Wamenkumham: Ada Aturan Baru soal Pidana Mati, Eksekusi Harus Ditunda
Wamenkumham Eddy Hiariej mengingatkan amanat Pasal 3 UU No 1/2023 tentang KUHP, jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, terlapor, terperiksa, tersangka, terdakwa, terpidana, harus diuntungkan dari UU itu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Eksekusi terhadap terpidana mati yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht sebaiknya ditunda mengingat ada aturan baru yang lebih meringankan bagi mereka. Aturan yang dimaksud adalah pemberlakuan masa percobaan 10 tahun yang ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Meskipun pasal percobaan 10 tahun untuk terpidana mati yang di KUHP baru berlaku pada 2 Januari 2026, apa pun untuk terpidana, tersangka dan terdakwa harus diuntungkan dari aturan baru itu. Harus dilakukan postpone, penundaan,” kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, Selasa (28/2/2023), dalam kegiatan sosialisasi KUHP di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh.
Pemberlakuan aturan yang menguntungkan bagi para terpidana mati tersebut sesuai dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Disebutkan, jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka terlapor, terperiksa, tersangka, terdakwa, dan terpidana harus diuntungkan dari undang-undang tersebut.
Meskipun kewenangan eksekusi ada di tangan Jaksa Agung, Wamenkumham yakin bahwa peluang untuk melakukan eksekusi tersebut relatif kecil. Hingga Desember 2022, terdapat 404 terpidana mati yang tersebar di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang ada di seluruh Indonesia.
Di Lapas Banda Aceh, menurut Eddy, terdapat 35 terpidana mati yang menjalani masa tunggu. Sementara itu, jumlah terpidana seumur hidup ada sebanyak 25 orang. Dengan adanya ketentuan masa percobaan selama 10 tahun tersebut, maka kepada para terpidana mati yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap sebelum KUHP yang baru berlaku akan dilakukan evaluasi untuk menentukan apakah yang bersangkutan berkelakuan baik ataukah tidak. ”Kalau baik, pidananya akan dikurangi menjadi hukuman seumur hidup,” ujarnya.
Pemerintah dalam waktu tiga tahun mendatang harus menyiapkan banyak peraturan perundang-undangan sebagai tindak lanjut dari KUHP. Salah satu yang diamanatkan secara khusus oleh Pasal 102 KUHP adalah pembentukan undang-undang yang mengatur tentang pidana mati dan tata cara pelaksanaannya. Hingga saat ini, Kemenkumham belum menunjuk tim penyusun RUU Hukuman Mati. Meskipun demikian, Eddy memastikan bahwa undang-undang tersebut akan selesai dibentuk pada 2026 saat KUHP berlaku.
”Kita harus berbicara dengan DPR, tetapi sudah barang tentu kita akan mendengar dari MA seperti apa, Jaksa Agung seperti apa. Karena eksekusi terpidana mati itu dari Jaksa Agung selaku eksekutor,” ujar Eddy.
Tantangan
Dalam sosialisasi KUHP, Eddy juga mengungkapkan, salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah dalam pengimplementasikan KUHP baru adalah mengubah pola pikir aparat penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat mengenai paradigma baru hukum pidana. Upaya mengubah mindset itu dilakukan dengan cara sosialisasi KUHP baru baik terhadap masyarakat luas dan penegak hukum. Khusus penegak hukum, sosialisasi akan dilakukan mulai Juni 2023.
”Kita lakukan sosialisasi ke seluruh aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, dan advokat dan di lembaga pemasyarakatan. Agar memiliki standar ukuran, parameter yang sama terhadap isu dan ketentuan di KUHP. Jangan sampai interpretasinya lain-lain karena berbahaya,” ungkap Eddy.
Tak hanya mindset penegak hukum, cara pandang masyarakat juga perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana modern yang lebih mengedepankan keadilan restoratif. Pemidanaan—dalam perkembangannya—tak lagi dijadikan sebagai sarana untuk balas dendam seperti yang dianut dalam konsep keadilan retributif.
”Terus terang saja, bagi masyarakat yang dirugikan, misal kemalingan, tertipu, dianiaya, di benak kita yang muncul adalah pelaku harus segera ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Itu paradigma keadilan retributif, balas dendam. Padahal, hukum pidana modern tidak seperti itu,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor Universitas Syiah Kuala Agussabti mengungkapkan, pihaknya menyambut baik sosialisasi KUHP yang dilakukan Kemenkumham dalam format ”Kumham Goes to Campus”. Forum semacam itu dapat menjadi ajang dialog antara pemerintah dengan akademisi, mahasiswa, praktisi, dan masyarakat lainnya. Harapannya, potensi salah tafsir terhadap KUHP baru bisa dikurangi.
Pihaknya menyadari masih adanya berbagai kontroversi terkait dengan pasal-pasal yang dinilai mengancam kebebasan berpendapat dan bereskpresi. Ia berharap KUHP baru tidak mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia yang sudah berjalan baik.