Saat KUHP Baru Berlaku, Hukuman Ferdy Sambo Bisa Lebih Ringan Lagi
Jika merujuk pada Pasal 69 KUHP baru, hukuman Ferdy Sambo dapat berubah kembali setelah ia menjalani masa pidana minimal 15 tahun.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanpa harus mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali, bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara RI, Ferdy Sambo, dapat menikmati pengurangan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Hal ini dapat terjadi apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru berlaku pada tahun 2026. Hanya saja, perubahan pidana tersebut membutuhkan Keputusan Presiden dan juga pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Pada 8 Agustus 2023, MA melalui majelis kasasi yang diketuai oleh Ketua Kamar Pidana MA Suhadi membatalkan hukuman mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan kasasi tersebut tidak bulat. Suhadi dengan dua hakim agung lainnya, Suharto dan Yohanes Priana, sepakat untuk mengurangi pidana Sambo dari mati menjadi seumur hidup. Sementara dua hakim agung lainnya, yaitu Desnayeti dan Jupriyadi, menolak kasasi dan mempertahankan pidana mati untuk Sambo.
Namun, majelis kasasi tersebut satu suara untuk perkara Putri Candrawati (istri Sambo), Ricky Rizal Wibowo (ajudan Sambo), dan Kuat Maruf (pembantu). Hukuman untuk Putri menjadi lebih ringan dari semula 20 tahun menjadi 10 tahun, sementara Ricky dari 13 tahun menjadi 8 tahun penjara. Adapun hukuman untuk Kuat Maruf berubah dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara.
Apabila mengacu pada Pasal 69 KUHP baru, pidana Sambo dapat berubah setelah yang bersangkutan menjalani masa pidana minimal selama 15 tahun. Hukuman Sambo bisa kembali dikorting menjadi 20 tahun apabila ada Keputusan Presiden dan pertimbangan MA.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Albert Aries, yang pernah didapuk sebagai juru bicara sosialisasi Rancangan KUHP, Rabu (9/8/2023), mengungkapkan, putusan pidana seumur hidup Sambo sudah berkekuatan hukum tetap. Apabila mengacu pada Pasal 69 KUHP baru, pidana Sambo dapat berubah setelah yang bersangkutan menjalani masa pidana minimal selama 15 tahun. Hukuman Sambo bisa kembali dikorting menjadi 20 tahun apabila ada Keputusan Presiden dan pertimbangan MA.
Menurut Albert, perubahan itu dapat diproses jika ada permohonan dari Sambo. Namun, mengenai mekanisme detailnya, pemerintah harus menjabarkan hal itu di dalam peraturan pemerintah yang akan dibentuk sebagai turunan dari KUHP baru.
Namun, Albert Aries mengingatkan berhasil atau tidaknya pengubahan hukuman tersebut akan sangat bergantung pada pertimbangan MA dan keputusan presiden.
Sesuai hukum modern
Sebagian ahli hukum pidana menilai, putusan kasasi MA dalam sejumlah terdakwa kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat, termasuk Ferdy Sambo, sudah tepat. Anulir terhadap pidana mati sudah sesuai dengan perkembangan hukum modern yang tidak lagi mengedepankan pemidanaan sebagai sarana balas dendam.
Ahli hukum pidana dari Universitas Triksati, Abdul Fickar Hadjar, mengungkapkan, hukum modern tidak lagi mengenal pidana mati mengingat tujuan akhir penghukuman adalah memanusiakan manusia. ”Karena itu, perubahan dari hukuman mati ke seumur hidup artinya menghargai kehidupan. Dan, saya kira cukup pantas hukuman maksimal ini untuk Sambo,” ujarnya.
Mengenai hukuman yang dijatuhkan untuk Putri, Fickar menilai bahwa vonis tersebut sudah cukup adil. ”Karena Bu Putri termasuk orang yang tidak berdaya, kesalahannya tidak dapat mencegah suaminya melakukan tindakan penembakan. Sementara keadaannya ada di bawah penguasaan suaminya,” demikian alasan Fickar.
Mantan hakim agung Gayus T Lumbuun juga menilai, MA sudah bertindak sebagai judexjuris atau pengadilan yang mengoreksi putusan pengadilan sebelumnya (PN dan PT). Sebagai judexjuris, MA hanya berkonsentrasi pada penerapan hukum seperti apakah penerapan Pasal 340 KUHP untuk Ferdy Sambo sudah layak serta menilai apakah ada batas kewenangan yang dilanggar oleh pengadilan sebelumnya saat menjatuhkan pidana.
”Kalau judexfacti (PN dan PT) cenderung yang dipertimbangkan adalah hal-hal yang non-yuridis. Social justice dipertimbangkan,” kata Gayus.
Menurut Gayus, peran hakim kasasi adalah fokus pada penerapan hukum. ”Maka, vonisnya lebih rendah dan saya berpendapat bisa lebih rendah lagi kalau faktor yuridisnya dikedepankan,” tambahnya.
Terkait dengan penerapan hukum dalam perkara Sambo, Gayus juga menyebutkan sudah ada banyak ahli sudah melakukan kajian terhadap putusan yang sudah dijatuhkan oleh pengadilan sebelumnya. Salah satunya adalah eksaminasi oleh delapan guru besar ilmu pidana sudah dibukukan dengan judul Pidana Mati Berdasarkan Asumsi. Ia sepakat dengan hasil eksaminasi tersebut karena tidak dapat buktikan unsur motifnya.
Gayus menilai, penerapan Pasal 340 KUHP untuk Sambo tidak tepat. Menurut dia, Sambo lebih tepat dijerat dengan Pasal 338 KUHP mengingat hakim PN Jaksel tidak bisa membuktikan motif pembunuhan tersebut. ”Motif sangat diperlukan kalau dengan sengaja melakukan (pembunuhan), kecuali perbuatan yang bersifat culpa dengan tidak sengaja. Berarti tanpa motif,” kata Gayus.
Adapun ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran Pasal 338 KUHP adalah 15 tahun penjara.