Hoaks, politik identitas, dan polarisasi di publik bisa berkembang tanpa ada pengawasan dan penindakan karena banyak pihak yang ”berkampanye” sebelum masuk tahapan kampanye.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
Masa kampanyePemilu 2024 baru dimulai empat bulan lagi, tetapi suasana yang terasa saat ini tak ubahnya seperti saat berada di tengah masa kampanye. Bendera partai politik berkibar di mana-mana. Partai politik bergantian unjuk gigi. Belum lagi para figur yang hendak maju sebagai wakil rakyat ataupun calon presiden dan wakil presiden yang intens mengenalkan diri dengan langsung menemui publik ataupun via baliho dan spanduk.
Durasi kampanye Pemilu 2024 yang lebih singkat dibandingkan pemilu sebelumnya kerap dijadikan alasan sehingga mereka ”berkampanye” di luar jadwal. Memang, masa kampanye kali ini hanya 75 hari atau jauh lebih singkat dibandingkan dengan durasi kampanye pada Pemilu 2019 selama 203 hari. Namun, pemangkasan durasi kampanye itu pun atas desakan dan persetujuan dari partai politik (parpol) melalui perwakilan mereka di Komisi II DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sejak awal, mereka meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memangkas masa kampanye karena durasi yang panjang dinilai berdampak negatif, yakni menguatkan polarisasi di publik. Alasan yang sebenarnya dikritik sejumlah kelompok masyarakat sipil karena pengurangan durasi berimbas pada terpangkasnya pula kesempatan publik mengenal para peserta pemilu sebelum pemilih menjatuhkan pilihan di tempat-tempat pemungutan suara.
Namun, apa daya, keputusan memangkas durasi kampanye itu tetap diambil. Sayangnya, implikasi dari pemangkasan berupa intensnya gerak para calon peserta pemilu sebelum masa kampanye dinilai banyak pihak, utamanya kalangan masyarakat sipil, tak cukup diantisipasi.
Dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu, KPU hanya mengatur aktivitas parpol sebelum masa kampanye, 28 November 2023-10 Februari 2024. Dalam Pasal 79 disebut bahwa parpol peserta pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal sebelum masa kampanye. Selain kegiatan parpol sebatas internal, parpol dilarang memuat unsur ajakan dan dilarang mengungkapkan citra diri, identitas, dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dalam setiap kegiatannya.
Bagaimana dengan para figur yang sudah intens mengenalkan diri sebagai wakil rakyat ataupun capres dan cawapres?
PKPU hanya memuat aturan kampanye bagi mereka yang telah ditetapkan sebagai calon anggota legislatif (caleg) ataupun capres dan cawapres oleh KPU. Hingga kini, caleg masih dalam proses verifikasi sehingga belum ditetapkan. Adapun capres dan cawapres masih berproses di parpol. Tahapan pendaftaran capres-cawapres baru dibuka KPU pada Oktober mendatang.
Meski demikian, Komisioner KPU, August Mellaz, menegaskan, tak perlu ada aturan khusus karena hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu serta sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini termasuk sanksinya. Dengan demikian, menurut dia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah bisa melakukan penindakan jika memang ada pelanggaran.
Atas alasan ini pula, usulan Bawaslu yang mendorong lahirnya aturan khusus yang mengatur gerak-gerik peserta pemilu sebelum masa kampanye dikandaskan oleh KPU. Padahal, tanpa aturan khusus itu, saat laporan pelanggaran kampanye masuk, Bawaslu menggugurkannya dengan alasan saat ini belum masuk masa kampanye.
Ditambah lagi, para figur yang kini sudah intens mengenalkan diri untuk menjadi anggota legislatif ataupun bakal capres dan cawapres belum ditetapkan menjadi peserta pemilu oleh KPU. Kondisi yang kian menyulitkan Bawaslu karena aturan PKPU sebatas mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh peserta pemilu yang telah ditetapkan KPU.
Kondisi itu yang menurut Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta, dalam diskusi ”Kampanye Gaya Bebas, Demokrasi Terjun Bebas” di Jakarta, Selasa (25/7/2023), saat ini seolah seperti tarung bebas para peserta ataupun calon peserta pemilu.
Mereka berebut lahan untuk menarik simpati pemilih baik di ruang publik maupun ruang digital. Yang lebih dikhawatirkan, hoaks, politik identitas, hingga politik uang yang bisa semakin merajalela akibat tidak adanya pengawasan dan penindakan.
Tak hanya itu, keadilan dalam pemilu bisa jadi tak terwujud karena mereka yang bermodal besar akhirnya bisa dengan leluasa curi start kampanye. Sebaliknya, mereka yang modalnya pas-pasan bakal tertinggal saat masa kampanye start, 28 November mendatang.
Potensi ketidakadilan kian menguat tatkala asal muasal hingga penggunaan dana untuk ”kampanye” para peserta dan calon peserta pemilu tak ada pengaturannya, dan tak ada pula yang mengawasi.
”Selama masa sosialisasi ini akan beredar dana politik dalam jumlah besar, tetapi tidak bisa ditagih transparansi dan akuntabilitasnya. Sebab, cakupan (aturan) dana kampanye hanya meliputi penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye,” ujar pembicara lain dalam diskusi, Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti.
Berangkat dari problem-problem yang ada, dua pembicara lain, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo dan Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju Yusfitriadi, mendesak KPU membuat regulasi khusus untuk mengatur gerak ”kampanye” para peserta dan calon peserta pemilu sebelum masa kampanye.
Regulasi khusus itu, menurut Yusfitriadi, bisa mendorong kerja-kerja pengawasan dan penindakan Bawaslu sebelum masa kampanye.
Sebuah desakan yang sebenarnya sudah lama disuarakan kelompok masyarakat sipil. Mungkinkah kini KPU berubah pikiran demi terwujudnya asas adil dalam pemilu?