Eks Napi Korupsi ”Nyaleg”, IPK 2024 Diprediksi Jeblok
Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya ada 33 eks napi korupsi yang mencalonkan diri melalui partai politik sebagai calon anggota DPR dan DPRD pada Pemilu dan Pilkada 2024. IPK 2024 pun diprediksi bakal jeblok.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun depan diperkirakan kembali jeblok. Fenomena kembalinya mantan narapidana kasus korupsi ke panggung politik nasional pada Pemilu dan Pilkada 2024 ataupun lokal baik sebagai calon anggota legislatif pusat maupun daerah diprediksi bakal menyumbang ketidakpercayaan masyarakat kepada partai politik sebagai salah satu instrumen demokrasi ataupun lembaga legislatif.
Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya terdapat 33 eks napi korupsi yang mencalonkan diri melalui partai politik sebagai calon anggota DPR dan DPRD pada Pemilu dan Pilkada 2024. Sembilan orang mencalonkan untuk posisi DPR, sedangkan sisanya 33 orang maju untuk kursi DPRD provinsi/kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, menurut ICW, sebanyak 11 orang berada di nomor urut satu di daerah pemilihan masing-masing. Selain kursi DPR/DPRD, enam eks terpidana korupsi juga mencalonkan diri untuk menduduki kursi DPD.
”Kondisi sekarang ini memang kalau kita lihat memprihatinkan, ya,” kata mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang dalam jumpa pers daring, Rabu (30/8/2023). Ia bahkan memprediksi kondisi tersebut akan menyebabkan indeks persepsi tahun 2024 turun dari tahun ini 34 menjadi 32.
Salah satu penyebabnnya, menurut Saut, terkait dengan aspek varieties of democracy. Aspek tersebut sangat berkaitan dengan kaderisasi politik, lembaga penyelenggara pemilu, dan lainnya. Intinya, politik dan pemilu yang berintegritas menyumbang peran besar terhadap perbaikan indeks persepsi korupsi.
Bagi Saut sendiri, pencalonan eks napi korupsi sungguh menyakitkan hati. Hal itu akan menyebabkan hilangnya kepercayaan publik, mengindikasikan adanya pengampunan, dan menimbulkan persepsi bahwa orang kaya atau berpengaruh memiliki akses yang lebih besar. Selain itu, hal tersebut juga mengirimkan pesan negatif terkait efektivitas deteransi mencegah korupsi, juga hilangnya kepercayaan terhadap sistem hukum.
Kondisi sekarang ini memang kalau kita lihat memprihatinkan, ya.
Tidak ada semangat
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai tidak ada semangat pemberantasan korupsi dalam diri KPU. KPU membuat aturan yang kontroversial ketika mengundangkan Peraturan KPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. PKPU tersebut memuat aturan yang melanggar putusan MK terkait masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana untuk mencalonkan diri kembali dalam pemilu legislatif.
Kami berharap MA meluruskan pikiran KPU yang melenceng.
Aturan tersebut dipatahkan KPU dengan membuat pengecualian bagi napi korupsi yang hak politiknya dicabut. Bagi eks napi ini, mereka boleh maju dalam pencalonan tanpa harus menunggu masa jeda lima tahun, cukup mengikuti masa pencabutan hak politik yang bisa kurang dari lima tahun.
Kaderisasi gagal
Fenomena munculnya eks napi korupsi sebagai bakal caleg, yang bahkan diajukan partai politik di nomor urut pertama, menunjukkan bahwa proses kaderisasi internal partai tak berhasil. ”Apakah kurang kader yang setidak-tidaknya bersih dari catatan hukum sehingga mereka harus menerima kandidat dari mantan napi?” tanya Kurnia.
Apakah kurang kader yang setidak-tidaknya bersih dari catatan hukum sehingga mereka harus menerima kandidat dari mantan napi?
Dibukanya pintu pencalonan eks napi korupsi tersebut juga menunjukkan bahwa partai politik sangat pragmatis. Orang-orang yang dahulu mengemban jabatan publik (tetapi tergelincir kasus korupsi) dinilai memiliki basis massa yang besar sehingga kalau direkrut bisa menaikkan suara partai. Pola pikir semacam itu, menurut Kurnia, haruslah diubah.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga mengungkapkan hal serupa. Parpol dinilai tidak mampu menemukan kader terbaiknya yang bukan eks koruptor untuk masuk daftar calon sementara (DCS).
”Bayangkan, begitu banyaknya orang berkualitas yang jika parpolnya punya sistem yang baik, punya kaderisasi, punya kode etik internal juga, mematuhi hukum, tentu tidak akan memilih si A, B, atau C yang pernah menjadi koruptor,” kata Bivitri.
Kondisi tersebut jelas merugikan masyarakat pemilih. Sebab, Bivitri mengingatkan, pemilih di Indonesia jarang sekali melihat rekam jejak para calon.
”Kita masih melihat faktor keterkenalan, mentereng atau tidak, atau hal-hal lain yang tidak melihat rekam jejak. Di situlah sebenarnya peran penyelenggara pemilu dan parpol dibutuhkan untuk menjadi filter bagi proses pemilu ini. Filter itu sampai sejauh ini belum berhasil diterapkan,” ujarnya.