Komnas HAM Tetap Mendesak Penyelesaian Hukum Kasus HAM Masa Lalu
Meski negara telah mengakui sekaligus menyesalkan pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu, Komnas HAM tetap mendesak ada terobosan dalam penyelesaian secara hukum.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo menerima hasil rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
JAKARTA,KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai pengakuan negara atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat pada 12 peristiwa di masa lalu memperlihatkan adanya komitmen pemerintah sebagai pemangku kewajiban dalam pemulihan hak korban. Aturan pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Selain itu, meski negara telah mengakui sekaligus menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu, Komnas HAM tetap mendesak penegakan hukum bagi mereka yang terlibat pelanggaran HAM tersebut.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro melalui keterangan tertulis, Rabu (11/1/2023) malam, menyampaikan, Komnas HAM menyambut baik sikap negara terkait 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diselidiki oleh Komnas HAM.
Itu sesuai dengan amanat UU Pengadilan HAM, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat, dan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.
”Kami berpandangan bahwa hak korban atas pemulihan juga berlaku bagi korban peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah disidangkan di pengadilan. Sampai saat ini, para korban belum mendapatkan hak mereka atas pemulihan. Mereka adalah korban Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timur 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014,” katanya.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro berbicara dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2022).
Untuk menindaklanjuti rekomendasi pemulihan korban dari Tim Penyelesaian Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu secara Non-Yudisial (PPHAM), Komnas HAM membuka ruang bagi korban untuk mengajukan status sebagai korban pelanggaran HAM berat. Sesuai UU Pengadilan HAM, Komnas HAM berwenang untuk menyatakan seseorang sebagai korban Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat.
Komnas HAM berharap setelah ini ada langkah konkret tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD diminta merumuskan langkah konkret itu. Menurut dia, berbagai institusi, baik instansi pusat maupun daerah perlu mendukung kebijakan terkait laporan Tim PPHAM ini.
Penyelesaian hukum
Komnas HAM tetap mendesak ada terobosan dalam penyelesaian secara hukum. Atnike meminta Menko Polhukam Mahfud MD agar ada terobosan dalam penyelesaian secara hukum. Untuk itu, Mahfud perlu membangun koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat. Hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah rampung perlu dinaikkan statusnya ke penyidikan sampai disidangkan di pengadilan HAM.
Komnas HAM juga mendukung ada jaminan peristiwa pelanggaran HAM berat tidak terjadi di masa depan.
Caranya adalah dengan membangun sistem pemajuan dan penegakan HAM yang efektif. Ratifikasi seluruh instrumen HAM internasional, perubahan kebijakan di berbagai sektor dan tatanan kelembagaan pada institusi negara, dan peningkatan kapasitas penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan HAM.
Secara terpisah, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom menyampaikan, PGI juga mengapresiasi pernyataan resmi Presiden terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurut dia, hal itu langkah maju, bahkan lompatan besar pada penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.
Selama puluhan tahun, ada upaya menutupi dan bahkan menyangkal peristiwa pelanggaran HAM berat itu. Meski tidak disertai permohonan maaf, menurut dia, langkah itu sudah maju. Apalagi, ada pernyataan penyesalan yang di dalamnya juga bisa diartikan sebagai permohonan maaf.
Seorang aktivis dan sebuah spanduk yang dipasang dalam Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/12/2022).
”Kami apresiasi ada penegasan dari Presiden bahwa penyelesaian non-yudisial ini tidak menegasikan penyelesaian secara hukum. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk proses hukum selanjutnya,” katanya.
Dia mengimbau seluruh elemen bangsa untuk mengawal proses, baik penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat secara yudisial maupun non-yudisial itu.
Menurut dia, yang tak kalah penting juga perlu ada sebuah upaya pelurusan sejarah setelah pengakuan tersebut. Sebab, ada upaya sistematis dan terstruktur untuk membelokkan sejarah dan mengaburkan fakta pelanggaran HAM yang terjadi selama ini.
”Perlu ada memorialisasi atas pelanggaran HAM berat itu dalam bentuk statute sebagai peringatan kepada generasi berikutnya agar tidak terulang,” ucapnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Dalam Aksi Kamisan ke-742 yang bertepatan dengan awal September tersebut, disuarakan kembali "September Hitam" sebagai pengingat peristiwa kelam pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Indonesia yang terjadi pada bulan September.
Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bedjo Untung juga mengapresiasi pengakuan dan penyesalan resmi dari kepala negara itu.
Namun, menurut dia, langkah itu harus ditindaklanjuti dengan upaya pelurusan sejarah. Apalagi, untuk peristiwa pelanggaran HAM 1965-1966 sudah banyak dokumen, penelitian, dan publikasi yang diterbitkan, baik di dalam maupun luar negeri, untuk meluruskan sejarah tersebut. Menurut dia, upaya pelurusan sejarah penting untuk menghapuskan stigma dan diskriminasi yang selama ini membuat korban menderita.
”Ini adalah sebuah titik awal bahwa ada pengakuan resmi dari presiden sebagai kepala negara. Tetapi tentu tidak cukup sampai di situ, perlu ada langkah lainnya,” kata Bedjo saat dihubungi, Kamis (12/1/2023).
Bejo mengungkapkan, bagi korban, hal yang terpenting tidak hanya sekadar pemberian santunan atau bantuan sosial. Bagi mereka, negara secara struktural juga harus menghapuskan sejumlah aturan yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Aturan itu yang selama ini menjadi legitimasi bagi sebagian kelompok untuk mendiskriminasi korban pelanggaran HAM berat 1965-1966. Tanpa ada upaya tindak lanjut untuk menghapuskan aturan diskriminatif itu, dia khawatir langkah tersebut tidak akan berdampak signifikan untuk mengembalikan harkat dan martabat korban.