RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Diproses, DPR-Pemerintah Saling Menyalahkan
Sejak diserahkan pemerintah kepada DPR pada 4 Mei lalu, Surpres RUU Perampasan Aset belum juga dibacakan dalam rapat paripurna. Ini artinya pembahasan belum bisa dimulai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari sebulan setelah pemerintah mengirimkan Surat Presiden berisi usul pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, Dewan Perwakilan Rakyat belum juga memutuskan untuk memprosesnya. Pemerintah dan DPR pun saling tuding ada kepentingan tertentu yang menyebabkan pembahasan RUU ini tak segera dibahas.
Pimpinan DPR bahkan belum membacakan surat presiden (Surpres) yang berisi usulan pembahasan RUU tersebut di rapat paripurna. Pada rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (13/6/2023), surpres itu juga belum dibacakan. Padahal, surpres RUU Perampasan Aset sudah diserahkan pemerintah kepada DPR sejak 4 Mei lalu.
Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus itu, DPR mengagendakan pengambilan persetujuan hasil pemilihan anggota Badan Pengawas Keuangan (BPK) oleh Komisi XI. Agenda lainnya adalah pengambilan persetujuanperpanjangan masa pembahasan tiga RUU, yakni RUU tentang Hukum Acara Perdata, RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Seusai rapat, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Santoso mengatakan, surpres yang dikirim pemerintah untuk pembahasan RUU tentu akan ditindaklanjuti oleh DPR sepanjang seluruh persyaratan yang dibutuhkan telah dipenuhi. Oleh karena itu, ia pun mempertanyakan, apakah Surpres RUU Perampasan Aset telah dilengkapi dengan draf serta naskah akademik RUU yang dipersyaratkan ataukah belum. “Pemerintah juga harus transparan apa yang belum dilengkapi,” ujarnya.
Santoso menegaskan, Fraksi Partai Demokrat mendukung penuh pembahasan RUU Perampasan Aset. Lambannya pembahasan di DPR bukan disebabkan adanya kekhawatiran regulasi itu dapat menjerat para politisi di Senayan.
Santoso malah menduga, kekhawatiran pemerintah terhadap keberadaan regulasi perampasan aset justru lebih besar. Ini karena posisi pemerintah merupakan pengguna anggaran. Sementara anggota DPR hanya memiliki kewenangan pengawasan, legislasi, dan anggaran.
”Justru (RUU Perampasan Aset) ditakutkan oleh orang-orang yang berkarier di pemerintahan, sebagai pengguna anggaran. Kita tahu semualah, jabatan tidak seberapa, tetapi kekayaan berlimpah,” ujarnya.
Belum terlalu lama
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, Komisi III masih menunggu surpres dibacakan di rapat paripurna. Lagi pula, jeda waktu antara penyerahan surpres sampai hari ini, juga dinilai belum terlalu lama.
Komisi III DPR juga hanya bisa menunggu penugasan pembahasan yang nantinya diputuskan oleh Badan Musyawaran (Bamus) setelah surpres dibacakan dalam rapat paripurna DPR. Bamus, lanjut Taufik, bisa saja menugaskan Komisi III untuk membahas RUU Perampasan Aset bersama pemerintah, bisa pula memutuskan pembentukan panitia khusus (pansus) lintas komisi untuk membahas RUU inisiatif pemerintah tersebut.
Taufik Basari berharap, pembahasan RUU Perampasan Aset harus didasarkan pada aspek hukum, baik itu soal prinsip-prinsip hukum maupun teori-teori hukum. Selain itu, perdebatan yang mungkin timbul dalam pembahasan diharapkan tak diartikan sebagai bentuk penolakan atau penghambatan terhadap RUU Perampasan Aset.
”Jadi, narasi yang dibangun selama ini adalah narasi yang keliru karena faktanya DPR tidak pernah menolak. Bisa dilihat dari proses prolegnas (program legislasi nasional) yang tidak pernah ada hambatan sama sekali. Tetapi, karena sudah dibangun narasi yang keliru ini, kami juga khawatir publik akan menilai negatif ketika ada perdebatan. Padahal, perdebatan itu bukan perdebatan politis, tetapi perdebatan teoretik mengenai hukum,” ujarnya.
Tidak ada dokumen terkait RUU Perampaan Aset yang belum disampaikan pemerintah kepada DPR.
Oleh karena itu, ia mengajak publik untuk bisa obyektif dalam mengawal RUU Perampasan Aset ini. Dengan begitu, hasil yang didapatkan dalam pembahasan RUU ini adalah yang memang bermanfaat dan tidak melanggar asas-asas dan prinsip-prinsip hukum.
Menagih komitmen DPR
Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim menegaskan, tidak ada dokumen terkait RUU Perampaan Aset yang belum disampaikan pemerintah kepada DPR. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dokumen yang harus diserahkan ke DPR meliputi draf RUU dan naskah akademiknya.
”Itu, kan, dokumen-dokumen yang pokok dan sudah kami serahkan seluruhnya ke DPR,” ujarnya.
Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk menunda pembahasan RUU Perampasan Aset. Ia pun menagih komitmen DPR untuk segera menindaklanjuti surpres dan membahas RUU Perampasan Aset. Apalagi, Presiden dalam surpresnya juga telah menekankan agar pembahasan dan penyelesaian RUU Perampasan Aset dapat diprioritaskan.
”Memprihatinkan. Ini, kan, sekaligus membuktikan, kemarin, kan, dia (DPR) bilang pemerintah tidak ada pergerakan. Ini sudah sebulan lebih (pemerintah serahkan surpres), tetapi belum ada pergerakan (dari DPR), selalu dalilnya adalah belum dibahas di badan musyawarah dewan, belum dibahas di rapat pimpinan dewan. Jadi, ini tinggal komitmen dan keseriusan anggota dewan,” tutur Fithriadi.
Ia justru menduga, perdebatannya sekarang ada di Komisi III. Sebagian anggota di Komisi III menganggap, muatan RUU Perampasan Aset terdiri dari aspek hukum dan keuangan sehingga harus dibahas lintas komisi.
Padahal, sebagian anggota di Komisi III, termasuk pemerintah, berpendapat, muatan RUU Perampasan Aset murni aspek hukum sehingga cukup dibahas bersama Komisi III saja. Lagi pula, Kementerian Keuangan sudah mengambil sikap, yakni hanya akan mengambil aset yang sudah tidak bermasalah secara hukum.
”Tetapi, pemerintah terbuka, kalau mau dibahas lintas komisi atau Komisi III saja, ya, ayo mulai saja. Kami terbuka,” tutur Fithriadi.
Pemerintah juga siap menjelaskan substansi RUU secara detail. Bahkan, jika diperlukan, pemerintah siap mengundang para ahli atau pakar, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk menjelaskan substansi RUU tersebut. Dengan begitu, pemerintah dan DPR bisa memiliki kesepahaman mengenai susbtansi RUU bahwa penerapan pembuktian terbalik itu yang paling tepat adalah terkait aset.
”Tidak bisa orang itu dipidana karena tidak bisa menjelaskan asetnya. Yang ada, kalau dia tidak bisa menjelaskan, asetnya dirampas. Itu lebih fair (adil). Lalu, jangan juga nanti memaksakan memidanakan orang. Tetapi, kan, semua proses mencari titik temu itu belum bisa dilakukan, sebelum ada mandat bahwa RUU ini akan dibahas,” tuturnya.