Ombudsman: Penjabat Dilaporkan Terafiliasi Elite Politik Tertentu
Ombudsman dan KASN mendapat laporan terkait indikasi ketidaknetralan penjabat kepala daerah. Sejumlah penjabat diduga terafiliasi elite politik. Karena itu, perlu upaya untuk mengatasinya agar netralitas terjaga.
—
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, saat dihubungi, Jumat (11/8/2023), mengatakan, sejumlah laporan yang masuk ke ORI sifatnya memang masih informal. Namun, dia memandang, walaupun penjabat kepala daerah adalah jabatan administrasi, tetapi jabatan itu sangat lekat dengan kalkulasi politik. Masa jabatan penjabat kepala daerah yang lama, yaitu mencapai satu hingga dua setengah tahun menjelang pilkada serentak 2024, bukanlah jabatan yang singkat. Oleh karena itu, perlu upaya mengatasinya.
”Penjabat kepala daerah bertugas hampir sepertiga dari durasi pemerintah definitif. Wewenang mereka pun nyaris tidak ada bedanya dengan kepala daerah definitif. Oleh karena itu, naif kalau tidak ada kalkulasi politiknya,” katanya.
Dari laporan informal yang masuk ke ORI, katanya, contohnya adanya laporan penjabat kepala daerah yang banyak mengumpulkan kepala desa untuk rapat koordinasi nasional. Hal ini dikhawatirkan menjadi alat mobilisasi politik karena aroma politisasi birokrasinya sangat kental. Dugaan ini, katanya, memang sulit dibuktikan secara hukum. Namun, semua orang bisa menduga bahwa jabatan penjabat gubernur, wali kota, dan bupati sangat strategis secara politik sehingga tidak mungkin kebijakan itu hanya administratif semata.
Penjabat kepala daerah bertugas hampir sepertiga dari durasi pemerintah definitif. Wewenang mereka pun nyaris tidak ada bedanya dengan kepala daerah definitif. Oleh karena itu, naif kalau tidak ada kalkulasi politiknya.
Ia juga mendengar bahwa situasi aparatus sipil negara di daerah saat ini juga sudah sangat terpolarisasi. ASN sudah mulai terseret arus politisasi, apalagi mereka yang pragmatis ingin dekat dengan kekuasaan agar kariernya moncer ke depan. Dengan kondisi seperti ini, ASN akan sangat rawan dipolitisasi oleh kekuatan politik tertentu.
Baca juga: Kontroversi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
”Oleh karena itu, ORI mendesak adanya transparansi nama-nama calon penjabat kepala daerah dibuka ke publik untuk menguji asumsi bahwa figurnya adalah titipan elite politik tertentu. Penerimaan publik akan menjadi modal sosial bagi penjabat yang tidak kuat secara politik karena tidak dipilih langsung oleh publik,” jelasnya.
Selain itu, selama gelombang pertama pengangkatan penjabat kepala daerah yang dimulai pada tahun 2022, Ombudsman juga melihat ada laporan bahwa penjabat mulai menonaktifkan sejumlah kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Penonaktifan pejabat SKPD tanpa ada alasan yang jelas ini diduga adalah modus politisasi birokrasi. Oleh karena itu, dia juga meminta perhatian dari KASN untuk mengawasi demosi, rotasi, dan mutasi pejabat. Sebab, sesuai aturan, penjabat memiliki wewenang untuk mengganti jabatan itu tetapi atas persetujuan Kemendagri.
Netralitas ASN
Komisioner Kelompok Kerja Pengawasan Bidang Penerapan Sistem Merit Wilayah I Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sri Hadiati Wara Kustriani, membenarkan, adanya sejumlah laporan informal dari masyarakat terkait dengan mutasi, rotasi, dan demosi pejabat di daerah yang telah dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Namun, laporan sifatnya tidak resmi hanya sekadar laporan lisan atau informal. Pergantian pejabat SKPD di bawah kepemimpinan penjabat akan dipertanyakan jika dilakukan kurang dari tiga bulan setelah gubernur, bupati, atau wali kota definitif digantikan oleh penjabat.
”Benar, aturan mutasi dan rotasi pegawai di daerah yang dipimpin penjabat adalah harus sepengetahuan Kemendagri. Namun, kami pantau ada penjabat yang sudah mengganti jabatan itu satu atau dua bulan setelah mereka menjabat. KASN terus mengawasi agar ASN tidak menjadi korban politisasi birokrasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, walaupun sesuai aturan penjabat memiliki wewenang untuk mengganti pegawai, langkah itu tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus ada alasan yang jelas dan argumen yang kuat untuk mengganti para kepala ataupun staf SKPD itu.
”KASN terus memantau mutasi dan rotasi pejabat. Fokusnya, kami melindungi ASN agar proses penggantian pejabat dilakukan minimal enam bulan setelah penjabat bertugas di daerah tertentu,” katanya.
Dia juga membenarkan bahwa suasana psikologis ASN di daerah memang mudah terombang-ambing ayunan politik lima tahunan. KASN terus memantau ASN dan melakukan upaya perlindungan supaya ASN tetap netral selama tahun politik. Promosi, mutasi, atau rotasi jabatan harus tetap dilakukan berdasarkan sistem meritokrasi yang benar dan terbuka. Sebab, jika politisasi birokrasi dilakukan menjelang pemilu hal itu justru akan merusak birokrasi sendiri karena kepentingan publik akan dikalahkan oleh program politik praktis yang sifatnya sementara.
”KASN terus berkoordinasi dengan pemda dan Kemendagri untuk mengingatkan bahwa sistem meritokrasi harus terus konsisten dijaga agar siapa pun yang dipecat atau dimutasikan berdasarkan alasan kompetensi dan kinerja,” katanya.
profiling
Sidang TPA yang akan memutuskan siapa yang terbaik dari nama-nama yang diusulkan sebagai penjabat kepala daerah. Kami sesuai dengan aturan dan ketentuan. Kemendagri tidak punya kepentingan.
”Sidang TPA yang akan memutuskan siapa yang terbaik dari nama-nama yang diusulkan sebagai penjabat kepala daerah. Kami sesuai dengan aturan dan ketentuan. Kemendagri tidak punya kepentingan,” jelasnya.
Benni menambahkan, di luar sana memang banyak informasi yang mengatakan bahwa Kemendagri dan pemerintah untuk berpihak kepada satu parpol, calon presiden dan calon wakil presiden tertentu untuk kepentingan pemilu. Namun, dengan tegas Benni membantah itu. Menurut dia, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga sudah tegas membantah indikasi dan spekulasi terkait indikasi afiliasi politik tersebut.
”Arahannya jelas di Kemendagri, semua netral. Tidak ada yang berpihak ke partai-partai dan segala macam seperti itu,” katanya.
TNI-Polri aktif
Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, menyikapi soal masih banyaknya nama calon penjabat kepala daerah yang diusulkan DPRD berasal dari unsur perwira TNI atau Polri aktif, mengatakan, pada dasarnya TNI aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. TNI harus pensiun terlebih dahulu atau nonaktif dari kedinasan dan beralih status menjadi ASN yang bisa menjadi penjabat kepala daerah.
Sebelumnya, terkait hal itu, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan mengatakan, polemik yang sama sudah pernah terjadi pada saat gelombang pertama pengangkatan penjabat kepala daerah pada 2022. Nama-nama calon penjabat yang berasal dari anggota TNI atau Polri aktif tetap akan disaring sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023.
Baca juga: Sekjen Jadi Penjabat Gubernur Babel, Ombudsman Pastikan Tetap Independen
Nama-nama baik dari unsur sipil, militer, maupun Polri tetap akan disaring, diidentifikasi, dan dikompilasi sebelum diteruskan ke sidang pra-Tim Penilai Akhir (TPA). Syarat-syarat itu di antaranya untuk penjabat gubernur harus dari jabatan pimpinan tinggi madya struktural bukan fungsional.
Sepanjang figur yang diusulkan itu memenuhi syarat, menurut dia, masih mungkin nama itu diusulkan. Namun, jika nama-nama itu tidak memenuhi syarat, tetap tidak akan diloloskan ke sidang TPA.
”Kalau itu yang menjadi concern dari publik, kami akan melihat berapa dari TNI/Polri itu yang betul-betul memenuhi syarat atau tidak. Kalau tidak memenuhi syarat, tidak akan kami lepaskan,” tegasnya.