Sikap Tegas Presiden Bisa Akhiri Usulan Penundaan Pemilu
Presiden Jokowi diminta sekali lagi menyampaikan sikap menolak perpanjangan masa jabatannya. Ini menyusul usulan Golkar, PKB, dan PAN agar pemilu ditunda sehingga berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi keagamaan mendesak Presiden Joko Widodo mengambil sikap atas usulan sejumlah partai politik menunda Pemilu 2024 yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden. Presiden pun diharapkan konsisten menolak perpanjangan masa jabatannya. Sikap tegas Presiden bisa mengakhiri kian berkembangnya usulan yang bisa berimbas pada instabilitas politik dan ekonomi.
Dalam catatan Kompas, berulang kali Presiden Joko Widodo menyampaikan sikapnya menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Dengan kata lain, pemilu tetap harus digelar pada 2024. Sikap Presiden itu, di antaranya, disampaikan pada 2 Desember 2019 dan 15 Maret 2021. Bahkan, pada Desember 2019, Presiden pernah menyatakan jika ada yang ingin presiden menjabat tiga periode, berarti orang itu ingin menampar muka presiden, mencari muka, atau menjerumuskan presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Sabtu (26/2/2022), mengatakan, sebagai seorang negarawan, Presiden Jokowi bisa sekali lagi menegaskan ketidaksediaannya untuk memperpanjang masa jabatan. Sebab, Presiden sudah menegaskan dalam berbagai kesempatan tidak menghendaki perpanjangan masa jabatan. Jika wacana itu segera berakhir, semua pihak bisa fokus pada penanganan masalah Covid-19 dan dampaknya yang jauh lebih penting bagi masyarakat.
”Dengan segala konsekuensinya, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mesti segera mengambil sikap agar wacana perpanjangan masa jabatan tidak menimbulkan spekulasi politik dan polemik di masyarakat,” katanya.
Abdul Mu’ti masih mempertanyakan maksud dan tujuan sejumlah elite partai politik yang meminta agar Pemilu 2024 ditunda dan jabatan presiden diperpanjang. Alasan yang disampaikan kepada publik pun terkesan sangat disederhanakan. Mereka bahkan mengesampingkan aspek-aspek konstitusional dan risiko sosial yang timbul sebagai akibat dari penundaan pemilu.
Ia menilai, para elite politik sebaiknya bersikap arif, bijaksana, serta mementingkan masa depan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok. Elite politik jangan menambah masalah bangsa dengan wacana yang berpotensi melanggar konstitusi. ”Sebaiknya para elite itu melihat langsung keadaan di masyarakat. Pahami keadaan dan perasaan mereka,” katanya.
Usulan penundaan pemilu pertama kali dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Usulan itu kemudian didukung Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional.
Adapun lima parpol lain yang memiliki kursi di MPR/DPR, yakni PDI-P, Nasdem, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menyatakan menolak. Satu partai lain, yakni Gerindra, belum memutuskan.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom berharap Presiden Jokowi konsisten dengan komitmen penolakannya terhadap perpanjangan masa jabatan. Presiden jangan sampai mendukung gagasan ini karena mencerminkan sikap antidemokrasi dan cenderung otoriter.
”Penegasan Bapak Jokowi saya kira sudah cukup jelas, dan berharap beliau konsisten agar tidak ’jatuh’ bagaikan Soeharto,” katanya.
Munculnya wacana dari elite parpol itu, menurut Gomar, merupakan preseden buruk di tengah upaya Indonesia membangun demokrasi. Usulan itu adalah bentuk ketidakpercayaan pada mekanisme lima tahunan pergantian kepemimpinan nasional yang telah ditata baik selama ini. Gagasan menunda pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden merupakan langkah mundur dalam gerakan reformasi yang susah payah sudah diperjuangkan.
”Pelemparan isu ini hanya memancing kegaduhan baru di tengah upaya kita bersama menangani dampak buruk pandemi, yang pada gilirannya bisa menimbulkan instabilitas politik dan sosial,” tuturnya.
Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Hans Jeharut mengatakan, penetapan pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 sudah melewati tahapan-tahapan yang secara politis melibatkan semua parpol di DPR. Oleh karena itu, seharusnya keputusan ini dihormati oleh semua parpol, termasuk parpol yang mendukung ide penundaan pemilu.
”Parpol sebaiknya meresponsnya dengan konsolidasi yang efektif untuk pileg ataupun pilpres,” ujarnya.
Menurut dia, semua parpol semestinya menghormati keputusan penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR yang telah menetapkan tanggal pemilu itu. Energi yang ada sebaiknya diarahkan untuk memastikan proses itu berjalan sesuai rencana dengan semua tahapan yang sudah dijadwalkan. Sikap seperti ini justru bisa menjamin pemerintah dan penyelenggara pemilu mempersiapkan dengan baik pelaksanaan pemilu yang akan dilakukan dua tahun lagi dan mencegah kekurangan pada Pemilu 2019 tidak terulang.
”Karena itu, saya berharap pemerintah, dalam hal ini Presiden, bisa menjamin dan memastikan bahwa keputusan pemilu serentak 14 Februari 2024 sudah final,” ucap Romo Hans Jeharut.
Sementara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengingatkan, semua keputusan yang akan diambil pemerintah mesti mengutamakan kemaslahatan umat. Tak terkecuali terkait usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
”Pada prinsipnya, NU meminta pandangan maslahatnya di mana. Apa itu membawa kemaslahatan bagi umat dan dari sisi apa. Kalau bisa dibuktikan, maka kami bisa menerima, begitu pula sebaliknya,” kata Ketua PBNU KH Ahmad Fahrur Rozi.