Memperpendek Durasi Kampanye, Mengurangi Potensi Perpecahan
Durasi kampanye yang lebih pendek diharapkan bisa membuat situasi lebih kondusif di tengah pembelahan politik yang masih mewarnai panggung politik.
Pertimbangan memperpendek masa kampanye pemilu guna mengurangi potensi konflik di akar rumput diamini oleh publik. Mengurasi durasi kampanye diyakini akan mampu mencegah lahirnya benih-benih perpecahan sebagai imbas dari pembelahan politik yang selama ini terjadi.
Kesimpulan ini terbaca dari hasil jajak pendapat Kompas akhir Mei lalu. Mayoritas responden (78,1 persen) dalam survei tersebut menyepakati bahwa memperpendek durasi masa kampanye Pemilu 2024 bisa berpotensi mencegah perpecahan politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kekhawatiran terjadinya perpecahan ini tidak lepas dari fenomena polarisasi pilihan politik di Pemilu Presiden 2014 dan 2019 sebelumnya.
Mengurasi durasi kampanye diyakini akan mampu mencegah lahirnya benih-benih perpecahan.
Semangat memperpendek durasi masa kampanye pemilu sebenarnya juga ditangkap oleh pemangku kepentingan. Hasil pembahasan tahapan pemilihan umum merekam, baik penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan DPR sepakat untuk mengurangi durasi masa kampanye pemilu.
Sebagai gambaran, masa kampanye Pemilu 2019 sendiri mencapai 203 hari yang dinilai terlalu panjang. Upaya mengurangi durasi kampanye dari Pemilu 2019 ini karena masa kampanye yang terlalu panjang dinilai berpotensi melahirkan ketegangan politik. Apalagi di situasi pembelahan politik yang masih terjadi sebagai residu Pilpres 2014 dan 2019.
Secara umum, kondisi pembelahan ini juga masih dirasakan oleh publik. Jajak pendapat merekam, hampir separuh responden mengakui pembelahan menjadi dua kubu ini masih terjadi sebagai imbas persaingan di pemilihan presiden lalu yang kondisinya tetap sampai hari ini, bahkan lebih memburuk.
Tidak heran jika kemudian, upaya memperpendek durasi masa kampanye ini diamini oleh mayoritas responden sebagai salah satu strategi untuk mengurangi potensi ketegangan dan perpecahan tersebut. Isu memperpendek durasi masa kampanye ini juga tidak didasari oleh sikap partisan.
Hal ini tampak dari kelompok responden yang menjadi bagian dari kedua kubu yang selama ini berhadap-hadapan, semuanya menyatakan sikap yang sama.
Dari kelompok responden pemilih Joko Widodo, mayoritas (81,5 persen) menyatakan setuju kampanye tidak perlu terlalu lama. Hal yang sama juga disampaikan oleh mayoritas (75,2 persen) dari kelompok responden pemilih Prabowo Subianto di Pilpres 2019.
Selain kedua kubu, sikap serupa juga ditunjukkan oleh kelompok responden yang masuk kategori swing voters, yakni mereka yang merahasiakan pilihan politiknya.
Baca juga: Mengefektifkan Masa Kampanye Pemilu
Pemilih partai
Upaya memperpendek masa kampanye pemilu bukan menjadi isu partisan juga dikuatkan dengan sikap responden berdasarkan simpatisan atau latar belakang pilihan partai politik di pemilu sebelumnya.
Senada dengan sikap simpatisan Jokowi dan Prabowo, rata-rata dukungan terhadap upaya memperpendek durasi masa kampanye juga disampaikan oleh mayoritas dari masing-masing responden pemilih partai politik.
Dari latar belakang pilihan partai politik ini juga makin menegaskan bahwa ide memperpendek durasi masa kampanye tidak didasari oleh sikap partisan. Hal ini terlihat dari kelompok responden pemilih partai-partai politik.
Baik pendukung partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintah maupun partai yang berada di luar pemerintahan sama-sama menyepakati waktu pelaksanaan kampanye tidak perlu terlalu panjang seperti halnya yang diterapkan di Pemilu 2019.
Isu ini berbeda jika dikaitkan dengan isu tingkat kepuasan responden terhadap kinerja pemerintahan. Hasil survei Kompas Januari lalu menyebutkan, sikap kritis terhadap kinerja pemerintahan Jokowi lebih banyak ditunjukkan oleh responden yang bukan simpatisan atau pemilih Jokowi di Pilpres 2019.
Sebaliknya, kelompok responden yang merupakan pemilih Jokowi cenderung memberikan apresiasi lebih terhadap kinerja pemerintah.
Dari penyikapan ini makin menguatkan ada semangat yang besar agar energi bangsa ini tidak habis hanya untuk urusan persaingan di pemilihan presiden.
Apalagi mengurangi ketegangan politik dengan memperpendek masa kampanye juga didukung oleh masyarakat dari segala lapisan. Mereka yang masuk kategori berpendidikan rendah, sedang, dan tinggi sama-sama menginginkan masa kampanye tidak perlu terlalu lama agar kondusivitas sosial politik lebih terjaga di masa pelaksanaan pemilu.
Ada semangat yang besar agar energi bangsa ini tidak habis hanya untuk urusan persaingan di pemilihan presiden.
Tentu, selain membatasi durasi masa kampanye, untuk mengurasi potensi perpecahan akibat pembelahan politik ini juga perlu dilakukan dengan upaya-upaya lainnya.
Jajak pendapat menyebutkan, mengakhiri persaingan antara kedua kubu juga akan memberikan dampak positif. Salah satunya dengan jalan menyudahi penyebutan istilah yang populer di sosial media, seperti pelabelan cebong-kandrun/kampret. Hal ini disampaikan oleh 84,6 persen responden.
Hal penting lainnya adalah kedua kubu harus menahan diri untuk tidak berkomentar di media sosial, terutama komentar yang dapat menimbulkan kebencian atau kemarahan dari kubu lainnya. Mayoritas responden mengakui, dengan menahan diri setidaknya bisa mengurangi potensi perpecahan dan ketegangan politik.
Tentu, dengan masa kampanye yang lebih pendek, setidaknya bisa memberikan kontribusi terhadap situasi yang lebih kondusif dan sehat agar pemilu tidak diramaikan oleh ujaran kebencian dan kampanye hitam.
Baca juga: Kesepakatan soal Durasi Masa Kampanye Harus Segera Diputuskan
Tahapan pemilu
Kini, harapan publik yang menginginkan durasi kampanye lebih pendek ini perlu menjadi perhatian pemangku kepentingan agar tidak berlarut-larut menentukan tahapan pemilihan umum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tahapan pemilihan umum paling lambat harus dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.
KPU, pemerintah, dan DPR sudah menyepakati hari pemungutan suara adalah 14 Februari 2024. Artinya, jika mengacu ketentuan undang-undang di atas, tahapan pemilihan umum harus dimulai 14 Juni 2022. Tentu, tidak banyak waktu lagi bagi pemangku kepentingan untuk segera menetapkan tahapan pemilu.
Seperti diketahui, sampai saat ini KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum bersama penyelenggara pemilu lainnya, pemerintah, dan DPR masih membahas tahapan Pemilu 2024.
Salah satu isu yang dibahas adalah soal durasi masa kampanye ini. Terakhir, muncul dua opsi soal durasi kampanye, yakni 90 hari sesuai usulan KPU dan 75 hari seperti usulan beberapa fraksi Komisi II DPR.
Presiden Jokowi cenderung sepakat dengan usulan 90 hari masa kampanye dengan mempertimbangkan kebutuhan pemenuhan logistik dan masa penyelesaian sengketa pemilu. Namun, DPR masih memberikan opsi 75 hari untuk dibahas dan dibuat simulasinya oleh KPU.
Tentu pada akhirnya pembahasan ini akan dibatasi oleh limit waktu dimana sesuai ketentuan undang-undang, tahapan kampanye harus segera dimulai per 14 Juni ini.
Upaya memperpendek masa kampanye tentu bukan untuk mengurangi kualitas kampanye itu sendiri. Apalagi dengan perkembangan teknologi, model kampanye tidak lagi harus dilakukan secara konvensional, seperti halnya dengan rapat-rapat umum yang terbuka di lapangan.
Apalagi dengan situasi pandemi, meskipun sudah menunjukkan pelandaian, masa transisi menuju endemi tetap perlu disikapi dengan pilihan kampanye yang memperhatikan aspek pemenuhan protokol kesehatan.
Dengan perkembangan teknologi, sosialisasi yang melibatkan massa dengan jumlah besar bisa dilakukan secara virtual yang lebih efektif dan efisien dibandingkan model kampanye melalui rapat umum di lapangan.
Dengan durasi kampanye yang lebih pendek tetap berpotensi menjangkau pemilih dalam jumlah besar, seperti ketika masa kampanye yang panjang.
Kreativitas dan inovasi model kampanye di media sosial, tentu dengan tetap memperhatikan ketentuan kampanye, bisa menjadi solusi memanfaatkan masa kampanye yang tidak lagi panjang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Perkuat Kohesi, Kurangi Keterbelahan