Wapres Amin: Revisi UU Peradilan Militer Keniscayaan
Desakan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bergulir setelah kasus dugaan suap Kepala Basarnas diserahkan ke Pusat POM TNI.
Oleh
NINA SUSILO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diamini Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dia menilai revisi undang-undang sebagai hal yang biasa, bahkan sebuah keniscayaan.
”Kalau revisi (aturan perundang-undangan) itu menjadi biasalah. Dalam waktu sekian lama setelah pelaksanaan, ada hal-hal yang dirasa perlu direvisi. Saya rasa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 juga sama, ada hal-hal yang perlu disempurnakan supaya sesuai tuntutan keadaan,” tutur Wapres Amin kepada wartawan seusai mengukuhkan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Kalimantan Timur di Samarinda, Jumat (4/8/2023).
Revisi UU No 31/1997 bahkan disebutnya sebagai sebuah keniscayaan. ”Itu sesuatu yang menjadi keniscayaan untuk dilakukan revisi,” tambahnya.
Wapres mempersilakan proses revisi berjalan sesuai aspirasi yang ada. Dengan demikian, aturan perundang-undangan semakin baik dan bisa merespons tuntutan zaman.
Sebelumnya, desakan ini muncul setelah kasus dugaan suap yang melibatkan Kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) periode 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto.
Kasus yang bermula dari operasi tangkap tangan oleh KPK atas Afri dan penetapan tersangka atas Henri oleh KPK diprotes keras oleh TNI dan Pusat Polisi Militer TNI. Sebab, berpegang pada UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer, anggota TNI aktif yang melanggar hukum ditangani Polisi Militer. Akibatnya, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf dan menyatakan penyidik KPK khilaf. Henri dan Afri pun diserahkan ke Pusat POM TNI untuk diproses lebih lanjut.
Namun, para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai langkah KPK meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi dua perwira TNI itu kepada Puspom TNI sebagai langkah keliru. Bahkan, hal itu dinilai merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
Alasannya, korupsi adalah kejahatan khusus dan KPK seharusnya menggunakan Undang-Undang KPK sebagai landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi.
Ke depan, kata Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, pemerintah dan DPR perlu segera merevisi UU No 31/1997. Sebab, aturan ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.
”Agenda revisi UU Peradilan Militer ini salah satu agenda yang dijanjikan Presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya,” kata Araf.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi malah meminta Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mengubah UU Peradilan Militer. Hal ini, menurut dia, Selasa lalu, diperlukan untuk menjawab rasa keadilan yang terusik dan pelanggaran prinsip kesamaan di muka hukum.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangan kepada wartawan di kediaman resmi Wapres, Jakarta, Rabu (2/8/2023), mengatakan, usul revisi UU Peradilan Militer akan dipertimbangkan. ”Nanti kita agendakan. Kan sudah ada di Prolegnas ya, di Prolegnas jangka panjang. Nanti kita bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” tuturnya.