KPU Pastikan Tiada Aturan Baru Sosialisasi Parpol Sebelum Kampanye
KPU tak mengabulkan masukan agar ada aturan jelas soal sosialisasi parpol di luar jadwal kampanye. Meski ada panduan dalam peraturan KPU tentang kampanye pemilu, KPU dikritik karena dinilai menciptakan ketidakadilan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masukan sejumlah pihak agar ada aturan jelas tentang sosialisasi partai politik di luar jadwal kampanye tidak dikabulkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Panduan dalam Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum dinilai masih relevan mengatur ruang gerak sosialisasi parpol. Namun, hal ini disayangkan masyarakat sipil karena berpotensi menciptakan ketidakadilan antarsesama peserta pemilu.
Gencarnya sosialisasi partai politik (parpol) sebelum jadwal kampanye Pemilu 2024 dimulai pada November 2023 sempat menimbulkan polemik publik. Sebagian kalangan menilai, hal itu berpotensi memunculkan ketidakadilan parpol tertentu berpeluang untuk mencuri start kampanye. Persoalan serupa sempat disuarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang ditindaklanjuti dengan sejumlah pembicaraan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota KPU, August Mellaz, dalam diskusi ”Sosialisasi Partai Politik menuju Pemilu 2024” di kantor KPU, Jakarta, Jumat (24/2/2023), membenarkan, pihaknya telah mengadakan sejumlah pertemuan dengan Bawaslu untuk merespons dinamika sosialisasi parpol di lapangan. Adanya indikasi pelanggaran kampanye dan usulan pembentukan aturan baru yang terkait merupakan salah satu yang dibahas. Meski sepakat dengan sejumlah potensi pelanggaran dan isu penting yang dibahas, KPU melihat belum ada urgensi untuk membuat peraturan baru atau merevisi aturan yang sudah ada.
August menambahkan, ruang gerak parpol dalam menyosialisasikan diri sebelum jadwal kampanye diatur dalam Pasal 25 Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Pasal dimaksud memperbolehkan parpol menyosialisasikan diri dengan memasang bendera dan nomor urut sebagai peserta pemilu, tetapi untuk di lingkup internal. Selain itu, parpol boleh menyelenggarakan pertemuan terbatas dengan memberikan surat tertulis kepada KPU dan Bawaslu paling lambat sehari sebelum pelaksanaan kegiatan.
Meski sepakat dengan sejumlah potensi pelanggaran dan isu penting yang dibahas, KPU melihat belum ada urgensi untuk membuat peraturan baru atau merevisi aturan yang sudah ada.
PKPU juga melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye mengungkapkan citra diri, identitas, dan ciri-ciri khusus atau karakteristik parpol dengan penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga di muka umum dan di media sosial. Sejumlah komponen tersebut juga dilarang untuk dipublikasikan di media cetak, media elektronik, media daring, di luar masa penayangan iklan kampanye.
”PKPU yang mengatur sosialisasi parpol peserta pemilu itu ada, dan tidak ada perubahan. Kalaupun nanti ada perubahan, itu murni didedikasikan untuk pengaturan kampanye,” kata August.
Ia menambahkan, publik juga mendorong KPU untuk menyoroti penggunaan dana sosialisasi parpol. Namun, pihaknya tak bisa mengatur hal tersebut karena konsep itu tidak ada dalam Undang-Undang Pemilu. Undang-undang hanya mengatur soal dana kampanye. ”KPU tidak memiliki kewenangan untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak ada,” ujar August.
KPU tidak memiliki kewenangan untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak ada.
Kesan pembentukan aturan baru
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyayangkan keputusan KPU yang tidak akan membuat atau memperbarui aturan sosialisasi parpol. Sebab, dalam beberapa bulan terakhir, pembicaraan antara KPU dan Bawaslu tentang aturan sosialisasi parpol telah mengemuka ke publik. KPU pun memberikan kesan untuk menjanjikan pembentukan aturan baru.
Kalau tidak ada aturan, parpol yang punya televisi atau media massa bisa menyosialisasikan diri setiap hari, sedangkan yang lain tidak.
Selain itu, kata Lucius, panduan sosialisasi parpol mutlak dibutuhkan di tengah aktivitas parpol di ruang publik sudah sangat tinggi. Mulai terlihat pula ketimpangan antara partai besar dan partai kecil yang bisa menyebabkan adanya ketidakadilan antarpeserta pemilu. Sebab, tidak semua parpol memiliki kemampuan yang sama untuk menyosialisasikan diri.
”Kalau tidak ada aturan, parpol yang punya televisi atau media massa bisa menyosialisasikan diri setiap hari, sedangkan yang lain tidak,” katanya.
Jika tidak ada aturan, tambahnya, setidaknya KPU bisa mengambil peran lebih besar dalam sosialisasi parpol. Hal itu diyakini bisa mengendalikan potensi ketidakadilan yang muncul.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mouliza Kristhopher Donna Sweinstani, mengatakan, sosialisasi publik sebelum kampanye marak karena parpol di Indonesia tidak terlembaga dengan baik. Sebagai institusi politik, semestinya parpol melakukan sosialisasi sejak jauh-jauh hari, bukan hanya jelang pemilu.
”Pemilu bukan ajang pencarian bakat. Hubungan antara parpol dan konstituen seharusnya dibangun dengan baik sejak lama,” ujarnya.