Kerugian Perekonomian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
Vonis bahwa para terdakwa terbukti korupsi tetapi tidak terbukti merugikan negara menimbulkan pertanyaan. Padahal, adanya korupsi secara langsung dan tak langsung akan diikuti kerugian negara.
Oleh
REFKI SAPUTRA
·4 menit baca
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis bersalah lima terdakwa kasus korupsi minyak goreng (izin ekspor CPO) pada 3 Januari 2023. Kelima terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman penjara selama 1-3 tahun dan denda Rp 100 juta. Namun, walaupun terbukti korupsi, majelis hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti merugikan perekonomian negara.
Vonis majelis hakim ini secara nyata telah bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan tersebut, MK menghapus frasa ”dapat” pada Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Konsekuensinya, seluruh unsur dalam pasal-pasal tersebut harus dibuktikan, baik adanya kerugian negara maupun perekonomian negara secara pasti.
Putusan MK tersebut dianggap cukup kontroversial di kalangan para penstudi dan praktisi hukum. Selain karena MK tidak konsisten dengan putusan terdahulu yang menolak uji materil terkait frasa ”dapat” dalam UU Tipikor tesebut (Putusan No 003/PUU-IV/2006), putusan tahun 2016 diambil tidak secara bulat. Terdapat empat hakim konstitusi, yakni I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, dan Maria Farida, yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinions).
Keempat hakim konstitusi ini berpendapat jika akibat yang dilarang, yaitu ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, belum atau tidak terjadi meskipun unsur ”secara melawan hukum” dan unsur ”memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi, berarti belum terjadi tindak pidana korupsi. Berangkat dari penalaran tersebut, maka majelis hakim kasus korupsi minyak goreng seharusnya memvonis bebas para terdakwa karena salah satu unsur deliknya tidak terpenuhi.
Setelah putusan MK tahun 2016 tersebut, kita sering disuguhkan hiruk-pikuk pemberitaan tentang pembuktian unsur kerugian negara atau perekonomian dalam persidangan kasus korupsi yang sangat rumit. Sebagaimana diakui oleh majelis hakim kasus minyak goreng yang menyatakan bahwa saat ini belum ada aturan terkait metode yang pasti untuk menghitung kerugian perekonomian negara sehingga hakim tidak bisa menyandarkan putusan kepada keterangan ahli yang digunakan jaksa untuk menghitung kerugian perekonomian negara tersebut (Kompas, 5/1/2023).
Dalam waktu yang berdekatan, jaksa penuntut umum dalam kasus korupsi kegiatan usaha perkebunan sawit oleh PT Duta Palma Group juga tengah membuktikan unsur kerugian perekonomian negara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), jumlah kerugian perekonomian negara yang harus dibuktikan senilai Rp 73,9 triliun dan Rp 4,7 triliun kerugian keuangan negara.
Sementara itu, di tempat terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi mesti bersusah payah melobi Badan Pemeriksa Keuangan agar mau mengaudit kerugian negara di dugaan kasus korupsi Formula E. Mengingat, setelah delapan kali melakukan gelar perkara, dugaan rasuah tersebut tak kunjung naik ke tahap penyidikan (Koran Tempo, 17/1).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Sidang pembacaan dakwaan kasus korupsi minyak goreng di di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (31/8/2022). Jaksa penuntut umum mendakwa lima terdakwa perkara dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO dan produk turunannya, termasuk minyak goreng, yang merugikan negara sekitar Rp18,3 triliun.
Standar global
Adanya korupsi secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh kerugian keuangan atau perekonomian negara. Namun, merumuskan kedua jenis kerugian tersebut yang pada dasarnya adalah dampak atau akibat dari korupsi menjadi aspek pemenuhan unsur yang harus dibuktikan akan melipatgandakan kerumitan tindak pidana korupsi itu sendiri. Sebagai suatu yang bersifat klandestin atau ”bawah tangan”, hampir mustahil mengungkap korupsi tanpa adanya pembocor rahasia (whistleblower) atau operasi tangkap tangan ala KPK yang didahului oleh aktivitas penyadapan.
Lantas, bagaimana sesungguhnya unsur atau delik tindak pidana korupsi tersebut harus dirumuskan? Jika mengacu kepada konsepsi dan kerangka hukum secara global, tidak sama sekali terdapat unsur kerugian negara apalagi perekonomian negara dalam delik korupsi.
Dalam modul pembelajaran antikorupsi yang bertajuk ”What Is Corruption and Why Should We Care?”, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyadari banyak definsi dan penggunaan kontekstual tentang korupsi. Namun, sebagian besar kamus dan sistem hukum sepakat tentang makna dasarnya. Kamus Oxford dan Merriam-Webster hampir secara bersamaan mendefinisikan korupsi sebagai perilaku tidak jujur, curang, atau ilegal oleh mereka (orang-orang) yang berkuasa (dishonest or fraudulent or illegal conduct/behaviour by those in power/powerful people).
Sudah sepantasnya pemerintah segera merevisi aturan terkait tindak pidana korupsi yang sejak lama tidak compatible dengan norma hukum internasional.
Kecurangan tersebut oleh Bank Dunia sejak tahun 1997 dirumuskan sebagai perbuatan penggunaan fasilitas pemerintah untuk kepentingan pribadi (use of public office for private gain). Definisi ini kemudian dipertajam oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dengan menambahkan frasa ”perbuatan melawan hukum” dalam tindakan memperoleh keuntungan pribadi tersebut (the abuse of a public or private office for personal gain).
Definisi private office tersebut kemudian diperluas oleh Transparency International (TI) sebagai pihak yang mendapat kepercayaan atas suatu kewenangan atau jabatan (the abuse of entrusted power for private gain). Dari sini kemudian, korupsi berkembang bukan hanya bisa dituduhkan kepada pejabat public, tetapi juga pihak swasta yang mendapatkan keuntungan ilegal dari suatu jabatan yang diemban.
Dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), sebenarnya telah diatur secara limitatif dan jelas terkait delik korupsi yang berlaku secara global. di antaranya suap di sektor publik dan privat (Bribery in the public and private sectors-articles 15, 16 and 21), penggelapan dalam jabatan publik dan privat (Embezzlement in the public and private sectors-articles 17 and 22), memperdagangkan pengaruh (trading in influence-article 18), penyalahgunaan jabatan (abuse of functions-article 19), dan pejabat publik memperkaya diri tidak sah (Illicit enrichment-article 20). Sekali lagi, di dalam rumusan ini, tidak ada secara eksplisit disebut adanya kerugian negara atau perekonomian negara sebagai unsur korupsi.
Urgensi revisi UU Tipikor
Beranjak dari hal tersebut, sudah sepantasnya pemerintah segera merevisi aturan terkait tindak pidana korupsi yang sejak lama tidak compatible dengan norma hukum internasional dan menimbulkan sengkarut pemberantasan korupsi di dalam negeri. Dengan memperjelas rumusan delik korupsi berdasarkan standar internasional tersebut, setidaknya terdapat dua keuntungan sekaligus.
Pertama, aturan tersebut akan memaksa penegak hukum untuk fokus kepada perbuatan koruptifnya (kecurangan dan penerimaan ilegal), bukan pada teknikalitas kerugian atau perekonomian negaranya. Dengan demikian, aparat akan jauh lebih mudah untuk membuktikan unsur-unsur korupsi yang juga pada saat yang bersamaan akan memicu tindakan yang lebih profesional dalam mengungkap kasus korupsi.
Kedua, pemerintah Indonesia akan lebih mudah dalam menjalin kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi. Hal ini tentu sangat beralasan karena sudah mengakui korupsi sebagai sebuah masalah global, bukan lagi melulu urusan domestik yang merugikan keuangan atau perekonomian satu negara.