Ketua KPK: Penetapan Pelaku Dugaan Korupsi di Basarnas Sesuai Prosedur Hukum
Penanganan dugaan korupsi di Basarnas telah melibatkan Polisi Militer TNI. Menko Polhukam Mahfud MD meminta KPK dan POM TNI fokus pada proses hukum sesuai prosedur yang berlaku.
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri, Sabtu (29/7/2023), menegaskan bahwa seluruh proses penyelidikan, penyelidikan, hingga penetapan pelaku dalam dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas telah sesuai prosedur hukum. Saat dilakukan kegiatan tangkap tangan di Basarnas pun, KPK melibatkan Polisi Militer TNI.
Firli juga menyampaikan, seperti diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang KPK, bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer.
Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka atas dugaan suap pada proyek pengadaan barang atau jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas, salah satunya Kepala Basarnas Periode 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi. Dalam kurun waktu 2021-2023, Henri bersama dan melalui Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto diduga menerima sekitar Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor proyek (Kompas.id, 26/7/2023).
Memahami bahwa para pihak tersebut di antaranya terdapat oknum TNI yang juga memiliki mekanisme peradilan militer, maka dalam proses gelar perkara pada kegiatan tangkap tangan di Basarnas ini, KPK telah melibatkan POM TNI. (Firli Bahuri)
TNI menilai langkah KPK menetapkan Kepala Basarnas sebagai tersangka itu melanggar undang-undang. Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko menyatakan, berdasarkan Undang-Undang Peradilan Militer, penyidik untuk anggota TNI aktif yang tersangkut kasus pidana adalah polisi militer. Oleh karena itu, yang bisa menetapkan status tersangka terhadap personel militer aktif adalah polisi militer selaku penyidik (Kompas.id, 27/7/2023).
Firli, lewat keterangan tertulis, menyampaikan bahwa setelah dilakukan tangkap tangan di Basarnas, harus ditetapkan sebagai peristiwa tindak pidana korupsi dan status hukum pihak yang terkait dalam waktu satu kali 24 jam. ”Memahami bahwa para pihak tersebut di antaranya terdapat oknum TNI yang juga memiliki mekanisme peradilan militer, maka dalam proses gelar perkara pada kegiatan tangkap tangan di Basarnas ini, KPK telah melibatkan POM (Polisi Militer) TNI sejak awal, untuk mengikuti gelar perkara sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait,” katanya.
Baca juga: KPK Duga Kepala Basarnas 2021-2023 Terima Suap Rp 88,3 Miliar
Oleh karena itu, kata Firli, KPK melanjutkan penanganan perkara yang melibatkan pihak dari swasta dan menyerahkan pihak dari militer kepada TNI untuk dikoordinasikan lebih lanjut. Kewenangan KPK dalam mengoordinasikan proses hukum tersebut diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang KPK.
Di dalam pasal tersebut disebutkan, KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Karena itu, kata Firli, seluruh proses hukum yang dilakukan KPK telah sesuai dasar hukum dan mekanisme yang berlaku.
Dilanjutkan ke pengadilan militer
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Sabtu, pun meminta agar perdebatan kewenangan penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas tidak diperpanjang. Untuk itu, Mahfud menegaskan, penegakan hukum atas dugaan korupsi yang terjadi di Basarnas menjadi yang terpenting. Perdebatan itu harus dihentikan karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengaku khilaf secara prosedural. Di sisi lain, TNI sudah menerima substansi persoalannya, yakni sangkaan korupsi untuk ditindaklanjuti berdasarkan peradilan militer.
”Yang penting masalah korupsi yang substansinya sudah diinformasikan dan dikoordinasikan sebelumnya kepada TNI ini harus dilanjutkan dan dituntaskan melalui pengadilan militer,” kata Mahfud melalui keterangan tertulis.
Mahfud mengakui ada kritik bahwa sulit membawa oknum militer ke pengadilan. Namun, satu kasus yang sudah masuk ke pengadilan militer, sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas.
Baca juga: Kasus Basarnas, TNI Minta KPK Patuhi Prosedur Hukum
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono setelah memimpin upacara serah terima jabatan di Jakarta berharap peristiwa di Basarnas menjadi evaluasi. Ia meminta agar TNI mawas diri.
”Kita harus mawas diri dengan hal seperti itu. Jangan dilihat negatifnya berita itu. Mari, kita evaluasi bersama sehingga ke depan tidak terjadi lagi di tubuh TNI ataupun para prajurit TNI yang bertugas di luar struktur TNI. Sehingga kita tetap solid untuk melaksanakan tugas pokok atau fungsi TNI,” kata Yudo.
Ia meminta prajurit TNI yang berdinas di luar struktur TNI agar terus menjalin komunikasi. Prajurit yang berada di lembaga tersebut harus dibina dan diingatkan bahwa mereka masih TNI.
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono setelah memimpin upacara serah terima jabatan di Jakarta berharap peristiwa di Basarnas menjadi evaluasi.
Saat dihubungi, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan, laporan dari KPK khusus untuk Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto baru diterima pada Jumat (28/7/2023) siang. Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI akan menyidik Afri dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah. Saat ditanya laporan KPK terkait dengan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi, Julius belum merespons.
Terkait dengan penetapan tersangka terhadap Afri maupun Henri, KPK telah menyampaikan permintaan maaf. Permintaan maaf itu disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Jumat (28/7/2023) lalu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Permintaan maaf itu sempat menuai polemik dari kalangan aktivis antikorupsi.
Baca juga: KPK Mengaku Khilaf, Puspom TNI Janji Transparan Usut Keterlibatan Personel TNI
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani saat dihubungi di Jakarta, mengatakan, persoalan KPK yang meminta maaf dan mengaku khilaf atas penetapan tersangka perwira TNI aktif, seharusnya tak perlu menjadi polemik berkepanjangan. Ia meminta KPK maupun POM TNI fokus pada proses hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
”Kami minta polemik itu diakhiri. Bentuk tim koneksitas untuk melakukan proses hukum terhadap dua perwira TNI aktif tersebut, di samping tentunya KPK juga terus merampungkan penyidikannya atas para tersangka yang merupakan warga sipil,” ujar Arsul.
Menurut Arsul, saatnya KPK dan TNI menunjukkan kepada rakyat bahwa ada paralelisasi dan sinkronisasi dalam proses hukum terhadap tersangka warga sipil dan perwira TNI aktif yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi (tipikor) tersebut. Terkait ”gesekan” yang timbul antara KPK dan TNI akibat penetapan tersangka dua perwira TNI aktif, tidak perlu diperpanjang. Sebab, kedua instansi penegak hukum itu juga telah bertemu.
”Kami di DPR dan terlebih lagi masyarakat ingin melihat proses hukum yang benar secara prosedural dan akuntabel dari sisi materi kasus tipikornya, serta ada aspek transparan untuk dinilai bersama, termasuk oleh publik. Jangan sampai terjadi lagi seperti pada kasus tipikor Helikopter AW-10 di mana orang sipilnya diproses hukum dan dipidana penjara plus denda, namun tidak demikian dengan perwira TNI yang diduga terlibat,” kata Arsul.
Polemik internal KPK
Adapun penanganan kasus ini berujung pada mundurnya Direktur Penyidikan sekaligus Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. Sebab, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf kepada TNI dan menyatakan ada kekeliruan dari tim yang melakukan penangkapan. Tidak lama kemudian, pegawai pada Kedeputian Penindakan KPK protes.
Berdasarkan sumber Kompas, Pimpinan KPK menemui Asep. Firli juga telah mengirimkan surat elektronik kepada pegawai KPK agar menjauhi konflik dan kegaduhan. Ia bertanggung jawab atas persoalan ini. Pimpinan menjadwalkan apel keluarga besar KPK dan kebersamaan dengan seluruh pegawai pada Senin (31/7/2023).
Baca juga: Tanggung Jawab di Pimpinan KPK
Selain itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan bahwa ia tidak menyalahkan penyelidik, penyidik, maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai dengan kapasitas dan tugasnya. “Jika dianggap sebagai kekhilafan, itu kekhilafan pimpinan,” kata Alexander.
Arsul pun mengapresiasi pernyataan Alexander yang menyatakan bahwa kesalahan terkait penetapan tersangka anggota TNI aktif dalam kasus di Basarnas bukan kekhilafan penyelidik atau penyidik, melainkan kekhilafan pimpinan KPK. ”Statement Pak Alex itu bagus. Sikap gentlemen sebagai pimpinan dan ini merupakan koreksi terhadap pernyataan Tanak sebelumnya,” ujarnya.
KPK tetap dapat terlibat dalam kerangka koneksitas dengan menempatkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU KPK.
Menurut Arsul, yang perlu ditindaklanjuti adalah Tanak meminta maaf kepada jajaran penyelidik dan penyidik KPK atas pernyataannya itu. Kemudian, bicaralah dari hati ke hati dengan mereka semua.
”Di sisi lain, setelah itu, jajaran KPK termasuk Direktur Penyidikan (Asep) tidak perlu mundur. Menurut saya, ini cara mengakhiri drama internalnya,” ucap Arsul.
Selanjutnya, kata Arsul, semua pihak bisa fokus untuk menyelesaikan proses hukum yang ada. KPK tetap dapat terlibat dalam kerangka koneksitas dengan menempatkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU KPK.
”Meskipun untuk dua perwira TNI aktif itu penyidiknya tetap POM TNI. Hanya sesuai dengan UU KPK, UU TNI dan KUHAP terkait koneksitas penanganan perkara yang melibatkan sipil dan militer aktif, maka kerja penegakan hukum koneksitas harus dilakukan. Tentunya, tetap dengan menerapkan asas praduga tak bersalah,” ujar Arsul.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi di Basarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Julius Ibrani, KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya.
Ia mendorong Dewan Pengawas KPK memeriksa semua komisioner KPK dan menolak pengunduran diri Asep. Jika tidak dilakukan, semua pimpinan dan Dewas harus mundur karena tidak menjalankan fungsi mereka dengan baik.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, peristiwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka anggota TNI adalah puncak kelemahan KPK dalam menjaga dan menjalankan fungsinya secara independen. KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI yang bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum sebagaimana amanat konstitusi.
”Peristiwa ini juga menunjukkan supremasi TNI masih teramat kokoh, karena meskipun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI pasti akan membela dan KPK melepaskannya,” ujar Hendardi.