Durasi Kampanye Pendek, Kampanye di Luar Jadwal Bisa Marak
Masa kampanye selama 90 hari dikhawatirkan memicu kampanye di luar jadwal semakin marak. Dengan demikian, akan banyak peredaran dana politik yang dibelanjakan bakal caleg yang tidak bisa diukur akuntabilitasnya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan durasi masa kampanye selama 90 hari oleh Komisi Pemilihan Umum berpotensi membuat kampanye di luar jadwal semakin marak. Situasi kompetisi dikhawatirkan tidak sehat karena peredaran dana politik di luar masa kampanye tidak bisa diukur akuntabilitasnya.
Berdasarkan salinan materi konsinyasi yang diperoleh dari salah satu anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang dipaparkan Komisi Pemilihan Umum, Jumat (13/5/2022), durasi masa kampanye diusulkan selama 90 hari. Usulan ini lebih pendek dibandingkan usulan KPU sebelumnya yang sempat mengusulkan masa kampanye selama 120 hari dan 203 hari.
Pada kesempatan itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, pihaknya berharap dalam konsinyasi kali ini akan terjadi titik temu antara DPR, pemerintah, dan KPU. Utamanya kesepakatan mengenai durasi masa kampanye serta proses pengadaan dan distribusi logistik sampai ke tempat pemungutan suara (TPS).
”KPU berharap RDP (rapat dengar pendapat) digelar pada Mei 2022 sehingga Peraturan KPU Tahapan Pemilu 2024 dapat ditetapkan dan diundangkan pada Mei 2022. Hal ini penting karena tahapan Pemilu 2024 akan dimulai 14 Juni 2022 (20 bulan sebelum hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024),” ujar Hasyim.
Untuk memenuhi usulan itu, KPU membutuhkan dukungan dari DPR, pemerintah, Mahkamah Agung, Badan Pengawas Pemilu, dan peserta pemilu. Adapun dukungan yang dibutuhkan adalah kebijakan terkait pengadaan dan distribusi logistik pemilu, penyelesaian sengketa proses pemilu, validasi surat suara, penanganan logistik pemilu di luar negeri, serta distribusi dan pengelolaan logistik.
Dukungan yang dibutuhkan antara lain instruksi presiden untuk dukungan terkait pengadaan dan distribusi logistik pemilu yang berkaitan dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, TNI, Polri, Pemda, dan instansi terkait.
Adapun terkait penyelesaian sengketa pemilu, Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat menyelesaikan sengketa proses pemilu dalam pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pencalonan presiden dan wakil presiden paling lambat 10 hari kalender setelah penetapan daftar caleg tetap.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, masa kampanye selama 90 hari dikhawatirkan memicu kampanye di luar jadwal semakin marak. Selama menunggu daftar calon anggota legislatif tetap ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, caleg kemungkinan akan menggunakan waktu untuk melakukan aktivitas penjangkauan pemilih menyerupai kampanye. Badan Pengawas Pemilu pun akhirnya dihadapkan untuk mengawasi kampanye di luar jadwal.
Dengan demikian, akan banyak peredaran dana politik yang dibelanjakan bakal caleg yang tidak bisa diukur akuntabilitasnya. Sebab pertanggungjawaban laporan dana kampanye hanya disyaratkan untuk kegiatan-kegiatan yang berlangsung selama masa kampanye resmi yang ditetapkan KPU ”Hal itu bisa menciptakan situasi kompetisi yang tidak setara antarkandidat,” ucapnya.
Di sisi lain, usulan durasi kampanye ini membutuhkan dukungan pemerintah untuk menyukseskan pengadaan dan distribusi logistik. Sebab masalah logistik di pemilu Indonesia rumit dan kompleks akibat konsekuensi keserentakan pemilu dengan kombinasi sistem proporsional terbuka. Pada saat yang sama, transparansi dan akuntabilitas pengadaan serta distribusi logistik yang melibatkan anggaran yang besar harus dipastikan pengawasannya oleh pihak berwenang.
”Kesalahan dalam pengelolaan logistik bisa berdampak pada ketidakpuasan publik dan juga menurunnya kredibilitas penyelenggara pemilu,” kata Titi.