Ujian Kenegarawanan Anwar Usman Pasca-MKMK
Ketua MK Anwar Usman diberhentikan MKMK. Ipar Presiden itu terbukti melanggar kode etik terkait putusan batas usia cawapres. Akan mundurkah dia seperti Arsyad Sanusi saat dinilai tak etis oleh MKMK dahulu?
Pelanggaran etik sembilan hakim Mahkamah Konstitusi atau MK menambah catatan kelam di lembaga yang dihuni oleh para negarawan tersebut. Mereka terbukti tidak bisa menjaga informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim terkait perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkenaan dengan batas usia calon wakil presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Tak cukup sampai di sana, Majelis Kehormatan Majelis Konstitusi (MKMK) turut memberhentikan Ketua MK Anwar Usman dari jabatannya. Ipar Presiden Joko Widodo tersebut terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik terkait putusan batas usia capres-cawapres, yang mana putusan tersebut menjadi jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Namun, ”nasi sudah menjadi bubur”. Akibat putusan MK yang final dan mengikat, MKMK pun tidak berwenang membatalkan putusan tersebut. Artinya, Gibran tetap bisa melenggang di Pilpres 2024 sebagai bakal cawapres, mendampingi bakal capres Prabowo Subianto.
Baca juga: Anwar Usman Dicopot, Syarat Batas Usia Diuji Lagi
Terlepas dari itu, fenomena ini cukup menjadi noktah hitam dalam sejarah hukum dan demokrasi. Pada 2011, sebenarnya pernah ada kasus serupa, saat seorang mantan hakim konstitusi, Arsyad Sanusi, terjerat kasus etik karena membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak berperkara. Demi menjaga keluhuran, kehormatan, kewibawaan, sekaligus kepercayaan publik kepada MK, Arsyad memilih mundur sebagai hakim konstitusi.
Berbeda dengan Anwar Usman yang ”pantang mundur” dengan situasi yang terjadi. Dalam jumpa pers pada Rabu (8/11/2023) di Gedung MK, Jakarta, ia justru mengungkapkan bahwa karier dan martabatnya sebagai hakim selama hampir 40 tahun telah dilumatkan oleh sebuah fitnah yang amat keji dan kejam melalui putusan MKMK.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, berpandangan, ketika Anwar Usman menyatakan hasil MKMK tidak benar, sebenarnya Anwar Usman memiliki tiga pilihan. Pertama, menerima putusan MKMK secara utuh dan mengikuti. Kedua, melakukan perlawanan sehingga publik bisa melihat sejauh mana dan apa dasar perlawanan Anwar Usman. Ketiga, memilih mengundurkan diri.
Jadi, ini merupakan uji kenegarawanan bagi Pak Anwar Usman.
”Jadi, ini merupakan uji kenegarawanan bagi Pak Anwar Usman. Pak Anwar Usman, kan, menyatakan ini adalah fitnah, ini adalah upaya character assassination (pembunuhan karakter), tetapi kita bisa mengingat beberapa waktu lalu, Pak Arsyad Sanusi, beliau ketika mendapatkan putusan MKMK, kode etik, langsung mengundurkan diri,” ujar Taufik dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Dampak Politik Putusan Etik MK” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (8/11) malam.
Selain Taufik, narasumber dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ronny Talapessy; Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid; anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto; dan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor.
Kemudian, hadir pula Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid; pakar hukum tata negara Bivitri Susanti; Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani; serta dosen politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani. Mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna hadir secara daring.
Taufik melanjutkan, ini bukanlah masalah orang per orang, bukan pula masalah Anwar Usman ataupun hakim konstitusi lain, melainkan ini masalah mau dibawa ke mana arah bangsa dan negara hukum ke depan. Untuk itu, ia berharap persoalan ini bisa segera dituntaskan, terutama perlu diungkap pula siapa pihak yang mencoba melakukan intervensi terhadap Anwar Usman terkait perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
”Kalau, misal, itu tidak tuntas, maka ke depan bisa saja intervensi kembali terjadi pada proses peradilan, pada proses bagaimana mencoba untuk mengubah konstitusi untuk kepentingan tertentu. Buat saya, itu jauh lebih penting (diungkap) daripada persoalan kita menghadapi pemilu ini,” kata Taufik.
Kalau, misal, itu tidak tuntas, maka ke depan bisa saja intervensi kembali terjadi pada proses peradilan, pada proses bagaimana mencoba untuk mengubah konstitusi untuk kepentingan tertentu.
Usman Hamid sependapat dengan Taufik. Dugaan intervensi itu patut ditelusuri. Jika dugaan itu benar, apalagi dilakukan oleh kekuasaan atau eksekutif, sebenarnya DPR mempunyai kewajiban untuk memulai hak interpelasi untuk bertanya kepada Presiden atau yang lebih jauh lagi, yakni mengajukan hak angket. ”Hanya dengan cara itu, kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ucapnya.
Sebab, jika situasi ini dibiarkan, ia khawatir sistem integritas elektoral negara ini akan dinilai buruk oleh lembaga-lembaga indeks demokrasi dunia ataupun juga indeks demokrasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Menyelamatkan MK
Bivitri Susanti menilai, apa yang disampaikan Anwar Usman dalam jumpa pers ialah bentuk perlawanan dan dalam posisi yang sangat defensif. Anwar Usman seperti ingin meruntuhkan legitimasi MKMK. Padahal, jika dikatakan ada upaya pembunuhan karakter dan lain sebagainya, sebenarnya MKMK justru menjadi forum yang tepat bagi Anwar Usman untuk mengklarifikasi semuanya, bahkan yang selama ini telah beredar di media massa.
Jadi, memang saya mau tekankan, tujuan kami bukan untuk jegal-menjegal. Bayangkan, kami, kan, dosen. Kami harus mengajarkan ke mahasiswa kami, MK ini ’the guardian of the constitution’, sistem politik kita begitu ideal, tiba-tiba berantakan semua di lapangan.
Ia pun berharap persoalan ini tidak dilihat dari kacamata ”ingin menggagalkan pencalonan Gibran”. Lebih krusial dari itu, masyarakat sipil dan para akademisi ingin mencegah agar konstitusi tidak diinjak-injak. ”Jadi, memang saya mau tekankan, tujuan kami bukan untuk jegal-menjegal. Bayangkan, kami, kan, dosen. Kami harus mengajarkan ke mahasiswa kami, MK ini the guardian of the constitution, sistem politik kita begitu ideal, tiba-tiba berantakan semua di lapangan,” ucapnya.
Julius Ibrani pun menegaskan, sebagai pelapor perkara, tidak ada kepentingan politik dalam pelaporannya. Semua yang dilaporkan ke MKMK telah didasarkan pada bukti dan fakta. Di dalam putusan MKMK pun, semua laporan PBHI terbukti. ”Jadi, kalau memang dikatakan (laporan kami) itu fitnah, kalau memang (laporan kami) itu dikatakan pembunuhan karakter, sebetulnya itu yang sedang dilakukan oleh Anwar Usman terhadap MK dan putusan (nomor 90/PUU-XXI/2023) MK itu sendiri,” katanya.
Jika Anwar Usman tidak puas dan mempunyai bukti lain, Julius mempersilakan Anwar Usman untuk ajukan banding atas putusan MKMK. Namun, itu dengan satu syarat, yaitu Anwar Usman harus berhenti atau diberhentikan terlebih dulu sebagai hakim MK.
Menghormati putusan
Wihadi Wiyanto dan Afriansyah Noor tidak sependapat jika ”dosa-dosa” terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 hanya dibebankan kepada Anwar Usman. Sebab, mereka melihat, dari keputusan MKMK, sembilan hakim melanggar etik. ”Ini, kan, tidak ada suatu fairness (keadilan), kenapa hanya Anwar Usman yang dibebani semua dosa-dosa delapan hakim yang lain kepada ketuanya,” ucap Wihadi.
Sebenarnya, lanjut Wihadi, jika melihat dari tuntutan, ini adalah persoalan etik. Untuk itu, perkara sudah selesai di sidang etik oleh MKMK. Ia menilai, putusan MK sudah final dan mengikat sehingga pencalonan Prabowo-Gibran pun tidak bisa diganggu gugat.
Ini, kan, tidak ada suatu ’fairness’ (keadilan), kenapa hanya Anwar Usman yang dibebani semua dosa-dosa delapan hakim yang lain kepada ketuanya.
Afriansyah juga meminta para elite agar berhenti saling menyalahkan. Semua pihak harus menghormati apa pun putusan MK dan putusan MKMK. ”Ada yang puas, ada yang tidak, silakan pakai jalur konstitusi,” katanya.
Baca juga: Sejumlah Kalangan Menilai Anwar Usman Sepatutnya Mengundurkan Diri
I Dewa Gede Palguna menegaskan, jika mengutip ucapan filsuf, Immanuel Kant, suatu kesalahan hukum bisa diukur karena orang tersebut nyata melanggar aturan. Namun, jika kesalahan etik, pertanyaannya adalah sejauh mana yang bersangkutan merasa melanggar etik. Artinya, semua dikembalikan kepada pribadi yang bersangkutan.
Ia mengungkapkan ada sejumlah ”jalan keluar” untuk bisa mengembalikan marwah MK kembali, salah satunya adalah bergantung pada komitmen Ketua MK dan Wakil Ketua MK terpilih. ”Ini adalah momen yang paling krusial bagi MK untuk mengembalikan marwan MK dalam waktu dekat, setidaknya secara simbolik dulu,” ujarnya.
Kedua, ia pun berpesan kepada DPR agar menghentikan usaha-usaha untuk mengotak-atik Undang-Undang MK, secara khusus terkait kewenangan lembaga pengusul untuk bisa mengevaluasi hakim konstitusi yang diusulkan. Yang terpenting jika ingin merevisi UU MK, menurut dia, justru adalah merinci ketentuan Pasal 24 Ayat 5 tentang syarat hakim konstitusi.
”Dia harus berintegritas, jujur, tidak tercela, negarawan yang menguasai konstitusi dan tata negara. Itu blas (sama sekali) tidak ada penjelasannya dan detailnya lebih lanjut dalam UU MK. Mestinya kalau dilakukan perubahan, poin itu yang mestinya harus didetailkan,” ucapnya.