Ada Nuansa Kepentingan Politik pada Penunjukan Penjabat Gubernur
Masih sulit bagi masyarakat melihat kepakaran 9 penjabat gubernur yang dilantik, selain masih kental dengan nuansa TNI-Polri. Wajar jika penunjukan mereka dipandang lekat dengan kekuasaan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sembilan penjabat gubernur telah dilantik oleh Menteri Dalam NegeriTito Karnavian untuk mengisi kekosongan jabatan menuju Pilkada Serentak 2024. Jika dilihat dari latar belakangnya, Ombudsman RI ataupun pengamat otonomi daerah dan politik memandang ada bagi-bagi kekuasaan di provinsi strategis untuk pemenangan pemilu, dan juga masih kental nuansa TNI-Polri. Hal ini menunjukkan ada pertarungan politik nasional dalam penempatan penjabat tersebut.
Sembilan penjabat (PJ) gubernur itu dilantik oleh Mendagri Tito Karnavian mewakili Presiden Joko Widodo di Gedung Sasana Bhakti Praja Kementerian Dalam Negeri, Selasa (5/9/2023). Mereka di antaranya adalah Mayor Jenderal (Purn) Hasanuddin sebagai PJ Gubernur Sumatera Utara. Hasanuddin adalah mantan Pangdam Bukit Barisan periode 2021-2022. Jabatan terakhir jenderal bintang dua ini adalah Wakil Inspektur Jenderal TNI Angkatan Darat.
Selain itu, ada Bey Triadi Machmudin, yang menjadi PJ Gubernur Jawa Barat. Bey sebelumnya menjabat sebagai Deputi Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden. Ada pula Komisaris Jenderal (Purn) Nana Sudjana sebagai PJ Gubernur Jawa Tengah. Nana merupakan mantan Kapolda Metro Jaya. Lulusan Akpol 1998 itu juga pernah bertugas sebagai Kapolda Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
Adapun, penjabat Gubernur Bali Inspektur Jenderal (Purn) Sang Made Mahendra, merupakan purnawirawan Polri yang juga pernah menjabat sebagai staf khusus Mendagri. Penjabat Gubernur Sulawesi Tenggara Komisaris Jenderal (Purn) Andap Budhi Revianto juga merupakan mantan Kapolda Sulawesi Tenggara yang sejak Maret 2021 menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tiga penjabat lainnya yang berasal dari birokrat sipil adalah PJ Gubernur Nusa Tenggara Timur Ayodhia Kalake yang sejak 2022 menjabat sebagai Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Selain itu ada PJ Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin dari Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, dan PJ Gubernur Papua Muhammad Ridwan Rumasukun dari Sekretaris Daerah Papua.
Dekat dengan kekuasaan
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, mengatakan, jika melihat latar belakang para penjabat kepala daerah itu, sulit untuk tidak melepaskan kesan mereka dekat dengan kekuasaan. Baik itu kedekatan dengan Presiden Joko Widodo, tokoh politik nasional, maupun tokoh partai politik tertentu. Asumsi itu karena masyarakat sulit melihat secara obyektif latar belakang kepakaran yang dimiliki para penjabat kepala daerah tersebut.
Jika melihat latar belakang para penjabat kepala daerah itu, sulit untuk tidak melepaskan kesan mereka dekat dengan kekuasaan.
Jika ingin obyektif, idealnya penjabat gubernur harus memiliki kemampuan manajerial, kompetensi teknik, kompetensi sosial-kultural, dan kompetensi politik pemerintahan. Karena penunjukan penjabat juga dilakukan tidak secara transparan, terbuka, dan demokratis, akhirnya publik merasa tidak bisa memberikan masukan mengenai integritas calon. Calon-calon yang terpilih mengenai mekanisme Tim Penilai Akhir (TPA) di Kementerian Sekretariat Negara juga tidak bisa dipastikan usulan dari mana.
”Kalau tidak bisa diukur dengan kriteria obyektif, wajar jika publik menilai sembilan nama itu dekat dengan Presiden, tokoh parpol, dan nasional karena memang publik juga tidak tahu alasan latar belakang kemampuan dan integritasnya seperti apa,” kata Djohermansyah.
Pelayanan publik bisa menurun
Djohermansyah khawatir, jika PJ gubernur tetap tidak dipilih berdasarkan sistem merit, justru pelayanan publik di daerah akan menurun. Sebab, para penjabat ini ibaratnya akan mengurus penyelenggaraan publik mulai dari bayi dalam kandungan hingga ke liang lahat. Mereka akan berkecimpung menangani 32 urusan pemerintahan mulai dari kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, investasi, dan sebagainya. Apalagi, mereka ditempatkan di provinsi-provinsi strategis di mana harus ada percepatan pembangunan dan pelayanan publik yang baik.
”Belum lagi soal netralitas mereka saat berhadapan dengan kepentingan politik, baik pemilu legislatif, maupun pemilu presiden. Kedekatan-kedekatan dengan tokoh nasional menjadi tidak elok. Perlu dibangun sistem yang tegas apabila terlihat tidak netral mereka bisa dicopot setelah evaluasi tiga bulanan,” tegasnya.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandes memandang persyaratan penjabat kepala daerah tidak begitu ketat karena hanya mensyaratkan jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya atau eselon I untuk penjabat gubernur, dan jabatan pimpinan tinggi (JPT) pratama atau eselon II untuk penjabat bupati atau wali kota.
Ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan seleksi pejabat lembaga negara lainnya seperti anggota Komisi Pemilihan Umum maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipilih oleh tim panitia seleksi dan melalui serangkaian uji publik. Karena syarat yang tidak kompetitif itu, apabila ada faktor kedekatan politik kemudian menjadi logis.
”Polanya, pemilihan penjabat pada daerah-daerah strategis itu ada kecenderungan pembagian kekuasaan politik. Di Jateng, misalnya, diasosiasikan dekat dengan PDI-P, Jabar dekat dengan Pak Jokowi. Ada kesan ingin menunjukkan kepentingan politik yang beragam atau fenomena akomodasi politik,” kata Arya.
Masih kental nuansa TNI-Polri
Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menyayangkan masih kentalnya nuansa penjabat gubernur yang berasal dari institusi TNI-Polri. Mereka masih berstatus aktif sampai pada menit-menit terakhir pelantikan penjabat. Bahkan, ada yang, menurut dia, tidak memenuhi aturan jabatan pimpinan tinggi madya karena jabatannya hanya staf khusus Mendagri, bukan staf ahli Mendagri. Ini, menurut dia, merupakan praktik-praktik mengakali peraturan perundang-undangan yang ada.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menyayangkan masih kentalnya nuansa penjabat gubernur yang berasal dari institusi TNI-Polri.
Adapun, terkait dengan indikasi kedekatan politik atau afiliasi politik penjabat gubernur yang dipilih dengan tokoh nasional, menurut dia, jabatan penjabat memang secara formal jabatan administrasi. Namun, jangan dilupakan bahwa jabatan itu juga dekat dengan tugas-tugas politik, seperti alokasi anggaran, menjaga netralitas birokrasi dan aparatur sipil negara, dan pelayanan publik. Menurut dia, jika pertimbangan penunjukan hanya sebatas administrasi, hal itu sangat naif.
”Kalau ditengarai ada penjabat-penjabat titipan jangan heran. Karena usulan sejak awal tidak dibuka semuanya. Di balik proses yang tidak transparan itu, logis saja jika kemudian faktor kedekatan politik yang menjadi pertimbangan utama pemilihan penjabat,” kata Robert.
Tito meyakinkan penjabat akan dievaluasi
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian memastikan bahwa empat penjabat gubernur yang berasal dari instansi TNI-Polri, seluruhnya sudah pensiun atau berstatus purnawirawan. Baik Surat Keputusan Pemberhentian, maupun administrasi lainnya sudah lengkap. Sehingga, hal itu dinilainya tidak melanggar aturan yang berlaku.
”Empat tadi, semuanya sudah purnawirawan dan tidak dilarang mereka untuk menjadi ASN. Setelah menjabat ASN eselon I struktural, maka dia memenuhi syarat untuk menjadi penjabat gubernur,” tegasnya.
Tito juga menyadari bahwa sembilan orang yang dilantiknya itu bertugas di provinsi-provinsi strategis di mana jumlah penduduk besar. Oleh karena itu, dia juga memastikan bahwa dalam bertugas PJ harus netral. Mereka akan dievaluasi selama tiga bulan sekali. ASN dan masyarakat sipil juga diminta ikut mengawasi kinerja para PJ. Jika terbukti melanggar asas netralitas dalam pemilu, mereka akan diberi sanksi mulai dari yang ringan sampai paling berat, yaitu diberhentikan dari jabatan.