Revisi UU Peradilan Militer Dipastikan Akan Menghadapi Tantangan
Beberapa waktu lalu, pemerintah telah membuka wacana revisi UU Peradilan Militer. Wacana itu terkait polemik penanganan korupsi di Basarnas. Namun, diperkirakan revisi itu akan menghadapi tantangan dari purnawirawan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dipastikan akan menghadapi tantangan, terutama dari kalangan purnawirawan perwira tinggi TNI, kendati TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia mengamanatkan agar prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Kekhawatiran itu, antara lain, disampaikan oleh pengamat militer dari Binus University, Tangguh Chairil. Menurut dia, revisi UU Peradilan Militer akan menemui banyak tantangan, terutama dari kalangan purnawirawan perwira tinggi TNI yang kini menduduki jabatan-jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
”Mereka tentu tidak ingin peradilan militer (yang tak tersentuh oleh peradilan umum) yang pernah diterapkan semasa mereka aktif sebagai prajurit itu hilang,” ucapnya, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (5/8/2023).
Sebelumnya, pemerintah membuka wacana terbukanya kemungkinan dilakukannya revisi terhadap UU Peradilan Militer. Salah satunya disampaikan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Jumat (4/8/2023). ”Kalau revisi (aturan perundang-undangan) itu menjadi biasa. Dalam waktu sekian lama setelah pelaksanaan, ada hal-hal yang dirasa perlu direvisi. Saya rasa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 juga sama, ada hal-hal yang perlu disempurnakan supaya sesuai tuntutan keadaan,” tutur Wapres Amin.
Wacana serupa disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik. Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Ia mengungkapkan bahwa usulan revisi UU Peradilan Militer akan dicatat untuk dipertimbangkan. ”Nanti kami agendakan, kan, sudah ada di Prolegnas, ya, di Prolegnas jangka panjang. Nanti kita bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” katanya, beberapa waktu lalu.
Wacana revisi itu muncul setelah terjadi polemik pada penanganan dugaan korupsi di Basarnas. Dalam kasus ini, pada mulanya Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan tersangka terhadap dua perwira TNI yang menjabat di badan tersebut, yakni Kepala Basarnas periode 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto. Diduga, dalam kurun waktu 2021-2023, Henri bersama dan melalui Afri menerima Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor proyek di Basarnas.
Penetapan kedua perwira TNI aktif itu sebagai tersangka dianggap menyalahi aturan yurisdiksi peradilan militer meski penetapan itu berangkat dari operasi tangkap tangan (OTT). TNI menilai seharusnya kasus itu diserahkan kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Akibatnya, kini, perkara kedua perwira itu ditangani Puspom TNI.
Menurut Tangguh, UU Peradilan Militer memang sudah sepantasnya direvisi. Aturan itu masih bernuansa Orde Baru sehingga perlu disempurnakan agar relevan dengan zaman. ”Karena berlaku saat periode Orde Baru, UU Peradilan Militer itu kerap melindungi perwira-perwira tinggi yang diduga terlibat tindak pidana,” ungkapnya.
Demikian pula terhadap perwira tinggi TNI yang terlibat tindak pidana ketika mengemban jabatan sipil, misalnya Kepala Basarnas, sudah seharusnya bisa diadili peradilan umum. ”Pola pikir militer yang merangkap jabatan sipil tetapi tak mau tunduk dengan aturan sipil jangan sampai terjadi,” ucapnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Mudzakir, berpandangan, jika revisi terhadap UU Peradilan Militer dilaksanakan maka harus mengutamakan asas perbuatan. Artinya, penegakan hukum akan berlangsung sesuai dengan jenis pelanggaran pidana. Jadi, anggota TNI yang melanggar tindak pidana militer ditangani oleh peradilan militer, sedangkan tindak pidana umum ditangani oleh peradilan umum.
Menurut Tangguh, UU Peradilan Militer memang sudah sepantasnya direvisi. Aturan itu masih bernuansa Orde Baru sehingga perlu disempurnakan agar relevan dengan zaman.
Sebelum Reformasi, penegakan hukum bagi prajurit TNI berlaku asas personalitas yang berarti seluruh prajurit TNI yang melanggar tindak pidana apa pun ditangani oleh peradilan militer. Setelah Reformasi, lanjut Mudzakir, penegakan hukum bagi prajurit TNI malah kembali seperti periode Orde Baru.
”UU Peradilan Militer membawa TNI untuk kembali lagi ke asas personalitas. Padahal, sesuai perkembangan hukum saat ini, pelanggaran militer ditangani oleh peradilan militer, sedangkan pelanggaran umum oleh peradilan umum,” ujarnya.Menurut dia, TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri mengatur tindak pidana yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer bisa diperiksa serta diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketetapan itu dimuat dalam Pasal 65 Ayat 2 dan 3 UU No 34/2004 tentang TNI. Rumusan norma dalam UU tersebut, lanjut Muzakir, memuat prinsip perlakuan yang sama di depan hukum atau equality before the law.
Pelaksanaan prinsip setara di depan hukum terhambat karena UU Peradilan Militer menegaskan bahwa seluruh pelanggaran pidana oleh anggota TNI ditangani peradilan militer. Penegakan hukum oleh TNI bersandar pada aturan tersebut, termasuk dalam kasus dugaan suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang melibatkan prajurit TNI dan masyarakat sipil.”Dalam kasus dugaan suap di Basarnas, melibatkan pihak militer dan sipil. Seharusnya bisa melibatkan koneksitas mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga tahap pengadilan,” ucap Mudzakir.
Pengadilan koneksitas berarti melibatkan unsur penyidik militer, oditur atau jaksa militer, dan hakim militer bersama dengan aparatur sipil yang ada. Namun, selama UU Peradilan Militer yang belum direvisi berlaku, maka hal tersebut sulit terjadi.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, mengatakan, hingga saat ini belum ada pengajuan revisi UU Peradilan Militer sehingga pihaknya masih menunggu sikap pemerintah. Pengubahan undang-undang jangan hanya berlandaskan kasus saja karena berpotensi turut mengubah hal lainnya juga.
”Jangan hanya berlandaskan kasus (misalnya suap di Basarnas). Ketika memang banyak hal dalam UU Peradilan Militer yang sudah tidak sesuai zaman dan mendesak, maka sebaiknya diubah. Jadi, kami tunggu pandangan detail dari pemerintah,” terangnya.
Tunduk hukum
Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyebut prajurit TNI yang bersalah akan dihukum sesuai aturan yang berlaku, UU Peradilan Militer. Setiap langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh TNI berlandaskan aturan tersebut.”Kami tunduk pada hukum. Kalau mau diubah dan sebagainya, ya, kami tunduk pada putusan politik negara. Kami akan laksanakan,” katanya.Baca juga: Menanti Ujung Perkara Rasuah di BasarnasDia juga menyinggung, selain UU Peradilan Militer, seluruh masyarakat juga termasuk produk Orde Baru. Yudo meminta agar masyarakat tidak hanya menuduh TNI sebagai produk Orde Baru.Menurut dia, TNI sudah berubah dan berbenah sesuai keputusan politik pemerintah. TNI dinilai sudah lebih jauh terbuka, khususnya untuk berdiskusi, berkoordinasi, hingga bersilaturahmi.Baca juga: Puspom TNI Periksa Tiga Tersangka Korupsi Basarnas yang Ditangani KPK