JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bondowoso, Jawa Timur, Puji Triasmoro bersama dengan tiga orang lainnya. Puji yang terjaring operasi tangkap tangan itu disangka telah menerima uang sebesar Rp 475 juta sebagai kompensasi atas pengurusan perkara di Kejaksaan Negeri Bondowoso.
Salah satu dari tiga tersangka lain adalah Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejaksaan Negeri Bondowoso Alexander Kristian Diliyanto Silaen (AKDS). Adapun dua lainnya merupakan pihak swasta dari CV Wijaya Gemilang, yakni Yossy S Setiawan (YSS) dan Andhika Imam Wijaya (AIW). Bersama dengan Puji, ketiga tersangka ini ditahan di Rutan KPK masing-masing selama 20 hari, terhitung sejak 16 November.
Deputi Penindakan KPK Irjen Rudi Setiawan dalam keterangan pers, Kamis (16/11/2023) malam, mengungkapkan, KPK menangkap tangan Alexander yang tengah menerima uang tunai dari Yossy dan Andhika pada Rabu (15/11/2023). Uang tunai tersebut diserahkan di ruang ruang kerja Alexander yang merupakan orang kepercayaan Puji.
”Tim KPK terbagi menjadi dua tim dan segera bertindak mengamankan PJ, AKDS, YS, dan AIW. Mereka kemudian dibawa ke Polres Bondowoso untuk permintaan keterangan awal. Berikutnya para pihak yang diamankan beserta barang bukti dimaksud dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk lanjutan pendalaman permintaan keterangan,” ujar Rudi.
Pemberian suap itu bermula dari penyelidikan dugaan korupsi pada proyek pengadaan peningkatan produksi dan nilai tambah hortikultura di Kabupaten Bondowoso. Proyek itu dikerjakan oleh perusahaan milik Yossy dan Andhika.
”Selama proses penyelidikan, YSS dan AIW melakukan pendekatan dan komunikasi intens dengan AKDS dan meminta agar proses penyelidikan dapat dihentikan,” ungkap Rudi.
Alexander kemudian melaporkan perihal keinginan Yossy dan Andika agar penyelidikan dihentikan kepada Puji. Kajari Bondowoso itu pun menanggapi dan memerintahkan Alexander untuk memenuhi permintaan Yossy dan Andhika.
”Ketika proses permintaan keterangan untuk kepentingan penyelidikan sedang berjalan, terjadi komitmen disertai kesepakatan antara YSS dan AIW dengan AKDS sebagai orang kepercayaan PJ untuk menyiapkan sejumlah uang sebagai tanda jadi. Telah terjadi penyerahan uang pada AKDS dan PJ sejumlah total Rp 475 juta dan hal ini merupakan bukti permulaan awal untuk segera didalami serta dikembangkan,” ujar Rudi.
Pola korupsi yang melibatkan pemerintah daerah terjadi karena perkara yang ditangani tidak akan jalan apabila tidak ada biaya operasional.
Atas perbuatan tersebut, Yossy dan Andhika selaku pemberi dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Sebelum menetapkan keempat tersangka tersebut, dalam kasus ini penyidik KPK telah memeriksa lima orang lainnya. Mereka adalah staf Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Bondowoso, RWP; pihak swasta, NR; pegawai negeri sipil Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air, dan Bina Konstruksi (BSBK) Pemkab Bondowoso, MHA; Kepala Bidang Bina Marga Dinas BSBK Pemkab Bondowoso NDH; dan staf honorer Dinas BSBK Pemkab Bondowoso, OTP.
Berulang
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan pegawai kejaksaan bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, pada awal tahun 2020, dua jaksa, yakni mantan jaksa di Kejari Yogyakarta Eka Safitra dan jaksa Kejari Surakarta Satriawan Sulaksono, didakwa menerima suap Rp 200 juta dari proyek saluran air di Yogyakarta (Kompas.id, 8/1/2020).
Selain itu, mantan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Kusnin, didakwa menerima suap sebesar 294.000 dollar Singapura dari Alfin Suherman dalam penanganan kasus kepabeanan (Kompas.com, 19/9/2019).
Pengamat politik kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Vishnu Juwono, di Jakarta, Kamis (16/11/2023), mengatakan, potensi korupsi di kantor kejaksaan daerah lebih besar karena kurangnya pengawasan. ”Di daerah lebih rentan karena jauh dari pengawasan pusat. Ditambah lagi budget operasional minim, hal itu membuat kantor kejaksaan rentan terlibat konflik kepentingan dan bisa menjadi sumber pemerasan,” katanya.
Vishnu mengatakan, pola korupsi yang melibatkan pemerintah daerah terjadi karena perkara yang ditangani tidak akan jalan apabila tidak ada biaya operasional. Pihak yang punya kepentingan kemudian menyuntikkan sejumlah dana untuk mendorong kasus berjalan. Dana operasional yang dikeluarkan di luar dana resmi itu kemudian yang menjadi potensi korupsi. Di sisi lain, integritas penegak hukum masih lemah.
Untuk mencegah terulangnya kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum, seperti jaksa, hakim, dan aparat kepolisian, menurut Vishnu, perlu ada reformasi penegakan hukum di Indonesia, antara lain mempertahankan independensi penegak hukum, mempersiapkan perangkat dan sistem, dan juga anggaran yang dibutuhkan.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengapresiasi sekaligus mendukung penegakan hukum yang dilakukan KPK terhadap jaksa yang diduga melanggar hukum. Menurut Ketut, hal itu selaras dengan sikap Jaksa Agung ST Burhanuddin yang akan menindak tegas aparatur kejaksaan yang melanggar hukum.
”Kita sikat habis, dalam rangka melakukan bersih-bersih internal kejaksaan. Ketika ada orang lain terlibat melakukan upaya bersih-bersih, kami sangat berterima kasih dan mengharapkan hal tersebut,” kata Ketut.
Menurut Ketut, pihaknya tidak akan mendampingi jaksa yang terkena masalah hukum di KPK. Kejaksaan berencana untuk memberhentikan sementara sembari menunggu putusan hukum tetap.