Didakwa Terima Suap Rp 45,8 Miliar, Lukas Enembe Marah di Ruang Sidang
Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe, sempat berteriak saat jaksa membacakan dakwaan penerimaan suap sebesar Rp 45,8 miliar dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah melewati perjalanan panjang sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 5 September 2022, kasus dugaan penerimaan suap Rp 45,8 miliar dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar yang melibatkan Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe, memasuki babak baru. Lukas didakwa menerima suap dan gratifikasi, yang sebelumnya memerintahkan dua kepala dinas memberi proyek kepada perusahaan yang dimiliki oleh tim suksesnya saat pilkada.
Persidangan Lukas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (19/6/2023), sempat diwarnai ketegangan. Selama persidangan, Lukas yang duduk di kursi terdakwa selalu didampingi kuasa hukumnya, Petrus Balapationa, karena sakit. Bahkan, kuasa hukum Lukas menyertakan surat sakit dari tim dokter, yang setelah dibaca oleh ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh menerangkan bahwa Gubernur Papua dua periode tersebut dalam kondisi kritis.
Meski sakit, Lukas sempat menginterupsi jaksa penuntut umum dari KPK yang tengah membacakan dakwaan. Lukas tidak terima dengan dakwaan yang dibacakan jaksa bahwa ia telah menerima suap senilai Rp 45,8 miliar. ”Woi, dari mana 45 (Rp 45 miliar), tidak benar! Jaksa tipu-tipu ini, tidak benar semuanya!” teriak Lukas.
Hakim ketua Rianto langsung memberikan peringatan dan meminta Lukas agar lebih tenang. Hakim, bahkan, meminta kuasa hukum Lukas untuk memberikan pemahaman bahwa ada waktu tersendiri bagi terdakwa untuk membacakan nota keberatan atau eksepsi.
Sidang pembacaan dakwaan perkara dugaan suap dan gratifikasi dengan terdakwa Lukas Enembe akhirnya terlaksana setelah tertunda selama satu pekan. Tim jaksa penuntut umum dari KPK yaitu Heradian Salipi, Amir Nurdianto, Nur Haris Arhadi, Yoga Pratomo, Yosi A Herlambang, Wahyu D Oktafianto, Arjuna B Tambunan, Tri Handayani, Sandy SM Hidayat, dan Ahmad Ali Fikri P.
Jaksa menyebutkan, dalam kurun waktu menjabat sebagai Gubernur Papua pada periode 2013-2018 dan 2018-2023, Lukas bersama-sama dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Papua (2013-2017) Mikael Kambuaya dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Papua (2018-2021) Gerius One Yoman menerima hadiah atau janji dengan total nilai Rp 45,84 miliar. ”Hadiah itu patut diduga diberikan agar terdakwa Lukas Enembe bersama-sama dengan Mikael Kambuaya dan Gerius One Yoman mengupayakan agar perusahaan yang digunakan oleh Piton Enumbi dan Rijatono Lakka dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Papua tahun anggaran 2013-2022 yang bertentangan dengan kewajibannya,” ujar jaksa.
Berdasarkan hasil penyidikan, uang suap diterima di antaranya dari PT Melonesia Mulia yang bergerak di bidang perdagangan dan didirikan oleh Piton Enumbi. Piton Enumbi adalah tim sukses pada saat Lukas menjadi kandidat pemilihan kepala daerah (pilkada). Lukas kemudian menginstruksikan kepada Mikael Kambuaya selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua untuk memberikan proyek kepada Piton Enumbi.
Terdakwa meminta agar Rijatono Lakka menyediakan fee atas proyek-proyek yang diperoleh dari APBD Provinsi Papua, dan Rijatono pun menyetujuinya.
Jatah proyek itu dibagikan berdasarkan Surat Keputusan Status Ruas Jalan yang telah ditandatangani oleh terdakwa, di mana nantinya berdasarkan ruas jalan itu akan ditetapkan anggaran dan siapa saja kontraktor yang mendapatkan pekerjaan tersebut. ”Dengan kesepakatan bahwa terdakwa akan menerima sejumlah fee atas proyek yang didapatkan oleh Piton Enumbi,” ujar Jaksa.
Setelah mendapatkan proyek dari Pemprov Papua, Piton Enumbi secara bertahap memberikan kesepakatan fee kepada Lukas Enembe. Uang itu diberikan sejak Mei sampai dengan Juli 2020 dengan nilai total Rp 3,34 miliar.
Lukas juga menerima suap dari Rijatono Lakka yang memiliki perusahaan perdagangan dan perindustrian alat-alat kesehatan dan industri farmasi bernama PT Tabi Anugerah Pharmindo. Sama seperti Piton Enumbi, Rijatono juga merupakan tim sukses Lukas saat mengikuti pemilihan gubernur 2018-2023. Setelah dia terpilih sebagai gubernur, Rijatono akhirnya meminta proyek yang didanai oleh APBD Provinsi Papua. ”Terdakwa meminta agar Rijatono Lakka menyediakan fee atas proyek-proyek yang diperoleh dari APBD Provinsi Papua, dan Rijatono pun menyetujuinya,” ujar jaksa.
Rijatono sendiri sudah dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/6/2023). Selain memberikan imbalan Rp 1 miliar, Rijatono juga terbukti membiayai renovasi aset milik lukas senilai Rp 34,4 miliar. Tidak ada hal yang meringankan karena terdakwa dinilai berbelit-belit selama persidangan
Setelah mendapatkan sejumlah proyek yang dibiayai oleh APBD Papua, Rijatono juga menyetor kesepakatan fee secara bertahap kepada terdakwa dalam kurun waktu 2019-2021.
Tak hanya suap, Lukas juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 1 miliar. Uang tersebut diduga diterima dari Budy Sultan, Direktur PT Indo Papua, melalui Imelda Sun. Namun, Lukas tidak melaporkan penerimaan gratifikasi itu kepada KPK.
Atas dugaan suap yang diterima, Lukas didakwa dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun. Adapun pada perkara gratifikasi, jaksa mendakwa Lukas dengan Pasal 12B UU Tipikor sehingga terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Sementara itu, dalam eksepsi pribadinya, Lukas mengaku bahwa dia difitnah, dizolimi, dan dimiskinkan. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah merampok uang negara, tidak pernah menerima suap. Menurut dia, justru KPK yang menggiring opini publik seolah-olah ia adalah penjahat besar.
”Saya dituduh penjudi, sekalipun bila memang benar, hal itu merupakan tindak pidana umum, bukan KPK yang mempunyai kuasa untuk melakukan penyelidikan dam penyidikan kasus judi,” kata Lukas seperti dibacakan tim kuasa hukumnya.
Lukas juga mengungkapkan bahwa dia telah dihukum melalui media. Sebab, pada saat penyidikan kasus dugaan korupsi itu, dia sedang sakit dan berada di Singapura. Dia mengaku empat kali mengalami stroke, menderita diabetes stadium empat. Setelah ditahan, justru penyakit diabetesnya meningkat menjadi stadium lima. Bahkan, dia juga menderita penyakit hepatitis B, darah tinggi, jantung, dan banyak komplikasi penyakit lainnya. Hasil pemeriksaan terakhir, dokter RSPAD menyatakan fungsi ginjalnya tinggal 8 persen.
”Setiap hari Selasa, penasihat hukum saya mengunjungi saya di tahanan rutan KPK. Mereka melihat tumit kaki saya makin membengkak, susah jalan, susah berbicara. Terakhir waktu penyerahan tahap kedua tanggal 12 Mei 2023, tensi saya naik ke angka 180 sehingga dokter KPK menganjurkan pemeriksaan penyerahan tahap dua dihentikan dan benar dihentikan tanpa saya tanda tangan dokumen,” tuturnya.
Lukas juga menyampaikan bahwa sangkaan uang suap yang sebenarnya hanya senilai Rp 1 miliar, tetapi membengkak menjadi puluhan miliar. Hal itu membuat seluruh kekayaannya disita, termasuk tabungan anak dan istrinya. Dia pun berani dikonfrontasi dengan para rekanan yang diduga memberikan suap, yaitu Rijatono Lakka.
”Saya tidak pernah memberikan fasilitas kepada Rijatono Lakka, yang dapat memperkaya dia sendiri,” ucapnya.
Sidang pemeriksaan lanjutan dengan agenda jawaban jaksa penuntut umum atas eksepsi Lukas dan kuasa hukumnya akan dilanjutkan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada 22 Juni mendatang.