Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Dimulai Akhir Juni
Dengan mengambil tempat di Aceh, di akhir Juni mendatang, pemerintah akan memulai implementasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat. Diharapkan upaya itu juga bisa menciptakan rekonsiliasi di akar rumput.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memulai (kick off) implementasi rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) di Aceh pada akhir Juni mendatang. Ini merupakan babak baru bagi pemulihan hak-hak korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Untuk itu, pemerintah juga diingatkan agar program pemulihan itu bisa menyeluruh, tidak parsial apalagi artifisial.
Dalam laporan Tim PPHAM yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada awal 2023, disebut bahwa prinsip dasar pemulihan korban ada enam aspek. Pertama, kompensasi sebagai upaya penggantian. Kedua, restitusi sebagai upaya mengembalikan kondisi ke semula, Ketiga, rehabilitasi sebagai pemulihan hukum dan sosial. Keempat, satisfaksi sebagai upaya verifikasi terhadap fakta, keterbukaan publik atas peristiwa serta permintaan maaf kepada korban dan membuat pengingat (memorabilia) bagi para korban.
Kelima, pengungkapan kebenaran sebagai upaya katarsis ke kondisi sosial agar bisa membantu kejadian serupa tak terulang. Terakhir, jaminan agar peristiwa kelam tidak terulang dengan membuat aturan dan perubahan institusi yang memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum (rule of law).
Sekretaris Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Letnan Jenderal Teguh Pudjo Rumekso saat dikonfirmasi, Sabtu (3/6/2023), menuturkan, tindak lanjut rekomendasi Tim PPHAM akan dilaksanakan pada akhir Juni ini di Aceh. Ia yang menjadi Ketua Tim Pemantau Implementasi Rekomendasi Tim PPHAM itu menyebut, pemerintah sudah beberapa kali rapat dengan 19 kementerian dan lembaga. Bahkan, mereka juga sudah mengecek langsung lokasi yang akan digunakan untuk acara kick off.
”Di Aceh, ada tiga peristiwa pelanggaran HAM berat, yaitu Peristiwa Rumoh Geudong 1998, Peristiwa Simpang KKA 1999, dan Peristiwa Jambu Keupok 2003. Berdasarkan pendataan sementara, ada 85 korban. Data itu akan diverifikasi lagi sehingga ada kemungkinan jumlahnya bertambah,” kata Teguh.
Baca juga: Komnas HAM Tetap Mendesak Penyelesaian Hukum Kasus HAM Masa Lalu
Karena pelaksanaan kick off dilakukan di Aceh, Teguh menyebut secara simbolis, pemulihan hak-hak korban juga akan dimulai dari situ. Pada saat bersamaan, korban peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya juga akan mengikuti seremoni secara virtual.
Ia menyebutkan, dari hasil pendataan dan verifikasi Tim PPHAM di Aceh, para korban memiliki keinginan yang berbeda-beda. Ada yang ingin anaknya mendapatkan beasiswa. Ada pula yang meminta pemulihan psikologis dan sosial. Hal itu tentunya akan diurus oleh 19 kementerian dan lembaga yang sudah ditugaskan oleh Presiden melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Untuk pemberian beasiswa kepada anak-anak korban, akan ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Adapun untuk program pemulihan fisik dan medis, akan dijalankan oleh Kementerian Kesehatan. ”Bentuk jaminan kesehatan itu levelnya lebih tinggi daripada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ini akan berlaku bagi korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM,” ujarnya.
Korban yang ingin dipulihkan luka psikologis dan sosialnya juga akan diusahakan untuk bisa terpenuhi.
Mantan Panglima Komando Daerah Militer VI/Mulawarman itu menambahkan, pemerintah berupaya untuk memenuhi harapan korban melalui program pemulihan ini. Tentu, tidak semua korban memiliki aspirasi yang sama. Korban yang ingin dipulihkan luka psikologis dan sosialnya juga akan diusahakan untuk bisa terpenuhi.
Sebelumnya, para korban pelanggaran HAM berat telah menyampaikan bahwa yang terpenting adalah pemulihan harkat dan martabat mereka. Pengakuan resmi dan penyesalan yang diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2023 dinilai belum cukup untuk menghapuskan stigmatisasi masyarakat terhadap mereka.
Seperti diungkapkan oleh anak penyair Wiji Thukul, Nganti Wani, ia masih kerap dituduh sebagai anak penjahat. Sementara para orangtua korban kerusuhan Mei 1998 juga kerap dituduh sebagai penjarah. Padahal, anak-anak mereka baru berusia belasan tahun. Kemungkinan besar mereka hanya ikut-ikutan pada saat kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta.
”Semua pemulihan mungkin saja dilakukan, tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis dan sosial. Pemerintah saat ini juga masih mendata berapa jumlah pastinya korban pelanggaran HAM berat yang masuk dalam program ini. Sehingga, kami harapkan mereka dapat meminta surat pengantar dari Komnas HAM,” kata Teguh.
Terkait dengan keberlanjutan program yang ditargetkan selesai pada akhir tahun ini itu, Teguh mengatakan, peluang untuk memperpanjang masa tugas tim pelaksana dan tim pemantau terbuka lebar. Jika memang rekomendasi belum selesai, tim akan menyarankan kepada pemerintah untuk memperpanjang masa tugasnya.
”Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan agar pemulihan korban dilakukan secara adil dan bijaksana,” ujarnya.
Di luar program pemulihan korban, karena berasal dari institusi TNI, Teguh juga menekankan bahwa dalam rekomendasi Tim PPHAM terdapat rekomendasi agar peristiwa pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi di kemudian hari. Program-program pencegahan itu menyasar aktor-aktor pertahanan dan keamanan negara, yaitu TNI dan Polri.
Menurut dia, rekomendasi itu telah disampaikan secara resmi kepada institusi TNI dan Polri melalui Panglima TNI dan Kapolri. Salah satu usulnya adalah memasukkan pembelajaran hukum humaniter di pendidikan TNI. Di TNI, sebutnya, ada Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI. Rekomendasi dari Tim PPHAM adalah mengubah badan itu menjadi Badan Pembinaan Hukum dan HAM (Babinkumham).
Adapun di institusi Polri, karena merupakan alat keamanan negara yang sifatnya sipil dipersenjatai, Divisi Hukum Polri diusulkan agar diubah menjadi Divisi Hukum dan HAM. Pengubahan institusi itu diharapkan menjadikan wajah alat pertahanan dan keamanan negara menjadi lebih profesional dan humanis dalam melakukan upaya penegakan hukum ke masyarakat sipil.
”Nanti akan disampaikan juga program ini saat kick off nanti,” katanya.
Baca juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat
Pengungkapan kebenaran
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berpandangan, pemilihan Aceh sebagai lokasi kick off cukup baik mengingat di Aceh sendiri sudah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang merupakan mandat dari Kesepakatan Helsinki tahun 2005. Nota kesepahaman (MoU Helsinki) adalah perjanjian perdamaian antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka.
”Di Aceh itu ada sekitar 2.500 korban yang bisa mendapatkan program reparasi mendesak. Persoalannya, apa yang digali oleh Tim KKR Aceh itu belum semuanya diidentifikasi dalam cakupan kerja-kerja Tim PPHAM. Agar tidak menciptakan fragmentasi korban, seharusnya semua korban disasar program pemulihan atau reparasi ini,” ujarnya.
Jangan hanya memulihkan hak-hak korban secara materiil, tetapi juga mendorong rekonsiliasi kultural dalam adat istiadat masyarakat Aceh.
Dia berpesan kepada Sekretaris Kemenko Polhukam agar memastikan ulang seluruh korban pelanggaran HAM berat di Aceh bisa mendapatkan akses program pemulihan hak-hak mereka. Jika kuota yang diberikan pemerintah pusat terbatas, dikhawatirkan justru akan menciptakan fragmentasi atau bahkan perpecahan di antara korban. Sebab, status mereka sama-sama sebagai korban pelanggaran HAM berat. Apalagi, karakteristik konflik di Aceh di masa lalu begitu rumit. Tidak hanya konflik struktural, tetapi juga konflik horizontal.
”Kami berharapnya program dari pemerintah pusat ini juga bisa memfasilitasi proses rekonsiliasi kultural di akar rumput. Jangan hanya memulihkan hak-hak korban secara materiil, tetapi juga mendorong rekonsiliasi kultural dalam adat istiadat masyarakat Aceh,” ujarnya.
Baca juga: Pemerintah Segera Pulihkan Nama Baik Warga Eksil Korban Pelanggaran HAM Berat
Wahyudi juga menyayangkan dalam Inpres dan Keppres Tindak Lanjut Rekomendasi Tim PPHAM, rekomendasi pelurusan sejarah yang mendasar dan dibutuhkan korban untuk mengembalikan harkat dan martabat mereka justru hilang. Padahal, hal itu merupakan kebutuhan fundamental dari korban untuk memenuhi hak untuk tahu (right to know) mereka.
Hak untuk tahu itu seharusnya dipenuhi oleh pemerintah selaku pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu dengan proses pengungkapan kebenaran. Di Aceh, sudah ada KKR Aceh. Namun, proses pengungkapan sejarahnya juga masih terkendala kemauan politik dan juga terbentur tarik-menarik kepentingan politik. Namun, Aceh memiliki modal yang kuat dengan keberadaan institusi itu untuk mengungkap kebenaran atau meluruskan sejarah masa lalu.
”Sampai hari ini, KKR Aceh belum merilis hasil pengungkapan kebenaran itu. Ada kekhawatiran terjadi guncangan di masyarakat karena penyebutan mereka yang disebut pelaku dan yang berasal dari institusi di pusat. Namun, kerja-kerja KKR Aceh ini juga penting untuk dibuka akuntabilitas dan transparansinya ke publik. Terutama untuk menjadi dasar pelaksanaan pemulihan hak-hak korban, misalnya membangun memorabilia sejarah,” ujarnya.
Memorabilia atau monumen peringatan sejarah kelam, lanjutnya, penting dibuat berdasarkan laporan yang akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan agar menjadi pelajaran bagi pemimpin di masa depan. Jika proses pemulihan hak-hak korban ini dilakukan secara hati-hati dan komprehensif, menurut dia, pada akhirnya korban bisa mendapatkan hak satisfaksi atau jaminan atas kepuasan penyelesaian karena hak dan martabat mereka dipulihkan.
”Bagi korban, pengungkapan kebenaran penting untuk meluruskan bahwa mereka bukan pelaku, melainkan korban kejahatan politik struktural,” ucapnya.
Baca juga: Yasonna Minta Dirjen HAM yang Baru Kawal Rekomendasi Tim PPHAM
Terkait dengan proses pelurusan sejarah ini, Wahyudi mengakui bahwa ada kekosongan payung hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk memunculkan RUU KKR, apalagi membahas legislasi itu di DPR saat ini, kemungkinannya kecil. Sebab, akan ada tarik-menarik kepentingan yang terlalu kuat di situ.
Dia mengusulkan agar pemerintah membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional dengan payung hukum peraturan presiden. Sebab, dalam putusan MK yang membatalkan UU KKR saat itu, mahkamah memberikan alternatif pembuatan payung hukum melalui kebijakan politik. Jika memang ada komitmen kuat dan serius dari pemerintah untuk membuat program penyelesaian nonyudisial ini secara lebih komprehensif dan substantif, opsi itu bisa diambil. Sebab, pembentukan KKR bisa menjadi proses pengungkapan sejarah, pelurusan sejarah, sehingga ada memori kolektif bagi masyarakat agar peristiwa tragis nan kelam itu tak terulang lagi di masa depan.
”Ada pula pilihan teknokratis untuk melakukan pelurusan sejarah dengan menugaskan kementerian terkait untuk melakukan pelurusan sejarah. Sehingga ada pengarusutamaan HAM dalam kurikulum pendidikan di sekolah,” katanya.