”Sejarah Terulang” dan Upaya agar Indonesia Tak Kembali ke Titik Nol Demokrasi...
Indonesia punya pengalaman gelap sejarah saat seseorang menjabat presiden sedemikian lama. Batasan dua periode untuk masa jabatan presiden sesuai amanah konstitusi mesti dijaga agar sejarah kelam tak terulang kembali.
Abigail Adams (1744-1818), seorang pengarang dan juga istri Presiden ke-2 Amerika Serikat, John Adams, pernah menuturkan dirinya kian meyakini manusia adalah makhluk berbahaya. Dia pun meyakini bahwa kekuasaan, baik yang diberikan kepada segelintir maupun banyak orang, itu selalu tamak dan–seperti liang kubur– selalu membuka mulut menyerukan: lagi, lagi.
Tak terbantahkan, dari zaman ke zaman, di berbagai penjuru bumi, kekuasaan di segala bidang dan tingkatan memang memiliki pesona tersendiri. Tak heran ketika banyak pihak berjuang memperebutkan kekuasaan dan, setelah berada di genggaman, berupaya mempertahankannya. Bahkan, ada pula pihak-pihak yang dengan berbagai alasan dan cara kemudian berupaya ingin memperpanjang kekuasaan tersebut.
Namun, sejarawan Inggris, Lord Acton (1833-1902), mengingatkan bahwa kekuasaan itu cenderung korup apalagi kekuasaan yang mutlak. ”Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely,” tuturnya.
Pada konteks perpolitikan di Indonesia, di dua bulan pertama tahun 2022 ini wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat. Pada Januari 2022, Menteri Investasi/Kepala Badan Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengungkapkan suara dari kalangan pelaku usaha menyangkut kemungkinan pemunduran Pemilu 2024. Konteksnya agar tren pemulihan dunia usaha yang baru saja terpuruk akibat pandemi tidak tertimpa lagi oleh persoalan politik.
Memasuki pekan terakhir Februari 2022, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar pada Rabu (23/2/2022) pun mengusulkan penundaan Pemilu 2024. Sehari setelahnya, Kamis (24/2/2022), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga beralasan usulan perpanjangan masa jabatan presiden adalah aspirasi petani sawit di Kabupaten Siak.
Alih-alih menjelaskan mengenai aturan konstitusi dan perlunya pembatasan masa jabatan, Airlangga, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, menyebut aspirasi itu akan dibicarakan dengan pemimpin partai politik lain. Belakangan, Partai Amanat Nasional juga mendukung usulan penundaan pemilu. Informasi yang diterima Kompas, ketiga parpol sudah dilobi oleh pejabat penting di Istana. Namun, penjelasan resmi terkait keberan informasi tersebut, dan sikap Presiden Jokowi terhadap usulan perpanjangan masa jabatan dua tahun lagi dengan cara menunda Pemilu 2024, hingga kini belum terkonfirmasi dan masih ditunggu.
Merunut ke belakang, usulan penambahan masa jabatan presiden bukan hanya ada di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di tahun pertama periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ide ini juga pernah dilontarkan Ruhut Sitompul yang saat itu anggota DPR dari Partai Demokrat. Ruhut waktu itu disebut-sebut didorong oleh orang dalam Istana untuk melontarkan hal itu. ”Test of the water,” katanya saat itu.
Baca juga: Mayoritas Partai Politik di Parlemen Tolak Penundaan Pemilu
Saat berpidato di peringatan Hari Konstitusi 2010, Presiden Yudhoyono menegaskan, pembatasan masa jabatan presiden dalam konstitusi sudah tepat. Sebab, berdasarkan pengalaman sejarah, ketiadaan pembatasan jabatan presiden membuka peluang penyelewengan kewenangan.
Menurut Yudhoyono, semakin besar dan absolut kekuasaan, semakin besar pula godaan penyalahgunaan. Kepemimpinan yang terlalu lama tak akan membawa kebaikan bangsa dan negara. Meski ramai diperbincangkan, isu itu akhirnya menguap.
Semakin besar dan absolut kekuasaan, semakin besar pula godaan penyalahgunaan. Kepemimpinan yang terlalu lama tak akan membawa kebaikan bangsa dan negara.
Di periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, wacana presiden dengan masa jabatan tiga periode pun diembuskan berkali-kali. Pertama kali, isu ini dilontarkan Johnny G Plate yang kala itu masih Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR, Desember 2019. Selain usulan tiga periode, muncul pula wacana masa jabatan presiden diperpanjang menjadi delapan tahun.
Baca juga: Sikap Tegas Presiden Bisa Akhiri Usulan Penundaan Pemilu
Saat itu, Presiden Jokowi segera menanggapi. ”Kalau ada usulan itu, ada tiga (motif) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya, yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja,” tuturnya.
Maret 2021, isu ini kembali muncul. Mantan Ketua MPR Amien Rais menuding rezim akan merevisi pasal terkait masa jabatan presiden dalam Sidang Istimewa MPR. ”Jadi, mereka (rezim) akan mengambil langkah pertama, meminta sidang istimewa MPR, yang mungkin satu dua pasal yang katanya perlu diperbaiki, yang mana juga saya tidak tahu. Tapi, nanti kemudian akan ditawarkan pasal baru yang kemudian memberikan hak presiden itu bisa dipilih tiga kali,” ujar Amien yang juga pendiri Partai Ummat dalam video yang diunggah, Sabtu (13/3/2021).
Dua hari setelah video tersebut diunggah, Presiden Jokowi kembali menyampaikan penolakannya. ”Saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama. Janganlah membuat gaduh baru, kita sekarang fokus pada penanganan pandemi',” tuturnya dalam video yang diunggah di akun resmi Sekretariat Presiden di kanal Youtube.
Saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama.
Pengamat politik M Qodari sempat juga mendorong wacana ini pada 20 Juni 2021 dengan mengusulkan Joko Widodo berpasangan dengan Prabowo Subianto (JokPro) pada Pemilu 2024. Ide supaya masa jabatan presiden diperpanjang tiga periode juga pernah disampaikan awal 2021. Isu serupa kembali muncul September 2021 berbarengan dengan rumor pergantian personil Kabinet Indonesia Maju (reshuffle).
Sejarah berulang dan ”kebulatan tekad”
”Rekor terlama” masa jabatan presiden di negeri ini dipegang oleh Soeharto, yakni terentang dari 27 Maret 1968-21 Mei 1998. Seperti tertulis di buku otobiografinya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Pak Harto kala itu menuturkan, ”Rasanya tidak berlebihan kalau dikatakan pelantikan pada tanggal 11 Maret 1988 merupakan pelantikan sebagai Presiden/Mandataris MPR yang terakhir buat saya.”
Namun, sejarah mencatat bahwa Soeharto terpilih lagi dalam pemilu 1993. Lima tahun kemudian, pada 1998, Presiden Soeharto pun masih bersedia dicalonkan kembali dalam Sidang Umum MPR sebagai Presiden/Mandataris MPR periode 1998-2003. Kesediaan tersebut disampaikannya setelah Keluarga Besar Golkar, yakni ABRI-Golkar-Birokrasi, mengecek apakah pencalonan Soeharto tersebut betul-betul berasal dari rakyat. Sebelumnya, sejumlah organisasi di masyarakat dari kalangan petani, daerah, dan profesi menyatakan kebulatan tekad mendukung pencalonan ”Bapak Pembangunan Soeharto untuk menjadi Presiden”. Uniknya, kebulatan tekad ini dinyatakan berkali-kali dalam waktu berbeda dan oleh berbagai kelompok.
”Atas hasil pengecekan yang dilakukan Keluarga Besar Golkar, Bapak Haji Muhammad Soeharto menghargai kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia tersebut walaupun harus ada pengorbanan bagi kepentingan keluarga,” kata Ketua Umum Golkar Harmoko di kediaman Soeharto, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, 20 Januari 1998 (Kompas, 21/2/1998).
Sejarah mencatat bahwa Soeharto terpilih lagi dalam pemilu 1993. Lima tahun kemudian, pada 1998, Presiden Soeharto pun masih bersedia dicalonkan kembali dalam Sidang Umum MPR sebagai Presiden/Mandataris MPR periode 1998-2003. Kesediaan tersebut disampaikannya setelah Keluarga Besar Golkar, yakni ABRI-Golkar-Birokrasi, mengecek apakah pencalonan Soeharto tersebut betul-betul berasal dari rakyat. Sebelumnya, sejumlah organisasi di masyarakat dari kalangan petani, daerah, dan profesi menyatakan kebulatan tekad mendukung pencalonan ’Bapak Pembangunan Soeharto untuk menjadi Presiden’.
Soeharto pun terpilih kembali sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003 pada rapat paripurna ke-10 MPR pada 10 Maret 1998. Sehari berikutnya, bertempat di Balairung Grahasabha Paripurna, Gedung DPR/MPR, Senayan, Soeharto pun mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden RI periode 1998-2003.
Namun, di tengah krisis politik dan ekonomi yang kemudian memantik gelombang unjuk rasa di berbagai daerah, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Pengunduran diri yang dilakukan hanya berselang sekitar empat bulan setelah dirinya menyatakan bersedia dicalonkan karena mendengar ”hasil pengecekan” Keluarga Besar Golkar yang intinya pencalonan Soeharto tersebut ”betul-betul berasal dari rakyat”.
Baca juga: Catat dan Hukum Partai Politik yang Usulkan Penundaan Pemilu
Hal kesediaan dicalonkan setelah mendengar bahwa itu berasal dari rakyat yang terjadi pada Presiden Soeharto ini seolah mengulang yang dialami Presiden Soekarno, yakni terkait dorongan menjadi presiden seumur hidup.
”Aku mengakui bahwa aku tidak pernah berkata: ’Ah tidak, aku tidak mau menjadi Presiden.’ Tetapi, sebaliknya aku juga tidak pernah melakukan kampanye supaya aku dipilih untuk memegang jabatan itu. Bahkan ketika aku dipilih sebagai Presiden seumur hidup, itu terjadi secara aklamasi,” ujar Presiden Soekarno seperti tersua di buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams.
Menurut penuturan Bung Karno, di sebuah kesempatan, Wakil Perdana Menteri III Khairul Saleh datang menemuinya. ”Bung, ada gerakan dari bawah supaya Bung Karno diangkat sebagai Presiden seumur hidup. Ini sudah berkembang sejak beberapa waktu. Aku ingin mengetahui pendapat Bung Karno sendiri,” ujar Khairul.
Meski egonya merasa senang, Bung Karno diliputi kebingungan. ”Gagasan itu merendahkan diriku, Khairul,” jawab Presiden Soekarno. Beberapa saat kemudian Presiden Soekarno melanjutkan, ”Tentu saja aku merasa tersanjung, tetapi aku takut ini terlalu berlebih-lebihan.”
Baca juga: Gratifikasi Politik Konstitusional
Khairul menambahkan bahwa 99 persen rakyat tidak pernah menghendaki pemimpin lain, selain Bung Karno. Semua orang tahu bahwa Bung Karno akan terpilih kembali bila diselenggarakan pemilihan umum. ”Menerima pengangkatan berdasarkan kenyataan dan menerimanya berdasarkan undang-undang adalah berbeda,” tambah Bung Karno.
Meski Presiden Soekarno sudah menyatakan sikapnya secara tegas, gagasan presiden seumur menjadi gelombang besar. Banyak penasihat Bung Karno memperjuangkannya, dengan menegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mempersatukan golongan dan partai yang terpecah-pecah.
MPRS melalui Ketetapan MPRS Nomor III Tahun 1963 pun akhirnya mengangkat Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Namun, di tengah gonjang-ganjing perpolitikan di tahun 1966, MPRS kemudian mencabut kembali gelar Pemimpin Besar Revolusi dan menyatakan pula bahwa gelar Presiden seumur hidup tidak mengandung kekuatan hukum.
Meski Presiden Soekarno sudah menyatakan sikapnya secara tegas, gagasan presiden seumur menjadi gelombang besar. Banyak penasihat Bung Karno memperjuangkannya, dengan menegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mempersatukan golongan dan partai yang terpecah-pecah. MPRS melalui Ketetapan MPRS Nomor III Tahun 1963 pun akhirnya mengangkat Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Namun, di tengah gonjang-ganjing perpolitikan di tahun 1966, MPRS kemudian mencabut kembali gelar Pemimpin Besar Revolusi dan menyatakan pula bahwa gelar Presiden seumur hidup tidak mengandung kekuatan hukum.
Melanggar konstitusi
Secara terpisah, Direktur The Indonesia Institute Adinda Tenriangke Muchtar menilai wacana terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang belakangan kembali dimunculkan menunjukkan para elite politik tidak memiliki kepekaan dalam beragam aspek. Apalagi, usulan ini melanggar konstitusi.
Para elite terkesan hanya mengutamakan kepentingannya di saat semua sedang berada dalam krisis akibat pandemi Covid-19. Wacana ini juga bisa diduga karena para elite politik menikmati apa yang diperoleh dari periode ini.
Kita punya sejarah gelap karena membiarkan seseorang memegang jabatan sampai lebih dari 30 tahun. Jadi ini warning untuk demokrasi yang kita perjuangkan, jangan sampai kembali ke titik nol.
Namun, sesungguhnya penetapan batasan dua periode untuk masa jabatan di konstitusi bukan tanpa alasan. ”Kita punya sejarah gelap karena membiarkan seseorang memegang jabatan sampai lebih dari 30 tahun. Jadi ini warning untuk demokrasi yang kita perjuangkan, jangan sampai kita kembali ke titik nol,” tuturnya.
Bahwa manusia tidak banyak belajar dari pengalaman sejarah adalah pengalaman sejarah terpenting. Ungkapan bernada getir dari penulis Inggris, Aldous Huxley (1894-1963), juga Lord Acton ini kiranya menjadi pengingat bagi semua pihak untuk belajar dari pengalaman sejarah. Alih-alih menggagas untuk mengotak-atik masa jabatan presiden yang sejatinya sudah diatur dalam konstitusi secara jelas, lebih patut kiranya mengerahkan segenap daya, energi, dan potensi bangsa menuntaskan tugas-tugas yang lebih prioritas. Apa pun meski ada legacy yang masih belum bisa diselesaikan.