Ruang Gelap Sosialisasi Politik
Masa tunggu selama hampir satu tahun menuju kampanye Pemilu 2024 menciptakan ruang gelap sosialisasi politik, politik uang tidak akan bisa diproses. Karena itu, pengaturan masa tunggu kampanye harus diubah.
Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 mengatur pelaksanaan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Putusan Mahkamah Konstitusi No 48/PUU-XVI/2018 menerjemahkan pemilu yang jujur dan adil sebagai pemilu yang bebas dari segala bentuk manipulasi peraturan yang menguntungkan kelompok tertentu, manipulasi pemilih melalui kampanye, dan manipulasi perolehan suara.
Sarah Birch (2011) menyebut bahwa manipulasi aturan dapat terjadi melalui perancangan aturan yang bertujuan melemahkan kesetaraan arena kompetisi. Sedangkan manipulasi pemilih, misalnya, dilakukan dengan memanipulasi preferensi murni atau kehendak bebas pemilih melalui pembelian suara politik uang atau praktik klientelisme.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Mahkamah Konstitusi (MK) menekankan asas jujur dan adil harus tecermin dalam setiap regulasi ataupun proses pemilu. Rakyat harus menjatuhkan pilihan dan memberikan suara sesuai kehendak bebasnya tanpa dimanipulasi. Kehendak bebas rakyat mesti dijaga agar tidak dibelokkan dengan berbagai upaya sistemik oleh siapa pun yang terlibat dalam kontestasi pemilu, termasuk melalui kampanye.
Baca juga: Serius Mengurus Pemilu
Citra diri
Pasal 1 angka 35 UU No 7/2017 tentang Pemilu mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Pemilu 2024 mengatur masa kampanye yang lebih pendek, yakni 75 hari. Bandingkan dengan masa kampanye Pemilu 2019 yang berlangsung 6 bulan 21 hari.
Masa kampanye Pemilu 2024 akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Sementara penetapan partai politik peserta pemilu sudah dilakukan pada 14 Desember 2022. Artinya, ada jeda atau masa tunggu selama hampir satu tahun menuju kampanye.
Berdasar praktik Pemilu 2019, selama masa tunggu tersebut peserta pemilu dibolehkan melakukan aktivitas yang disebut sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai. Hal itu diatur dalam Pasal 25 Ayat (2), (3), dan (4) Peraturan KPU 33/2018 tentang Kampanye Pemilu. Sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai dilakukan dengan metode pemasangan bendera partai dan nomor urutnya serta pertemuan terbatas dengan memberitahukan secara tertulis kepada KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat satu hari sebelum kegiatan dilaksanakan.
Selain itu juga diatur larangan untuk mengungkapkan atau memublikasikan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik partai politik yang memuat tanda gambar dan nomor urut partai politik dengan menggunakan metode penyebaran bahan kampanye kepada umum; pemasangan alat peraga di tempat umum atau media sosial; serta melalui iklan di media cetak, media elektronik, dan media dalam jaringan, di luar masa kampanye yang telah ditetapkan KPU.
Ketentuan PKPU 33/2018 tersebut masih berlaku. Hal itulah yang menciptakan ruang gelap dan mengancam kompetisi pemilu demokratis. Khususnya, ketika dikaitkan dengan keputusan Bawaslu yang menyatakan tidak terdapat dugaan pelanggaran pemilu dalam peristiwa pembagian uang zakat dalam amplop berlogo partai di Sumenep pada 24 Maret 2023. Walaupun menganggap terdapat potensi persoalan hukum mengingat pembagian dilakukan di tengah tahapan Pemilu 2024, Bawaslu tidak dapat menangani dugaan pelanggaran pemilu.
Argumentasi Bawaslu sangat legalistik. Pertama, tidak bisa menindak perbuatan tersebut sebagai pelanggaran kampanye di luar jadwal karena berdasar ketentuan Pasal 25 Ayat (3) PKPU 33/2018, yang dilarang itu adalah menampilkan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik partai politik yang memuat tanda gambar dan nomor urut partai politik secara kumulatif. Sementara dalam amplop yang dibagikan hanya terdapat tanda gambar.
Baca juga: Politik Uang
Baca juga: Pemilu 2024 dan Pendewasaan Demokrasi
Kedua, meskipun Pasal 280 Ayat (1) huruf h dan j UU No 7/2017 melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye menggunakan tempat ibadah serta menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye, dugaan politik uang tidak bisa ditindaklanjuti karena pengaturan larangan politik uang tersebut hanya berlaku pada masa kampanye. Subyek hukumnya berdasar Pasal 523 Ayat (1) UU No 7/2017 terbatas pada pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu. Sementara peristiwa yang terjadi di Sumenep itu dilakukan di luar masa kampanye dan subyek hukum yang melakukan tidak berstatus sebagai pelaksana ataupun tim kampanye.
Menimbang konstruksi pemilu yang jujur dan adil dalam Putusan MK 48/PUU-XVI/2018 serta bagaimana malapraktik pemilu dapat terjadi melalui manipulasi aturan ataupun menyasar pemilih, dengan merujuk kasus Sumenep tersebut, maka pengaturan masa tunggu kampanye haruslah diubah karena sangat jauh dari praktik pemilu demokratis. Pertimbangannya, pertama, penggunaan syarat kumulatif tanda gambar dan nomor urut partai politik sebagai tafsir citra diri dalam unsur kampanye akan selalu disiasati aktor politik dengan hanya menampilkan salah satunya saja, yaitu tanda gambar atau nomor urut (alternatif).
Dugaan politik uang tidak bisa ditindaklanjuti karena pengaturan larangan politik uang tersebut hanya berlaku pada masa kampanye.
Kedua, selama masa tunggu kampanye, politik uang tidak akan bisa diproses hukum meski telah terjadi bagi-bagi uang secara nyata disertai penggunaan identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik partai (meski secara alternatif). Sebabnya, hal itu dilakukan di luar masa kampanye dan bukan oleh subyek hukum yang diklasifikasi undang-undang.
Ketiga, ketika yang pertama dan kedua dibiarkan, selama masa tunggu kampanye akan beredar dana politik dalam jumlah sangat besar, tetapi tidak bisa ditagih transparansi dan akuntabilitasnya. Dana tersebut tidak terjangkau laporan keuangan partai politik ataupun laporan dana kampanye peserta pemilu. Sebab, cakupan dana kampanye hanya meliputi penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye. Bukan tidak mungkin, dana-dana ilegal yang pernah disebut PPATK (Kompas, 15/2) juga berkelindan dalam aktivitas sosialisasi politik selama masa tunggu kampanye ini.
Progresivitas KPU
Harus ada progresivitas menyikapi adanya ruang gelap sosialisasi politik. KPU harus segera mengambil langkah untuk mengatur sosialisasi politik internal dan eksternal partai selama masa tunggu kampanye. Hal ini mengingat KPU adalah pihak yang paling otoritatif secara teknis dan perundang-undangan untuk mengatur tahapan pemilu. Hal itu juga artikulasi tanggung jawab KPU atas konsekuensi pengaturan masa kampanye yang durasinya sangat pendek.
Sejumlah hal yang perlu diatur KPU: pertama, mengubah ketentuan kumulatif menjadi alternatif dalam tafsir citra diri pada definisi kampanye. Citra diri sebagai identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik partai politik yang bersifat asosiatif dengan tanda gambar atau nomor urut.
KPU harus segera mengambil langkah untuk mengatur sosialisasi politik internal dan eksternal partai selama masa tunggu kampanye.
Kedua, menegaskan pengaturan larangan kampanye dalam Pasal 280 UU No 7/2017 juga berlaku dalam aktivitas sosialisasi politik. Termasuk larangan penggunaan tempat ibadah serta menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
Apa yang pada dasarnya dilarang dilakukan aktor politik saat kampanye, secara substansial juga tidak dikehendaki untuk dilakukan selama tahapan-tahapan pemilu yang lain. Sebab, apa yang dilarang tersebut merupakan perbuatan yang semuanya tidak sejalan dengan praktik pemilu bebas dan adil.
Ketiga, mengatur tata cara dan mekanisme pelaporan dana sosialisasi politik yang diterima partai secara langsung atau melalui pihak-pihak yang terafiliasi dengan partai. Untuk itu, partai perlu menyampaikan kepada KPU siapa saja orang yang ditunjuk partai untuk melakukan sosialisasi politik di masa tunggu kampanye.
Terakhir, keempat, kalau KPU ingin lebih mudah dan efektif mencegah serta menegakkan aturan larangan kampanye di luar jadwal ataupun politik uang, masa kampanye pemilu bisa diatur lebih panjang dengan memajukan jadwal penetapan daftar calon tetap (DCT).
Baca juga: Durasi Kampanye Pendek, Kampanye di Luar Jadwal Bisa Marak
Baca juga: Memperpendek Durasi Kampanye, Mengurangi Potensi Perpecahan
Dengan demikian, masa tunggu kampanye bisa difokuskan sebagai momen konsolidasi dan penguatan struktur internal partai. Juga waktu yang optimal untuk menyerap dan mendengarkan aspirasi pemilih sebagai dasar mengukuhkan gagasan dan program yang akan ditawarkan saat pelaksanaan kampanye.
Pembiaran ruang gelap sosialisasi politik akan mengakibatkan peredaran dana ilegal yang bisa memicu korupsi politik, serta praktik kompetisi pemilu yang transaksional dan tidak adil. Tentu bukan itu yang kita harapkan dari Pemilu 2024.
Titi Anggraini, Pembina Perludem dan Pengajar Bidang Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Twitter: titianggraini; Instagram: tanggraini; YouTube: TitiAnggraini79