Alih-alih merevisi peraturan, KPU memutuskan untuk membuat surat dinas berisi permintaan kepada partai politik untuk memedomani putusan MA.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung tentang Uji Materi Peraturan KPU Nomor 10 serta 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD serta Pencalonan DPD. Alih-alih merevisi peraturan, KPU hanya membuat surat dinas berisi permintaan kepada partai politik untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung tersebut.
Pada 29 Agustus 2023, Mahkmah Agung (MA) mengabulkan semua permohonan pengujian Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal itu mengatur metode penghitungan 30 persen caleg perempuan, yakni pembulatan ke bawah jika penghitungan menghasilkan pecahan kurang dari 50 dan pembulatan ke atas jika hasilnya angka pecahan 50 atau lebih.
MA membatalkan norma tersebut karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Tak hanya itu, melalui putusan No 28 P/HUM/2023, MA juga memerintahkan KPU mencabut PKPU yang dinilai telah memberikan jalan kepada eks narapidana kasus korupsi maju dalam Pemilu 2024. Peraturan yang dimaksud adalah Pasal 11 Ayat 6 PKPU Nomor 10 Tahun 2023, Pasal 18 Ayat 2 PKPU No 11/2023 dan Pasal 18 serta pencabutan aturan teknis dan pedoman pelaksanaan sebagai implikasi ketentuan pasal tersebut.
Namun, bukannya mengubah PKPU, KPU justru menerbitkan surat dinas bernomor 1075/PL.01.4-SD/05/2023. Melalui surat itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari meminta agar partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 memedomani putusan MA dalam tahapan pengajuan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada masa pencermatan rancangan daftar calon tetap (DCT).
Anggota KPU, Idham Holik, Rabu (4/10/2023), mengatakan, tindak lanjut putusan MA itu diputuskan setelah KPU mendengarkan keterangan dari lima ahli hukum dalam forum diskusi terpumpun (FGD). Para ahli hukum menyarankan agar KPU menindaklanjuti putusan MA itu. Akan tetapi, KPU tidak akan merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 karena hal itu akan memakan waktu. Sementara di sisi lain, proses pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD terus berjalan.
”Perubahan PKPU harus dilakukan sesuai Pasal 75 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana KPU harus berkonsultasi dengan pembentuk undang-undang. Padahal, proses pencalonan terus berjalan,” ujar Idham kepada wartawan.
Sesuai dengan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011, KPU selaku termohon memiliki waktu 90 hari untuk menindaklanjuti putusan MA tersebut sejak salinan putusan diterima. KPU telah menindaklanjuti, di antaranya dengan mencoret satu mantan terpidana yang tidak memenuhi syarat. Mantan terpidana itu tidak memenuhi syarat karena mendapatkan pidana tambahan pencabutan hak politik, tetapi belum menjalani jeda lima tahun.
”Jadi, putusan MA itu sudah dilaksanakan oleh partai politik. Mereka telah mengganti calon tersebut dengan yang baru,” kata Idham.
Ia juga menambahkan bahwa saat ini, masa pencermatan rancangan daftar calon tetap (DCT) telah berakhir pada 3 Oktober kemarin. KPU tengah melakukan tahapan verifikasi administrasi terhadap penggantian calon yang dilakukan oleh partai politik pada masa pencermatan rancangan DCT itu. Selanjutnya, sebulan lagi, tepatnya pada 3 November 2023, KPU harus sudah menetapkan DCT, dan sehari setelahnya, 4 November 2023, KPU juga sudah harus mengumumkannya.
Adapun terkait dengan syarat minimal keterwakilan caleg perempuan 30 persen per daerah pemilihan, Idham enggan menjelaskan lebih rinci implementasinya.
Revisi PKPU
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, surat dinas yang dibuat KPU itu tidak pas jika disebut sebagai tindak lanjut putusan MA. Putusan MA seharusnya ditindaklanjuti dengan merevisi aturan PKPU. Sebab, amar putusan MA menyatakan bahwa norma pasal di PKPU bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Surat dinas yang dibuat KPU itu tidak pas jika disebut sebagai tindak lanjut putusan MA. Putusan MA seharusnya ditindaklanjuti dengan merevisi aturan PKPU.
Jika yang dilakukan hanya meminta parpol memedomani isi putusan MA, surat dinas itu tentu tidak punya daya mengikat terhadap parpol peserta pemilu. ”Kalau kemudian parpol tidak memedomani surat tersebut, bagaimana? Apakah KPU akan memberikan sanksi?” kata Khoirunnisa.
Ia berpandangan, dalam merevisi PKPU itu, KPU sebenarnya tidak perlu melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Putusan MA sudah jelas bunyi putusannya dan bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, sebaiknya KPU langsung saja merevisi PKPU tersebut.
”Seharusnya PKPU direvisi dan setelah itu KPU baru bersurat ke parpol untuk memedomani revisi PKPU itu. Itu tidak akan mengganggu tahapan pemilu jika revisinya cepat,” ucapnya.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menambahkan, KPU provinsi dan kabupaten/kota saat ini posisinya juga masih menunggu penjelasan dari KPU terkait dengan surat dinas yang dibuat. Menurut dia, sampai dengan pencermatan rancangan DCT pada hari terakhir, belum ada arahan yang jelas dari KPU.
”Berdasarkan pemantauan kami, parpol di daerah sudah mempersiapkan dapil mana yang keterwakilan perempuannya belum mencapai 30 persen. Termasuk juga bacaleg eks terpidana. Partai politik sudah mengalkulasi apa yang menjadi putusan MA. Seharusnya KPU bisa merevisi PKPU agar ada kepastian hukum,” kata Neni.
Ia berharap tindak lanjut putusan MA tidak hanya sebatas surat dinas yang ditujukan kepada parpol, tetapi juga harus dipedomani secara serius untuk perbaikan kualitas demokrasi. Jika diperlukan, parpol yang tidak melaksanakan putusan MA dikenai sanksi berupa diskualifikasi peserta pemilu. Dalam waktu yang terbatas itu, KPU juga bisa menerbitkan surat instruksi melalui surat edaran untuk KPU provinsi, kabupaten, dan kota agar lebih jelas hal-hal apa saja yang harus ditindaklanjuti.
”Termasuk melakukan perpanjangan pencermatan rancangan DCT sebagai akibat dari keluarnya putusan MA. Secara teknis, KPU yang berwenang mengaturnya,” ujarnya.