Sekitar 400 Terpidana Mati Bisa Selamat dari Regu Tembak
Sekitar 400-an terpidana mati bisa lolos dari ”regu tembak” dengan berlakunya KUHP baru. Mereka bisa mengajukan grasi untuk mengubah pidananya menjadi seumur hidup.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mural eksekusi hukuman mati terlukis di tembok bangunan di Penjaringan, Jakarta, Minggu (27/10/2019).
JAKARTA,KOMPAS — Sekitar 400 terpidana mati yang masuk dalam deret tunggu eksekusi dapat mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo untuk mengubah hukumannya menjadi hukuman pidana penjara seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun. Hal ini sesuai dengan semangat Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru, di mana pidana mati menjadi pidana khusus yang bersifat alternatif dengan masa percobaan 10 tahun.
Pasal 101 KUHP baru mengatur, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan dalam 10 tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana mati melarikan diri, pidana mati tersebut diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden. KUHP baru kini tinggal menanti pengesahan dan pengundangan setelah pekan lalu DPR menyetujui pengesahan Rancangan KUHP (RKUHP) menjadi undang-undang.
Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries, saat dihubungi pada Kamis (15/12/2022) mengatakan, para terpidana mati yang sudah mengantongi putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat mengajukan grasi kepada presiden pasca-KUHP baru berlaku. ”Ajukan grasi. Kalau ditolak presiden, maka 10 tahun sejak grasi ditolak, pidana mati bisa diubah menjadi seumur hidup,” katanya.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dalam diskusi membahas RKUHP yang digelar oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), awal pekan lalu, bercerita mengapa akhirnya pemerintah dan DPR sepakat menghapus kata ”dapat” dalam Pasal 100 KUHP. Dengan dihapuskan kata ”dapat”, maka pidana mati yang dijatuhkan hakim otomatis harus dengan alternatif percobaan 10 tahun.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR untuk membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022).
“Ini membawa konsekuensi. Sekarang ini ada kurang lebih 400 terpidana mati. Dengan diberlakukan KUHP baru, ada yang namanya lex favor reo. Jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, harus diterapkan aturan yang meringankan. Itu kita sudah tahu konsekuensinya. Ketika kata ’dapat’ di dalam pasal pidana mati dihapus (di dalam RKUHP), pidana mati harus dijatuhkan secara alternatif dengan percobaan 10 tahun. Maka, terpidana mati yang menjalani hukuman lebih dari 10 tahun, automatically dia akan berubah seumur hidup atau sementara 20 tahun penjara,” kata Eddy.
Asas lex favor reo yang dimaksud Eddy terdapat pada Pasal 3 Ayat (1) KUHP baru. Pasal itu mengatur, dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana.
Hanya saja menurut Albert, untuk terpidana mati yang sudah divonis sebelum KUHP baru berlaku, masa percobaan 10 tahun tidak dihitung dari saat vonis dijatuhkan (atau berlaku surut). Namun, masa percobaan 10 tahun dihitung dari saat grasi ditolak oleh presiden.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan, KUHP memang tidak mengatur asas retroaktif atau berlaku surut ke belakang. Sehingga, aturan masa percobaan 10 tahun berlaku untuk tindak pidana yang dilakukan setelah KUHP berlaku.
Namun, ia mengungkapkan aturan tersebut bisa disiasati dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) sehingga menjadi perkara baru. Dengan begitu, ada kemungkinan hukuman mati tersebut berubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun penjara.
”PK-nya diajukan ketika KUHP sudah berlaku,” ujarnya.
Aturan turunan
Albert sepakat bahwa aturan turunan untuk pasal-pasal mengenai pidana mati di KUHP baru diperlukan. Aturan turunan tersebut antara lain mengatur asesmen yang dilakukan dengan parameter obyektif. Misalnya, yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana lagi, ada perbaikan-perbaikan selama 10 tahun masa percobaan, hal-hal yang bisa diberdayakan dari yang bersangkutan.
Perlunya aturan yang lebih detail mengenai perbuatan terpuji yang dimungkinkan dapat mengubah vonis mati, menurut dia, juga untuk mengantisipasi kecurigaan dari berbagai kalangan bahwa petugas pemasyarakatan akan memperjualbelikan surat keterangan kelakuan baik. ”Surat ini hanya formalitas. Yang dibutuhkan adalah asesmen yang parameternya obyektif,” katanya.
Mobil ambulans yang membawa jenazah terpidana mati meninggalkan Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, setelah menyeberang menggunakan kapal dari Pulau Nusakambangan, Jumat (29/7/2016) dini hari.
Penilaian apakah perubahan hukuman dapat diberikan atau tidak diserahkan kepada presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung serta Menteri Hukum dan HAM yang membawahi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Namun, menurut Fickar, perubahan vonis dari pidana mati ke seumur hidup seharusnya diputuskan oleh lembaga yudikatif atau melalui putusan hakim. ”Beda kalau potongan hukuman yang sedikit-sedikit seperti remisi itu, itu enggak masalah. Itu kewenangan eksekutif, dirjen, karena dia yang melaksanakan. Tetapi, kalau ini menjadi norma atau aturan, yang melaksanakan juga harus memakai putusan yudikatif,” ujarnya.
Nantinya, ia memperkirakan akan terjadi perdebatan di antara kalangan masyarakat mengapa permohonan si A mengubah pidana mati menjadi seumur hidup dikabulkan, sementara si B tidak. ”Nanti ini bisa menjadi lahan para pengacara,” katanya.
Sementara itu, Direktur Program Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengungkapkan, pengubahan hukuman mati dilakukan dengan upaya grasi ke presiden dengan memperhatikan pertimbangan MA. Hanya saja, untuk mengubah hukuman seumur hidup menjadi hukuman sementara maksimal 20 tahun, Gatot mengingatkan adanya pengaturan di Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Ruang isolasi bagi narapidana yang akan menjalani hukuman mati di Lembaga Pemasyarakatan High Risk Karanganyar di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (15/12/2021).
”Dalam Keppres No 174/1999, perubahan hukuman seumur hidup ke pidana sementara tidak harus mendapatkan pertimbangan MA. Perubahan pidana dalam keppres menjadi hak prerogratif presiden,” katanya.
Pasal 9 Keppres No 174/1999 mengatur, napi seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 tahun berturut-turut serta berkelakuan baik dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang harus dijalani paling lama 15 tahun. Perubahan masa pidana ini ditetapkan melalui keppres dan diajukan melalui Menkumham.