhkan atas gugatan para pelapor yang menduga ada konflik kepentingan pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/223. Putusan no 90 itu telah membuka jalan bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo dan juga keponakan Anwar Usman itu, maju sebagai calon wakil presiden.
Anwar kemudian menggugat surat keputusan MK itu ke PTUN Jakarta.
Baca juga: Ketua MK Anwar Usman Dijatuhi Sanksi Berat, Diberhentikan hingga Dilarang Mengadili
MKMK melalui putusannya nomor 2/MKMK/L/11/2023 mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK dan memerintahkan pemilihan ketua MK baru dalam waktu 2 x 24 jam dengan melarang Anwar untuk maju sebagai calon. Dalam putusannya, MKMK menyatakan bahwa Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik hakim MK atau Sapta Karsa Hutama.
Atas putusan tersebut, kesembilan hakim konstitusi pun menggelar rapat permusyawaratan hakim dan menyepakati Suhartoyo menggantikan Anwar Usman sebagai ketua. Anwar pun hadir dalam pengumuman kepada publik mengenai hasil kesepakatan tersebut. Namun, ia tak menghadiri pelantikan Suhartoyo sebagai Ketua MK pada 13 November lalu.
Belakangan, Anwar kemudian menggugat surat keputusan MK itu ke PTUN Jakarta. PTUN pun sudah menyidangkan perkara itu hingga tujuh kali, yaitu lima kali pemeriksaan persiapan (dismissal) dan dua kali untuk mendengarkan keterangan MKMK. Terakhir, sidang digelar pada Rabu (17/1/2024) dengan agenda mendengarkan sikap MKMK.
Meskipun gugatan masih berlangsung, Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengatakan, gugatan yang diajukan Anwar ke PTUN tidak mengganggu soliditas dan kinerja MK dalam mempersiapkan penanganan sengketa hasil pemilu.
”Membanding” putusan MKMK
Dalam berkas gugatan Anwar yang diperoleh Kompas, Anwar meminta PTUN untuk memerintahkan MK merehabilitasi nama baiknya dan memulihkan kedudukannya sebagai Ketua MK seperti semula sebelum diberhentikan. Ia juga meminta PTUN menjatuhkan putusan sela berupa perintah penundaan keberlakuan Keputusan MK No 17/2023 hingga ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal ini diminta untuk mencegah semakin besarnya kerugian yang sudah dialami Anwar.
Keputusan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab, keputusan tersebut didasarkan pada Putusan MKMK No 2/2023 yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur).
”Sangat tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya dan cenderung bersikap tendensius terhadap penggugat,” demikian kata Anwar dalam berkas gugatannya.
Dalam gugatan itu, Anwar menguraikan satu per satu isu dalam putusan MKMK yang ingin dibantahnya. Yang pertama, ia menilai proses pengambilan putusan MKMK melanggar dan bertentangan dengan Pasal 26 Ayat (1) Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023. Pasal tersebut mengamanatkan agar pemeriksaan pendahuluan (terhadap laporan etik) dilakukan dalam sidang pleno tertutup. Namun, oleh MKMK, pemeriksaannya dilakukan secara terbuka yang ditayangkan di media.
Kedua, MKMK juga dinilai telah salah dalam menerapkan hukum terkait kewajiban mengundurkan diri hakim jika memiliki benturan kepentingan. ”MKMK tidak dapat menerapkan ketentuan pengunduran diri, sebab hal tersebut tidak terdapat dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Dalil mempersamakan hakim konstitusi dengan hakim pada Mahkamah Agung dengan mengacu pada ketentuan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman tidak dapat dibenarkan,” demikian isi gugatan.
Penyamaan hakim konstitusi dengan hakim di bawah MA yang dilakukan oleh MKMK dipandang sebagai ”penyelundupan hukum”. Padahal, keduanya dipandang berbeda dan tidak sederajat.
Ketiga, Anwar juga mempersoalkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya yang tidak dikenal dalam Peraturan MK No 1/2023. Peraturan MK tersebut hanya mengenal tiga jenis sanksi atas pelanggaran etik, yaitu teguran lisan, teguran tertulis, dan pemberhentian tidak dengan hormat. ”Tidak ada ketentuan atau sanksi yang mengatur tentang pemberhentian dari jabatan sebagaimana amar Putusan MKMK Nomor 2/2023 diktum angka 2 sehingga putusan MKMK itu telah melebihi dari apa yang diatur dan ditentukan PMK No 1/2023,” katanya.
Anwar juga menilai bahwa pelanggaran atas prinsip ketakberpihakan dalam Sapta Karsa Hutama karena konflik kepentingan akibat hubungan kekerabatan juga keliru.
Keempat, Anwar juga menilai bahwa pelanggaran atas prinsip ketakberpihakan dalam Sapta Karsa Hutama karena konflik kepentingan akibat hubungan kekerabatan juga keliru. Sebab, perkara pengujian undang-undang—termasuk perkara 90— adalah perkara bersifat umum, bukan perkara yang bersifat pribadi atau individual. Putusannya pun berlaku erga omnes bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali dan bukan orang per orang tertentu.
”Penanganan perkara pengujian undang-undang tentunya tidak sama dengan peradilan biasa atau peradilan contentiosa, ada pihak penggugat dan tergugat yang memiliki kepentingan langsung (direct interest),” tulis Anwar dalam gugatannya.
Kelima, Anwar juga mempersoalkan putusan MKMK yang melarangnya menyidangkan perkara 141 yang menguji kembali Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah dimaknai oleh putusan 90. Putusan semacam itu telah bertentangan dengan konstitusi, juga melampaui kewenangan dengan mencabut hak Anwar untuk mengikuti persidangan.
Keenam, perihal putusan MKMK tentang Anwar yang disebut telah membuka ruang intervensi dari pihak luar pun ikut dibahas di dalam gugatan. Hal tersebut dinilai tidak benar dan terkesan mengada-ada. ”Sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan, tidak pernah ada alat bukti sah yang menunjukkan adanya keterlibatan pihak luar yang menyebabkan terbitnya putusan 90/PUU-XXI/2023,” demikian isi gugatan. Anwar juga mengaku tidak pernah ditanyai dan diklarifikasi tentang intervensi tersebut.
Baca juga: Ujian Kenegarawanan Anwar Usman Pasca-MKMK
Bukan perkara biasa
Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna saat ditemui di Jakarta, Kamis (18/1/2024) lalu, mengungkapkan, pihaknya sudah mengirimkan surat ke PTUN terkait pertanyaan yang diajukan PTUN, apakah MKMK akan menjadi pihak dalam gugatan Anwar. Menurut Palguna, MKMK punya kepentingan terhadap gugatan tersebut mengingat yang digugat adalah keputusan MK yang konsiderannya adalah putusan MKMK ad hoc pimpinan Jimly Asshiddiqie.
”Oleh karena itu, dengan sendirinya kita ada kaitan erat dengan pokok perkara gugatan,” ujarnya. Namun, terkait dengan bagaimana MKMK akan ditempatkan dalam perkara tersebut, ia menyerahkannya pada kebijakan majelis hakim PTUN untuk menentukannya.
Saat ditanya apakah dengan demikian MKMK membuka peluang bagi PTUN untuk menilai putusannya, Palguna membantahnya. ”Justru itu yang mau kita sampaikan nanti. Kan, itu putusan etik, tidak bisa diadili,” ujarnya.
Selain itu, gugatan Anwar Usman tersebut tidak bisa dipandang sebagai gugatan TUN biasa. Palguna mengingatkan, gugatan tersebut bisa berdampak besar karena menyangkut langsung praktik ketatanegaraan. ”Anda terbayang nggak apa yang akan terjadi dengan ini? Ini bukan seperti putusan pejabat atau TUN seperti kasus pembongkaran rumah, beda jauh. Ini langsung kaitannya dengan penegakan konstitusi dan UUD 1945. Itu poinnya mengapa kami merasa harus hadir di sana,” kata Palguna.
Tak hanya MKMK, Hakim Konstitusi Arief Hidayat tergelitik melontarkan pendapatnya terkait perkara di PTUN tersebut. Pemikirannya atas gugatan Anwar tersebut ia tuangkan di dalam concurring opinion atau alasan berbeda putusan perkara pengujian formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sudah dimaknai melalui putusan 90/PUU-XXI/2023. Perkara pengujian formil tersebut diajukan oleh dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar (perkara 145/PUU-XXI/2023).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat tergelitik melontarkan pendapatnya terkait perkara di PTUN tersebut.
Menurut Arief, keputusan MK mengangkat Suhartoyo sebagai ketua merupakan tindak lanjut dari keputusan MKMK dalam menegakkan rule of ethics. Putusan MKMK tersebut seyogianya bersifat final dan tidak seharusnya dilakukan upaya banding melalui mekanisme apa pun. Terlebih lagi, hasil kesepakatan rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang dituangkan dalam keputusan MK itu bukan keputusan tata usaha negara atau beschiking yang dapat dibatalkan oleh PTUN.
Ia merujuk pada definisi keputusan tata usaha negara di dalam Pasal 1 angka 9 UU No 51/2009 tentang PTUN, yaitu sebuah penetapan tertulis yang ditetapkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
”Dalam hal ini, hakim konstitusi yang melaksanakan tugas konstitusionalnya melakukan pemilihan ketua MK melalui sidang RPH, bukan merupakan pejabat tata usaha negara karena tidak melaksanakan fungsi administrasi negara dan tidak pula melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi ranah eksekutif. Oleh karena itu, keputusan MK sebagai tindak lanjut sidang RPH bukanlah merupakan obyek PTUN,” kata Arief.
Terhadap perkara yang saat ini berjalan di PTUN, Arief mengungkapkan, ”Saat ini, saya hanya dapat berbaik sangka pada majelis hakim PTUN yang mengadili perkara a quo agar dapat mengadili gugatan tersebut dengan seadil-adilnya sehingga apa yang saya khawatirkan tidak akan terjadi.”
Apa yang dikemukakan oleh Arief bahwa PTUN tak berwenang mengadili keputusan MK sudah dibantah Anwar Usman dalam gugatannya. Menurut dia, keputusan MK tersebut memenuhi syarat sebagai keputusan pejabat TUN sebab mengandung unsur-unsur penetapan tertulis, dikeluarkan oleh pejabat yang melaksanakan bidang yudikatif sehingga tergugat merupakan badan atau pejabat TUN, berisi tindakan hukum, serta bersifat konkret, individual, dan final. Selain itu, Keputusan MK No 17/2023 terkait pengangkatan Suhartoyo jadi Ketua MK sebagai obyek gugatan juga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dapat berefek negatif
Adapun Koordinator Masyarat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak sebaiknya Presiden Joko Widodo meminta Anwar Usman, yang juga adik iparnya, untuk menghentikan segala daya upaya melawan putusan MKMK melalui gugatan ke PTUN. Sebab, memperpanjang masalah tersebut justru berefek negatif terhadap Presiden Jokowi dan keluarganya.
”Gugatan itu sebaiknya dicabut saja. Sebab, kalau nanti dikabulkan, dapat menimbulkan gejolak lagi. Kalaupun tidak dikabulkan, malah terkesan menurunkan martabat Anwar Usman dan nantinya akan berpengaruh pada Jokowi,” kata Boyamin yang juga ayah dari Almas Tsaqibirru Re A, pemohon uji materi perkara 90.
Sementara itu, Anwar Usman saat ditemui pada 10 Januari 2024 lalu mengaku siap untuk hadir ke PTUN. ”Loh, saya kan warga negara yang paling taat asas, taat hukum. Coba lihat. Jangankan PTUN,” kara Anwar.
Berkenaan dengan hal tersebut, Boyamin hanya mengatakan, ”Yang Mulia Anwar Usman, sudahlah….”