Kasus Dugaan Korupsi di Basarnas, Puspom TNI Jamin Penegakan Hukum
Puspom TNI berjanji menindak dua oknum TNI yang ditangkap KPK karena kasus dugaan korupsi di Basarnas. Masyarakat sipil meminta proses hukum tetap oleh KPK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pusat Polisi Militer TNI meminta publik tak meragukan mereka dalam penegakan hukum dua tentara aktif yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas. Jika mereka terbukti melanggar, hukuman pasti akan dijatuhkan, terlebih untuk kasus korupsi yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa.
Sebaliknya, sejumlah kelompok masyarakat sipil meminta agar penanganan kedua personel TNI tersebut tetap oleh KPK sehingga nantinya mereka disidangkan di peradilan sipil, bukan peradilan militer.
Saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (30/7/2023), Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko mengatakan, TNI dan KPK memiliki misi yang sama, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, terkait persoalan dua personel militer yang ditangkap KPK, Puspom TNI bakal berkoordinasi dengan KPK untuk segera melengkapi administrasi guna memproses hukum keduanya. Koordinasi ini meliputi permintaan alat bukti sebagai dasar penindakan.
Dua personel militer yang dimaksud adalah Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto dan Kepala Basarnas 2021-2023 Marsekal Madya Hendri Alfiandi. KPK menduga Hendri bersama dan melalui Afri menerima Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor proyek pada 2021-2023 (Kompas, 27/7/2023). Karena keduanya militer, penanganannya diserahkan KPK kepada Puspom TNI.
Agung menegaskan, TNI bakal menegakkan hukum kepada setiap personelnya yang melanggar, sebagaimana komitmen yang pernah disampaikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Terlebih untuk kasus korupsi yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa.
”Saya berharap masyarakat tidak meragukan TNI dalam penegakan hukum,” ucapnya.
Transparansi
Meski demikian, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam kasus korupsi, baik sipil maupun militer seharusnya tunduk pada aturan hukum pidana khusus, yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan bukan hukum pidana militer. ”Korupsi tak ada kaitannya dengan tugas militer. Wewenang KPK jelas sehingga seharusnya hukum ditegakkan dalam sistem pengawasan sipil agar jelas akuntabilitas dan transparansinya,” tuturnya.
Karena itu, dalam konteks penangkapan Hendri dan Afri, KPK dilindungi aturan pidana khusus (lex specialis). Selain itu, Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap orang memperoleh perlakuan yang sama di hadapan hukum. Maka, seharusnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi panglima, bukan UU Peradilan Militer.
”Jika yang diterapkan justru UU Peradilan Militer, ini seolah menghidupkan kembali status TNI menjadi warga negara kelas satu,” ujarnya.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani menambahkan, dalam perkara korupsi, konstruksi hukum didasarkan atas perbuatannya, bukan subyek hukumnya. Maka, seharusnya KPK yakin menangani perkara ini di bawah payung UU KPK dan UU Pemberantasan Korupsi. Terlebih, penanganan kasus korupsi di peradilan sipil lebih transparan dan akuntabel dibandingkan dalam peradilan militer.
”Kalau ada korupsi yang dilakukan prajurit TNI aktif, harus diadili di ranah peradilan umum,” katanya.