Tantangan Bermain Bersih di Pemilu 2024
Pemilu 2024 sebentar lagi menjelang. Sebanyak 204 juta lebih warga yang masuk dalam daftar pemilih tetap memiliki hak menentukan kepemimpinan nasional dalam lima tahun ke depan.
Ada sebuah kesaksian menarik tentang Jawaharlal Nehru, pemimpin India yang dikenal sebagai penerus Mahatma Gandhi. Suatu hari, setelah sekian lama menjadi Perdana Menteri, Nehru ditanya, ”Orang mengatakan bagian terbesar warisan Gandhi kepada India adalah Anda. Sekarang, siapa warisan Anda untuk India?” Nehru menjawab, ”Empat ratus juta orang yang mampu memilih seorang pemimpin bagi diri mereka sendiri.”
Kesaksian ini disampaikan Norman Cousins seperti tersua dalam buku kumpulan tulisan berjudul The Legacy of Nehru, Warisan Nehru, yang diedit K Natwar-Singh. Sebuah nukilan peristiwa yang mendudukkan peran penting warga dalam memilih pemimpin sebuah negeri yang berpopulasi besar di dunia. Kondisi yang dimungkinkan dalam negara yang menganut sistem demokrasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada konteks Indonesia sekarang, Pemilihan Umum 2024 tinggal beberapa bulan menjelang. Ajang memilih para anggota legislatif dan juga presiden serta wakil presiden akan tiba. Seperti lazim terjadi dalam setiap kontestasi, situasi menghangat pun tak terhindarkan di ruang publik.
Hal ini termasuk ketika pembicaraan menyangkut figur yang beradu pengalaman dan gagasan untuk dipilih rakyat memimpin negeri ini dalam periode lima tahun ke depan. Menyeruak di antara berbagai bahasan, netralitas tak pelak menjadi isu yang belakangan santer diperbincangkan.
Baca juga: Bung Karno, Guntur, dan Diplomasi Bebas Aktif
Aspek netralitas ini pula yang disebut oleh Wiranto, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang juga pernah menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 1997-1999, saat dimintai pandangan tentang hal paling urgen bagi Tentara Nasional Indonesia di tahun politik.
”Ya, netralitas saja, selalu itu. Jelang pemilu selalu netralitas (yang) dituntut bagi anggota TNI,” ujar Wiranto di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta seusai mengikuti Pelantikan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Ya, netralitas saja, selalu itu. Jelang pemilu selalu netralitas (yang) dituntut bagi anggota TNI.
Wiranto meyakini membangun netralitas TNI bukanlah hal sulit. ”Dan, itu sangat mudah kok untuk membangun netralitas. Karena apa? Disiplin TNI sangat kuat. Sehingga, perintah atasan selalu diikuti oleh bawahan,” katanya.
Baca juga: Bukan Orang Asing bagi Jokowi, Panglima TNI Agus Jamin Netralitas Terjaga
Bukan hanya bagi TNI, harapan agar netral pun selama ini disampaikan beberapa kalangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan aparatur sipil negara. Wakil Presiden Ma’ruf Amin, misalnya, dalam beberapa minggu terakhir kerap menyuarakan keharusan netral bagi ASN, TNI, dan Polri.
Apalagi, Pemilu 2024 bukan yang pertama digelar di Indonesia sehingga sudah ada pengalaman, aturan, dan komitmen untuk menyelenggarakannya dengan jujur, adil, dan rahasia.
”(Oleh) Karena itu, semua petugas, aparat, ASN, TNI, Polri, semuanya sudah ada aturannya untuk bersikap netral,” kata Wapres saat menjawab pertanyaan awak media di kompleks Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Baca juga: Jaga Persatuan, Kejujuran, dan Keadilan dalam Pemilu
Wapres Amin menegaskan, tugas tetap harus dilaksanakan sesuai aturan main yang sudah ditetapkan. ”Saya kira itu. Oleh karena itu, kita harapkan walaupun anak Presiden ikut, ya, tetap, netralitas tetap harus dijaga,” ujarnya saat itu.
Oleh karena itu, kita harapkan walaupun anak Presiden ikut, ya, tetap, netralitas tetap harus dijaga.
Seperti diketahui, pada ajang Pemilu 2024 ini Gibran Rakabuming Raka, yang juga anak Presiden Joko Widodo, akan ikut berlaga. Gibran menjadi calon wakil presiden yang mendampingi calon presiden Prabowo Subianto maju dalam perhelatan pemilihan presiden mendatang.
Mereka berdua akan berkontestasi dengan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya, yakni Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Mahfud MD.
Baca juga: Wapres Amin Serukan Pemilu Diselenggarakan secara Jujur
Pengalaman selama ini membawa pada pemahaman kita bersama bahwa sistem demokrasi memungkinkan semua orang yang memenuhi persyaratan untuk memilih dan dipilih dalam suatu gelaran pemilu. Penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan rahasia sejatinya adalah ikhtiar untuk memastikan suara murni rakyat benar-benar tecermin dalam hasil pemungutan suara.
Reformasi tidak hanya melahirkan ”anak kandung” berupa lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang digadang memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menciptakan persaingan usaha sehat. Reformasi di alam demokrasi pun memungkinkan orang biasa menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini sejauh rakyat memutuskannya demikian melalui pemilu.
Dari gubuk ke Gedung Putih
Kemunculan Joko Widodo dari kalangan bukan elite menjadi Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta lewat pemilihan kepala daerah dan kemudian menjabat Presiden ke-7 RI yang dipilih melalui pemilu telah tercatat dalam sejarah negeri ini. Berbelas dekade sebelumnya, hal ini pun terjadi di Amerika Serikat, negara modern penganut demokrasi yang kini berusia hampir 250 tahun.
Baca juga: ”Sejarah Terulang” dan Upaya agar Indonesia Tak Kembali ke Titik Nol Demokrasi...
AS mengalami bertumbuhnya penghargaan terhadap rakyat dan suara rakyat dalam menentukan pemimpinnya. Hal ini tergambar dari perjalanan pemilihan dari presiden ke presiden di negara yang berdiri tahun 1776 tersebut.
Sejarah mencatat, beberapa di antara Presiden AS juga muncul dari kalangan rakyat biasa, bukan keturunan elite. Frase yang dikenal mengenai fenomena ini adalah: dari gubuk kayu ke Gedung Putih. Gambaran ini merujuk pada tempat kelahiran seseorang yang sederhana disandingkan dengan kantor megah tempat Presiden AS menjalani masa kepresidenannya.
Vincent Wilson Jr, dalam bukunya yang berjudul The Book of The Presidents menulis bahwa Presiden ke-7 AS, Andrew Jackson, adalah orang pertama dari kalangan rakyat yang menjadi Presiden. Pemilihannya di tahun 1828 tercatat dalam sejarah AS sebagai pemisah antara pemerintahan kaum ningrat—orang kaya dan bangsawan—dan pemerintahan oleh pemimpin-pemimpin yang dipilih dari rakyat serta mengenalkan diri mereka bersama rakyat.
Baca juga: Ideologi Partai di Balik Dua Kutub Pilpres AS
Andrew Jackson yang terpilih oleh mayoritas yang besar serta diambil dari kalangan rakyat biasa mampu membuktikan bahwa demokrasi Amerika dapat membangun pemerintahan tidak hanya dari dan untuk rakyat, tetapi juga oleh rakyat. Hal ini terjadi sekitar tiga dekade sebelum Abraham Lincoln, yang juga lahir di pondok berdinding kayu balok dan berlantai tanah, dipilih rakyat menjadi Presiden ke-16 AS.
Berkenaan dengan kesempatan bagi orang biasa untuk menjadi Presiden di AS, orang pun dapat menyimak Pidato Lincoln di depan tentara Resimen Ohio ke-166. Kutipan pidato ini dapat dibaca dalam buku Lincoln tentang Demokrasi yang diedit dan diberi kata pengantar oleh Mario M Cuomo dan Harold Holzer.
”Saya kebetulan untuk sementara waktu menempati Gedung Putih yang besar ini. Saya adalah bukti hidup bahwa siapa saja di antara anak-anak Anda boleh berharap untuk datang di sini seperti yang telah dilakukan oleh anak ayah saya,” ujar Lincoln kala itu.
Saya kebetulan untuk sementara waktu menempati Gedung Putih yang besar ini. Saya adalah bukti hidup bahwa siapa saja di antara anak-anak Anda boleh berharap untuk datang di sini seperti yang telah dilakukan oleh anak ayah saya.
Sistem demokrasi tentu tak lepas dari kritik. Namun, apa pun itu, demokrasi telah menjadi pilihan yang dianut banyak negara di dunia karena karakteristik yang dimilikinya dalam menghargai segenap rakyat berikut nilai-nilainya dan juga membatasi kekuasaan para pemimpin.
Baca juga: Wapres: Semua Kontestan Harus Bermain Bersih
Secara ringkas, hal ini seperti diungkapkan Presiden ke-39 AS, Jimmy Carter, bahwa kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin. Kapasitas manusia untuk semena-mena menyebabkan demokrasi itu perlu.
Kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin. Kapasitas manusia untuk semena-mena menyebabkan demokrasi itu perlu.
Selamat menyambut pesta demokrasi 2024. Meminjam istilah yang dipakai Wapres Amin, saatnya kini bagi para pemain untuk bermain bersih. Ada asa agar pemilu dapat berlangsung jujur dan adil sebagaimana esensi nilai demokrasi yang mengusung prinsip fair dan perlakuan sama bagi semua.