Perlunya Kendalikan Banjir Misinformasi Jelang Pemilu 2024
Kian majunya industri penyebaran informasi sesat, penyelenggara pemilu dan pihak yang terlibat kontestasi politik memitigasi misinformasi. Harapannya tak terjadi konflik berkepanjangan, seperti terjadi di Yalimo, Papua.
Bagaikan jamur yang tumbuh subur saat musim hujan, konten–konten negatif dan menyesatkan juga semakin banyak bermunculan menjelang Pemilu 2024. Konten-konten ini kian canggih karena dibuat dengan modal besar, terencana, serta memanfaatkan teknologi termutakhir. Dibutuhkan strategi mitigasi untuk menghadapi banjir misinformasi.
Banjir misinformasi menjelang pesta demokrasi Indonesia tergambar dari data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang menyebutkan konten politik mendominasi dalam persebaran hoaks sepanjang Januari-Juni 2023. Mafindo mencatat, dari 1.185 konten hoaks, sebanyak 541 di antaranya, atau sebanyak 45,7 persen, berkaitan dengan politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Juga: Belajar dari Dunia Menghadapi Disinformasi Pemilu 2024
Konten tersebar melalui Facebook dan Youtube (34,5 persen), Twitter (12 persen), Tiktok (6,6 persen), dan Whatsapp (6,3 persen). Tipe hoaks secara umum berupa konten yang dimanipulasi dan konten yang dibuat dengan konteks yang salah dan menyesatkan.
”Levelnya sudah bukan misinformasi, tapi disinformasi. Ada usaha yang betul-betul dilakukan untuk memproduksi informasi sesat,” kata Presidium Litbang Mafindo Loina Perangin-angin, di Jakarta, Senin (25/9/2023).
Baca Juga: ”Tarung Bebas” Sebelum Tiba Masa Kampanye
Bagaikan industri yang dipersiapkan dengan matang, konten-konten dibuat dengan rapi dan memanfaatkan teknologi paling canggih. Metode paling umum adalah menggunakan foto dan video yang diedit dan diunggah dengan narasi di luar konteks. Di samping itu, penggunaan teknologi termutakhir, seperti kecerdasan buatan (artificial Intelligence/AI) dan voice changer, juga kini diwaspadai karena sudah banyak digunakan untuk berbagai kepentingan.
Bergerak bagai pendulum
Adapun narasi yang dikembangkan, menurut Loina, bagaikan pendulum yang bergerak ke kiri dan ke kanan. ”Ada yang mendiskreditkan dan menjelekkan individu atau kelompok tertentu, ada pula yang terlalu memuja tokoh-tokoh politik,” kata Loina.
Kalau pada Pemilu 2019 penyebaran misinformasi dan hoaks berkaitan dengan kampanye suku, agama, ras, dan antargolongan, kini misinformasi menyasar elite dan partai politik, serta penyelenggara dan pengawas pemilu. Ini menjadi ancamanan pelaksanaan Pemilu 2024 yang memiliki asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan Undang-Undang Pemilu saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2022 tentang Perubahan atas UU No 7/2017 tentang Pemilu menjadi UU.
Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Papua Ronald Manoach mewaspadai penyebaran informasi palsu mendekati Pemilu 2024. ”Pekerjaan rumah kita itu banyak sekali dan kita harus berhati-hati,” katanya.
”Dengan adanya peningkatan teknologi kecerdasan buatan bisa membawa pengaruh buruk dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap lembaga (pemilu) jika tidak digunakan dengan bijak,” tutur Ronald.
Kalau pada Pemilu 2019, penyebaran misinformasi dan hoaks berkaitan dengan kampanye suku, agama, ras, dan antar golongan, kini misinformasi menyasar elite dan partai politik, serta penyelenggara dan pengawas pemilu.
Baca Juga: Siapkan Mitigasi untuk Cegah Disinformasi Pemilu
Dia memberikan contoh konflik berkepanjangan dan menyebabkan lebih 1.000 warga mengungsi sebagai dampak dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Yalimo, Papua, pada 2020 lalu juga diwarnai disinformasi. Kala itu, diisukan bahwa Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan dengan memenangkan salah satu pasangan calon kepala daerah.
Padahal, yang sesungguhnya terjadi, MK menjatuhkan putusan dengan mendiskualifikasikan pasangan Erdi Dabi-John Wilil karena Erdi dinilai masih berstatus mantan terpidana yang baru dapat mengajukan diri sebagai calon bupati lima tahun mendatang. MK pun memutuskan pelaksanaan pilkada ulang di Yalimo.
Baca Juga: Konflik Pilkada Berkepanjangan, Kondisi di Yalimo Semakin Memprihatinkan
”Ada penyebaran informasi bahwa MK sudah memutuskan pemenang Pilkada Yalimo adalah salah satu calon. Padahal, faktanya MK memutuskan PSU (pemungutan suara ulang). Akibat disinformasi tersebut salah satu pendukung calon melakukan aksi menolak PSU yang berujung kekerasan,” papar Ronald.
”Jadi, bukan hanya disinformasi yang memang terjadi, tapi disinformasi yang sengaja diproduksi berujung pada kekerasan,” kata Ronald.
Taktik misinformasi
Head of Large Customer Marketing Google Indonesia Muriel Makariem dalam peluncuran program #YukPahamiPemilu di Jakarta, Rabu (20/9/2023), menyebutkan, ada tiga taktik populer penyebaran misinformasi terkait Pemilu 2024 yang perlu diwaspadai, yaitu taktik merusak reputasi, manipulasi gambar dan video, serta memancing emosi.
Taktik merusak reputasi dilakukan melalui penyebaran konten yang sengaja dilakukan untuk mencemarkan nama baik seseorang atau kelompok. Taktik manipulasi gambar dan video, yaitu pengeditan dan pemakaian gambar dan video di luar konteks. ”Sementara taktik memancing emosi, yakni ketika konten sengaja dibuat dengan kata-kata dan narasi untuk membuat masyarakat merasa marah, sedih, dan takut berlebihan,” katanya.
Ada kalanya ketiga taktik itu digunakan secara bersamaan. Misalnya, taktik manipulasi gambar dan video diiringi oleh narasi yang menyebarkan ketakutan atau menjatuhkan individu dan kelompok tertentu.
Baca Juga: Literasi Digital untuk Hadang Hoaks
Untuk memberantas misinformasi, lebih dari 6,4 juta video global dihapus oleh Google pada kuartal pertama 2023. Di Indonesia, lebih dari 350.000 video dihapus. Dari jumlah itu, sebanyak 69.000 video dihapus karena melanggar kebijakan terkait dengan misinformasi.
Meski banyak pihak mendukung upaya Google, penghapusan video saja tidak cukup untuk menghadapi banjir misinformasi. Perlu ada pencegahan yang dilakukan oleh seluruh pemangku kebijakan pemilu untuk mencegah masyarakat terjerumus dalam misinformasi. Mitigasi ini penting dilakukan untuk kelompok rentan, termasuk pemilih pemula, masyarakat yang tinggal di pedalaman, dan kelompok lanjut usia.
Program Manager Tular Nalar Santi Indra Astuti mengatakan, perlu dipahami, bagi sebagian orang menyebarkan hoaks dilakukan dengan tujuan ingin melindungi diri dan lingkungan terdekatnya. ”Bagi lansia, ancaman dianggap betul-betul sebagai ancaman. Maka, kalau ada informasi mengancam, bisa disebarkan, padahal belum tentu benar,” ujarnya.
Kapasitas berpikir kritis
Untuk menghentikan alur penyebaran misinformasi, Tular Nalar melakukan peningkatan kapasitas berpikir kritis untuk masyarakat rentan, termasuk pemilih pemula dan kelompok lansia. Program dilaksanakan di 16 wilayah di Indonesia, yaitu Aceh, Medan, Bengkulu, Bandung, Purworejo, Magelang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Kalimantan Utara, Banjarmasin, Makassar, Manado, Lombok Utara, Maluku, dan Jayapura.
Santi menjelaskan, pihaknya membuat program yang mudah dipahami dan disesuaikan oleh kelompok sasaran. Satu kelompok pelatihan diikuti oleh 5-6 orang. ”Kami mengajak lansia ngobrol. Kami ajak lansia mencari dan menelusuri informasi bersama-sama, lalu membagikan temuan yang didapatkan kepada rekan-rekan seusianya. Dengan begitu, kami juga menjadikan lansia sebagai agent of change,” kata Santi.
Ia menyebutkan, ada beberapa pendekatan untuk melatih kelompok masyarakat. Mulai dari mendukung masyarakat untuk mengakses internet dan memeriksa fakta melalui gawai, ada juga yang pendekatannya personal sesuai dengan kebutuhan. ”Kalau kelompok masyarakat itu tidak percaya kami, ya, kami cari tahu siapa orang yang dipercaya. Kami ajak bicara tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat,” tuturnya.
Untuk menghentikan alur penyebaran misinformasi, Tular Nalar melakukan peningkatan kapasitas berpikir kritis untuk masyarakat rentan, termasuk pemilih pemula dan kelompok lansia.
Baca Juga: Konspirasisme, ”Buzzer” Politik, dan Pemilu 2024
Berdampak polarisasi politik
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan, pengalaman pemilu di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat pada 2020, Brasil dan Perancis pada 2022, yang diwarnai penyebaran berita palsu dan kampanye gelap menjadi pelajaran agar Indonesia dapat melaksanakan pemilu yang adil. Penyebaran berita palsu ini punya banyak dampak, seperti menurunkan kepercayaan publik, timbulnya polarisasi politik, dan instabilitas sosial.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, saat ini terdapat 212 juta pengguna internet di Indonesia. Sebanyak 153,7 juta pengguna media sosial berusia 18 tahun ke atas. Generasi Z dan milenial menggunakan media sosial selama 6 jam per hari.
Mengutip data Komisi Pemilihan Umum (KPU), dibandingkan Pemilu 2019, terjadi peningkatan jumlah pemilih sebesar 12 persen atau setara dengan 204 juta pemilih di tahun 2023 ini. Generasi Milenial dan Z, yang mencapai lebih dari 50 persen total pemilih, mendominasi demografis pemilih Pemilu 2024.
Dengan semakin majunya industri penyebaran hoaks dan misinformasi, penyelenggara dan pengawas pemilu beserta pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi politik perlu berlomba-lomba memitigasi dan menghadang misinformasi. Tujuannya agar tidak ada yang menjadi korban tenggelam dalam derasnya banjir misinformasi dan disinformasi.