Ferdy Sambo dan tiga terpidana pembunuhan terhadap Brigadir J telah dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan. Meskipun demikian, mereka masih dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terpidana bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo telah dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta. Namun, ia dan terpidana lain masih memiliki upaya hukum terakhir berupa peninjauan kembali setelah hukumannya diringankan pada tahap kasasi.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rika Aprianti mengatakan, pada Kamis (24/8/2023), terpidana Ferdy Sambo; pekerja rumah tangga Sambo, Kuat Ma’ruf; dan ajudan Sambo, Ricky Rizal Wibowo, telah diterima di Lapas Salemba dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
”Dilakukan administrasi penerimaan, antara lain, berupa pengecekan berkas dan pemeriksaan kesehatan. Mereka ditempatkan di kamar mapenaling (masa pengenalan lingkungan). Penerimaan dilakukan sesuai SOP (prosedur standar operasi) yang berlaku,” kata Rika melalui keterangan tertulis, Jumat (25/8/2023).
Istri Sambo, Putri Candrawathi, telah dieksekusi pada Rabu (23/8/2023) di Lapas Perempuan Jakarta. Rika menuturkan, berkas administrasi Putri telah dicek dan kesehatannya diperiksa. Putri ditempatkan di kamar masa pengenalan lingkungan sesuai dengan SOP yang berlaku. Rika mengungkapkan, seluruh terpidana dieksekusi dalam kondisi sehat.
Adapun Sambo bersama ketiga terpidana lain terlibat pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Polri yang ditempati Sambo di kawasan Jakarta Selatan pada Juli 2022.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, jaksa eksekutor pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah mengeksekusi keempat terpidana ke lapas.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, Sambo menjalani pidana penjara seumur hidup, Putri 10 tahun, Kuat 10 tahun, dan Ricky 8 tahun. Putusan kasasi tersebut lebih ringan dari putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, yakni Sambo dipidana mati, Putri 20 tahun, Kuat 15 tahun, dan Ricky 13 tahun.
”Pelaksanaan eksekusi berjalan dengan situasi aman dan terkendali berkat pengamanan dari tim intelijen Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan,” kata Ketut.
Pejabat Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto, mengatakan, proses hukum Sambo sudah selesai karena telah dieksekusi oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ke Lapas Salemba. Meskipun demikian, terpidana dapat mengajukan peninjauan kembali (PK).
”Kalau sesuai ketentuan hukum acara, apabila pihak terpidana masih belum puas dengan putusan kasasi, ada upaya hukum luar biasa, yaitu mengajukan peninjauan kembali,” kata Djuyamto.
Sesuai ketentuan hukum acara, apabila pihak terpidana masih belum puas dengan putusan kasasi, ada upaya hukum luar biasa, yaitu mengajukan peninjauan kembali.
Ia menjelaskan, PK dapat diajukan ke Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri yang memutus perkara ini, yaitu PN Jakarta Selatan. Menurut Djuyamto, proses hukum Sambo masih menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang lama karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru berlaku pada 2026.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, Sambo dan terpidana lainnya tidak akan mendapatkan keuntungan meskipun sudah diterapkan KUHP yang baru. Sebab, persyaratan di KUHP baru, terpidana hukuman mati yang dalam waktu 10 tahun bertobat, hukumannya dapat diringankan menjadi seumur hidup.
Saat ini, kata Hibnu, upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan Sambo dan terpidana lainnya tinggal PK dengan syarat ada bukti baru. Jika bukti itu ditemukan pada tahap sidang pertama, hukuman mereka dapat lebih ringan.
Hibnu menjelaskan, putusan pada tahap PK tidak boleh melebihi putusan kasasi, yakni paling berat seumur hidup untuk Sambo. Pengajuan upaya hukum PK tidak ada batas waktunya dan hanya dapat diajukan satu kali. Di sisi lain, eksekusi terhadap Sambo dan terpidana lainnya ke lapas menjadi akhir dari proses hukum yang dapat diperjuangkan keluarga Yosua.
Belajar dari kasus ini, Hibnu mendorong adanya keterbukaan dalam mengusut perkara pidana. Sebab, pada awal kasus ini sempat dibuat rekayasa seolah-olah ada peristiwa tembak-menembak. Ia juga berharap, seluruh perkara hukum diproses dengan setara. ”Jangan sampai tumpul ke atas, tajam ke bawah. Ya, tajam ke atas, ya, tajam ke bawah,” ujarnya.
Kompas sudah meminta tanggapan penasihat hukum Sambo, yakni Arman Hanis dan Rasamala Aritonang, apakah akan mengajukan upaya hukum PK atau tidak, tetapi belum direspons.