Pencopotan Jaksa Tersangkut Korupsi Belum Menyelesaikan Masalah
Kejaksaan mencopot jabatan dua jaksa di Kejari Bondowoso yang diduga menerima suap. Namun, hal itu dinilai tak cukup karena sebelumnya juga ada kasus serupa. Pengawasan terhadap jaksa pun dipertanyakan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencopotan jabatan terhadap dua jaksa di Kejaksaan NegeriBondowoso yang diduga menerima suap untuk pengurusan perkara dinilai tak cukup. Sebab, dugaan penerimaan suap seperti ini tak kali ini saja terjadi pada jaksa, tetapi sudah yang kesekian kali.
Agar hal ini tak terus berulang, kalangan masyarakat sipil memandang, perlu dibangun sistem pengawasan yang memungkinkan pengawasan terhadap jaksa bisa lebih efektif.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Sabtu (18/11/2023), menyampaikan, kedua jaksa yang juga merupakan pejabat struktural di Kejari Bondowoso tersebut sudah dicopot dari jabatan struktural ataupun fungsional sebagai jaksa. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur telah menunjuk Asisten Pengawasan Kejati Jatim sebagai Pelaksana Tugas Kajari Bondowoso.
Saat ini, kata Ketut, kejaksaan menanti proses hukum yang akan dijalani kedua jaksa tersebut. Jika terbukti melakukan tindak pidana, kejaksaan akan memecat keduanya dari aparatur sipil negara (ASN). ”Untuk status sebagai kepala kejaksaan negeri dan sebagai jaksa sudah (dicopot),” kata Ketut.
Kedua jaksa itu adalah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bondowoso, Jawa Timur, Puji Triasmoro dan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejaksaan Negeri Bondowoso Alexander Kristian Diliyanto Silaen. Puji dibantu Alexander, orang kepercayaannya, diduga menerima uang Rp 475 juta sebagai kompensasi atas pengurusan perkara di Kejaksaan Negeri Bondowoso.
Pada Rabu (15/11/2023), keduanya ditahan KPK bersama dua tersangka lain yang berasal dari CV Wijaya Gemilang, yakni Yossy S Setiawan dan Andhika Imam Wijaya. Baik Yossy maupun Andhika diduga sebagai pihak pemberi suap.
Menurut Ketut, pihaknya selalu memonitor dan mengevaluasi kegiatan yang berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang oleh jaksa. Selain itu, selama ini kejaksaan selalu bertindak tegas dan tidak menoleransi jaksa yang melakukan pidana atau terkait dengan perkara pidana.
Bahkan, kata Ketut, tahun ini kejaksaan telah memproses hukum delapan jaksa. Terakhir adalah bekas Kepala Kejaksaan Negeri Buleleng Fahrur Rozi yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan buku. Kini, Fahrur tengah menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Bali.
”Itu bukan hanya sebagai efek jera bagi jaksa (yang terlibat), tapi dalam rangka kita benar-benar bersih-bersih internal,” ujar Ketut.
Melalui keterangan tertulis, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan, jaksa yang telah mencoreng dan mencederai nama baik institusi kejaksaan akan disikat habis.
Melalui keterangan tertulis, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan, jaksa yang telah mencoreng dan mencederai nama baik institusi kejaksaan akan disikat habis. Bagi Burhanuddin, yang dibutuhkan bukan hanya jaksa berkualitas, melainkan juga berintegritas.
”Saya tidak membutuhkan jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral. Saya juga tidak butuh jaksa yang cerdas tapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah jaksa-jaksa yang pintar dan berintegritas,” kata Burhanuddin.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto berpandangan, kasus yang diduga dilakukan dua jaksa dari Kejari Bondowoso tersebut merupakan pola lama yang selalu berulang. Sebagai aparat penegak hukum, jaksa memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan, menghentikan penuntutan, serta mengenakan pasal yang didakwakan.
Tak mengherankan, lanjutnya, jika pihak yang beperkara berupaya mendekati jaksa, khususnya pucuk pimpinannya. Hal itu akan lebih efektif untuk mendekati pimpinan yang perintahnya akan selalu dilaksanakan bawahannya. ”Yang menjadi pertanyaan, bagaimana pengawasan dari kejaksaan? Kabarnya punya pengawasan melekat, tapi ternyata bobol juga,” kata Agus.
Agus berharap agar kasus semacam ini tidak dilihat hanya sebagai perbuatan oknum karena peran jaksa memang rentan dengan suap dan gratifikasi. Untuk itu, perlu dibuat sistem guna memantau kejaksaan, khususnya mereka yang berada di daerah.
Di sisi lain, Agus juga mempertanyakan fungsi Komisi Kejaksaan yang dinilai tidak bertaring terhadap institusi yang diawasi. Padahal, Komisi Kejaksaan dapat melakukan pengawasan melalui caranya sendiri, semisal menganalisis laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) para jaksa yang menjadi pejabat, memberikan rekomendasi untuk perbaikan pengawasan, serta mengumumkan secara berkala para jaksa yang melakukan pelanggaran kepada publik.
Padahal, dengan melakukan hal itu, para jaksa akan merasa bahwa mereka diawasi oleh Komisi Kejaksaan. Di sisi lain, publik pun akan semakin percaya dengan peran Komisi Kejaksaan.