Bebas Bersyaratnya Edhy Prabowo Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi
Hukuman pidana yang diharapkan memberikan efek jera menjadi berkurang kadarnya karena hukuman bagi seorang koruptor, seperti Edhy Prabowo, diringankan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terpidana kasus korupsi yang juga bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mendapatkan pembebasan bersyarat sejak 18 Agustus lalu. Selama menjalani pidana, Edhy dinilai telah berkelakuan baik sehingga bisa dibebaskan bersyarat plus memperoleh remisi sebanyak 7 bulan 15 hari. Cepatnya koruptor keluar dari bui dinilai bakal berimbas buruk pada pemberantasan korupsi ke depan.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Deddy Eduar Eka Saputra, ketika dikonfirmasi, Kamis (30/11/2023), menyampaikan, pada 18 Agustus 2023, Edhy dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang. Pembebasan tersebut diberikan seusai yang bersangkutan mendapatkan surat keputusan pembebasan bersyarat (PB) dengan nomor PAS-1436.PK.05.09 tahun 2023 tanggal 17 Agustus 2023.
Total remisi yang diperoleh Edhy adalah 7 bulan 15 hari berdasarkan sistem penilaian pembinaan narapidana. ”Sebelumnya, selama menjalani pidana, yang bersangkutan telah berkelakuan baik,” kata Deddy.
Meski demikian, lanjut Deddy, yang bersangkutan masih diwajibkan melapor. ”Selama menjalani pembebasan bersyarat, yang bersangkutan wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan Kelas II Ciangir,” tambahnya.
Edhy Prabowo terbukti telah menerima suap untuk mempercepat izin budidaya lobster dan ekspor benih bening loster. Dari hukuman penjara sembilan tahun, MA memangkasnya menjadi lima tahun penjara atau sesuai dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Alasannya, majelis kasasi menilai hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan unsur meringankan terdakwa dalam memutus perkara. MA menilai Edhy sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan besar kepada nelayan.
Selain mengoreksi lamanya pemidanaan badan, MA juga mengoreksi pencabutan hak politik Edhy dari semula selama tiga tahun menjadi dua tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Selain itu, Edhy dihukum membayar denda Rp 400 juta subsider enam bulan penjara. Edhy juga diminta membayar uang pengganti senilai Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS.
Deddy menyampaikan, Edhy mulai ditahan sejak 25 November 2020. Selain sudah menjalani pidana, Edhy telah membayar denda Rp 400 juta serta uang pengganti Rp 9.687.447.219 dan 77.000 dollar AS.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, bebasnya Edhy tidak lepas dari berbagai permasalahan yang termuat dalam UU Pemasyarakatan yang baru. Di dalam UU tersebut, persyaratan seorang narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi, yakni menjadi saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), dihapus.
Selama menjalani pembebasan bersyarat, yang bersangkutan wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan Kelas II Ciangir.
Hukuman pidana yang diharapkan memberikan efek jera menjadi berkurang kadarnya karena hukuman bagi seorang koruptor diringankan.
”Itu berarti korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa telah disamakan menjadi kejahatan biasa,” kata Kurnia.
Padahal, lanjut Kurnia, kemudahan yang diperoleh seorang narapidana kasus korupsi tidak hanya soal lamanya hukuman. Dalam banyak kasus terungkap bahwa mereka juga bisa mendapatkan perlakuan dan berbagai kemudahan ketika sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Peristiwa Edhy yang memperoleh remisi sehingga bisa menjalani bebas bersyarat dinilai memberikan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman juga melihat pemberian remisi yang membuat Edhy mendapatkan surat pembebasan bersyarat merupakan hasil dari Undang-Undang Pemasyarakatan.
Di dalam undang-undang itu, seluruh narapidana, termasuk narapidana korupsi, mendapatkan hak untuk memperoleh remisi. Sementara dalam undang-undang sebelumnya, narapidana korupsi harus menjadi saksi pelaku yang bekerja sama untuk bisa memperoleh hak tersebut.
”Memang kita tidak bisa melarang mereka untuk diberi remisi dan bebas bersyarat. Meski begitu, kita berharap agar pemberian remisi dilaksanakan secara ketat, khususnya kepada napi korupsi, terorisme, dan narkoba,” kata Boyamin
Menurut Boyamin, pemberian remisi secara ketat itu dalam arti proses untuk mendapatkannya tidak disamakan dengan narapidana kasus biasa. Di sisi lain, karena pemberian remisi atau asimilasi tersebut merupakan hak, hal itu berarti ada kemungkinan pula untuk tidak diberikan.