Menanti Ujung Perkara Rasuah di Basarnas
Pro dan kontra mengenai lembaga yang berhak mengadili perkara dugaan korupsi di Basarnas mengemuka di hadapan publik. Prinsip persamaan di hadapan hukum diharapkan tetap ditegakkan.
Polemik kembali mengemuka di hadapan publik saat Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi beserta bawahannya, Letnan Kolonel (Adm) Afri Budi Cahyanto, pada 25 Juli 2023. Pro dan kontra mengenai kewenangan KPK menangani kasus dugaan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan prajurit aktif semakin kuat, terutama setelah TNI melayangkan protes keras dan dibalas permintaan maaf dari pimpinan KPK.
TNI secara jelas memprotes tindakan KPK yang menetapkan tersangka Kepala Basarnas dan stafnya yang masih berstatus prajurit aktif. Tak ada kewenangan, demikian kata petinggi TNI yang mendasarkan diri pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
KPK yang telah menetapkan dua prajurit aktif, Henri dan Afri, sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas bersama empat orang dari kalangan swasta, menanggapinya dengan meminta maaf. Permintaan maaf disampaikan secara terbuka oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam jumpa pers bersama Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, dan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro.
Hal itu tentu memantik polemik. Pro kontra pun tercipta, termasuk tentang pengadilan mana yang nanti akan menyidangkan perkara penerimaan suap senilai Rp 88,3 miliar oleh Kepala Basarnas itu. Muncul pula pandangan bahwa perkara itu selayaknya diadili di pengadilan koneksitas yang melibatkan KPK dan Puspom TNI. Pengadilan koneksitas ini dinilai lebih menjamin terwujudnya prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam penanganan perkara tersebut.
”Peradilan itu bukan hanya urusan cepat, sederhana, murah, dan berbiaya ringan. Yang penting juga adalah equality before the law. Kalau kemudian (perkara) di-split, itu memungkinkan akan berbeda (penanganan perkaranya). Kalau disatukan, lebih pasti penghukumannya karena oleh majelis yang sama. Namanya lebih equality,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum dengan tema ”Siapa Berwenang Adili Korupsi Anggota TNI” di Kompas TV, Rabu (2/8/2023) malam.
Selain Nurul Ghufron, acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri anggota Komisi III DPR, Arsul Sani; anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin; Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro; dan pengamat militer Al Araf, sebagai narasumber.
Peradilan itu bukan hanya urusan cepat, sederhana, murah, dan berbiaya ringan. Yang penting juga adalah equality before the law
Kenyataannya, penanganan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa Basarnas itu kini terpisah. Perkara Henri dan Afri ditangani Puspom, sedangkan penyidikan tiga tersangka dari kalangan swasta dilakukan oleh KPK.
”Kalau benar ini yang terjadi, itu sudah keluar dari prinsip yang diletakkan oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman kita, yaitu bahwa peradilan itu harus murah, cepat, dan sederhana. Ini menjadi tidak sederhana nanti. Oleh karena itu, baik KPK maupun Puspom TNI harus kembali ke KUHAP, khususnya Pasal 89 Ayat 2. Itu semua sudah diatur di KUHAP,” kata Arsul.
Pasal 89 KUHAP menyebutkan, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer diperiksa serta diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan ini bisa dikecualikan jika ada keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum dan HAM) bahwa perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer (Pasal 89 Ayat 1).
Ayat berikutnya mengatur, penyidikan perkara pidana (yang melibatkan warga sipil dan militer) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik dan polisi militer ABRI (saat ini TNI) serta oditur militer atau oditur militer tinggi. Tim tetap tersebut dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman.
”Kalau mengacu pada Pasal 89 KUHAP, maka yang berhak menetapkan tersangka adalah tim tetap itu yang terdiri dari penyidik (dalam hal ini KPK) dan Puspom sebagai penyidik militer plus oditur atau oditur tinggi militer,” ujar Arsul.
Jika mengacu pada Pasal 65 UU No 34/2004 tentang TNI, menurut Arsul, seharusnya perkara itu ditangani di peradilan umum.
Namun, menurut Tubagus Hasanuddin yang turut serta dalam pembahasan UU TNI, Pasal 65 belum dapat diterapkan mengingat saat pembahasan masih ada pro kontra tentang wilayah kompetensi pengadilan mana yang akan mengadili pelanggaran umum prajurit TNI. Sebagian pihak menyatakan perkara tersebut harus dibawa ke peradilan umum, tetapi ada pula yang minta ke peradilan militer.
Baca juga: Ketua KPK: Penetapan Pelaku Dugaan Korupsi di Basarnas Sesuai Prosedur Hukum
Menurut Hasanuddin, akibat pro dan kontra itu kemudian lahir Pasal 74 Ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa selama UU Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, maka penanganan perkara pidana yang melibatkan prajurit tetap tunduk pada ketentuan UU Peradilan Militer.
Hal ini disanggah oleh Al Araf. Menurut dia, ketentuan tersebut berlaku untuk tindak pidana yang semua pelakunya merupakan anggota TNI. Lain halnya jika pelaku kejahatan tersebut terdiri atas orang sipil dan militer. ”Dalam sebuah kejahatan yang pelakunya militer dan sipil, maka mekanismenya adalah peradilan umum dengan dasar koneksitas,” ujarnya.
Apalagi, di dalam kasus dugaan korupsi di tubuh Basarnas, hingga saat ini tidak ada surat penarikan dari Kementerian Pertahanan untuk bisa diproses di peradilan militer.
Kawal penyidikan
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro meminta publik mengawal penanganan perkara dugaan korupsi di tubuh Basarnas. Ia meyakini Puspom TNI tidak akan menutup-nutupi perkara tersebut.
Saat ini, pemeriksaan terhadap dua anggota TNI aktif yang diduga terlibat kasus Basarnas masih berjalan. Pihaknya juga terus berkoordinasi dengan penyidik KPK yang saat ini menangani tiga tersangka warga sipil.
”Selanjutnya, penyidik KPK dan Puspom TNI duduk bersama untuk mengetahui konstruksi hukumnya. Setelah itu bisa dilihat, apakah ini akan di-split atau (diajukan ke pengadilan) terpisah atau dikoneksitaskan, diperiksa dalam satu pengadilan,” kata Kresno.
Setelah itu barulah Ketua Mahkamah Agung (MA) yang menentukan apakah perkara tersebut diadili di peradilan umum ataukah peradilan militer. Sebab, sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 16 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa serta diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua MA perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Sementara itu, KPK, seperti disampaikan oleh Nurul Ghufron, berharap perkara tersebut diadili dalam satu peradilan untuk menjaga prinsip persamaan di depan hukum. Hal tersebut juga penting untuk menghindari disparitas di dalam penghukuman.
Kekhawatiran publik
Harus diakui, saat ini timbul kekhawatiran dari masyarakat sipil jika kasus dugaan korupsi di tubuh Basarnas tersebut ditangani Puspom TNI. Publik khawatir pengungkapan kasus suap tersebut bisa terhambat.
Skeptisisme masyarakat sipil ini tentu punya alasan mendasar. Penanganan kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland (AW)-101, salah satunya. Meskipun nama mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna disebut dalam tuntutan terdakwa dari pihak swasta, ia tak terjerat hukum. Padahal, pemimpin TNI AU 2015-2017 itu disebut bersama-sama dengan terdakwa dari pihak swasta telah memperkaya diri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara Rp 738,9 miliar (Kompas, 31/1/2023).
Kresno Buntoro menegaskan, kasus helikopter AW-101 dihentikan penyidikannya. Penyidik Puspom TNI terpaksa mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) karena tidak menemukan cukup alat bukti.
Baca juga: Kasus Dugaan Korupsi di Basarnas, Puspom TNI Jamin Penegakan Hukum
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, saat dikonfirmasi secara terpisah, Selasa (1/8/2023), justru mempertanyakan kritik dari masyarakat sipil yang menurut dia kurang obyektif. Selama ini, TNI sudah cukup tegas dalam menindak kasus korupsi di internal mereka. Salah satu buktinya adalah pada 2016, Brigadir Jenderal Teddy Hermayadi divonis penjara seumur hidup dalam kasus korupsi pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI di Kementerian Pertahanan. Selain divonis seumur hidup, Pengadilan Militer tingkat II di Jakarta Timur juga meminta jenderal bintang satu itu mengembalikan kerugian negara sebesar 12.409 dollar AS atau sekitar Rp 130 miliar. Ia juga dijatuhi sanksi berat berupa pemecatan dari keanggotaan TNI.
”Masyarakat sipil tolong lebih obyektif melihatnya. Apakah mereka ini melihat problem yang diselesaikan TNI betul-betul secara akademis atau ada muatan-muatan tertentu? Puspom TNI sudah pernah memutus tegas kasus Brigjen Teddy tahun 2016 yang dihukum seumur hidup,” kata Julius.
Kini, penyidikan perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas ditangani oleh lembaga berbeda, yakni Puspom TNI dan KPK. Banyak kalangan berharap kasus ini diadili di pengadilan koneksitas. Ini tentu, tidak lain dan tidak bukan, bertujuan agar prinsip persamaan di depan hukum tetap tegak terjaga.