Pengakuan dan penyesalan negara atas terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu akan ditindaklanjuti dengan memulihkan hak para korban, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengakuan dan penyesalan negara atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat di 12 peristiwa masa lalu diapresiasi. Hal itu menjadi pemecah kebekuan atas kemandekan proses penyelesaian kasus-kasus tersebut. Selain itu, dapat menjadi langkah awal penyelesaian menyeluruh, termasuk mencegah peristiwa serupa terulang kelak.
”Tantangannya kemudian, bagaimana memastikan tindak lanjut dari pengakuan dan penyesalan dari Presiden itu melalui mekanisme penyelesaian yang menyeluruh. Agar pernyataan Presiden tak semata menjadi gula-gula politik jelang Pemilu 2024,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar, Rabu (11/1/2023).
Menurut dia, pengakuan dan penyesalan negara yang disampaikan Presiden Joko Widodo seharusnya hanya ditempatkan sebagai proses awal dari rangkaian penyelesaian yang menyeluruh. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial prinsipnya melengkapi, bukan menggantikan penyelesaian dari jalur yudisial. Idealnya, ada pendekatan keadilan transisional melalui serangkaian proses, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
”Negara juga perlu memenuhi hak korban atas kebenaran sebagai mekanisme dari hak untuk tahu atas peristiwa yang terjadi. Tak hanya bagi korban, tetapi juga masyarakat. Laporan dari Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) perlu diteruskan dan dikembangkan sebagai laporan yang utuh dan akuntabel. Ini bisa disusun secara partisipatif, sebagai sebuah narasi sejarah baru bagi Indonesia,” katanya.
Lebih lanjut, Wahyudi meminta agar pemulihan korban diimplementasikan secara komprehensif. Pemulihan hak korban harus mengacu pada prinsip mengembalikan martabat korban pada situasi semula sebelum terjadinya pelanggaran. Pemulihan tak semata-mata bentuknya rehabilitasi sosial dan ekonomi, tetapi juga harus memberikan jaminan kepuasan bagi korban, seperti pemulihan reputasi mereka.
Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu setelah menerima rekomendasi Tim PPHAM di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu. Tim yang dipimpin Makarim Wibisono ini dibentuk Presiden dan mulai bekerja sejak September 2022.
”Dengan pikiran jernih dan hati tulus, saya sebagai kepala negara mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat,” kata Presiden.
Penyelesaian yudisial
Presiden juga bersimpati dan berempati kepada korban dan keluarga korban. ”Karena itu, saya dan pemerintah berusaha memulihkan hak para korban secara adil dan bijak, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” ujarnya.
Presiden juga menegaskan, pemerintah akan berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tak terulang di masa datang. ”Semoga upaya ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Presiden.
Seusai pertemuan di Istana Merdeka, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, ke depan, Presiden akan mengundang menteri-menteri terkait, seperti Menteri Sosial; Menteri PUPR; Menteri Keuangan; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; serta Panglima TNI dan Kapolri. Mereka akan diberi tugas berdasarkan rekomendasi tim PPHAM.
Terkait terobosan upaya hukum dalam penanganan kasus- kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial setelah berkali- kali gagal, Mahfud enggan menjawab. ”Biar DPR yang memutuskan kalau itu. Karena dulu, kan, yang buat undang-undang (UU Pengadilan HAM) itu, kan, DPR. Kita lapor saja ini tidak bisa dilaksanakan karena dari sudut prosedur acaranya berbeda,” ujarnya.
Dari ringkasan eksekutif laporan tim PPHAM yang diperoleh Kompas, total ada 11 poin rekomendasi tim kepada Presiden. Selain memberikan rekomendasi kepada Presiden sebagai kepala negara untuk menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu, tim merekomendasikan pemulihan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.
Selain itu, tim merekomendasikan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa. Rekomendasi lainnya, membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Sebanyak 11 rekomendasi itu mengacu pada temuan dan analisis tim. Disebutkan bahwa tim menemukan secara umum tiga pola yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat, yaitu tindakan aktif aktor negara, pengabaian aktor negara, dan saling pengaruh di antara keduanya.
Adapun faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM yang berat disebutkan sebagai kelindan dari berbagai faktor. Pertemuan antara faktor kesadaran ideologis dan kepentingan material bisa menjadi penyebab. Dua hal itu mewujud dalam kekuasaan dan persoalan konkret kehidupan yang terkait dengan ekonomi, politik, dan sosial. Kemudian, posisi negara dalam menjalankan kebijakan dan pengaturan berbentuk tindakan terkait berbagai situasi itu, yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Tindakan negara tersebut, dalam temuan lapangan tim, menjadi penyebab jatuhnya korban.
Tak cukup pengakuan
Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar mengatakan, pengakuan dan penyesalan kepala negara terhadap peristiwa HAM berat masa lalu bukanlah hal baru. Menurut dia, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid pernah meminta maaf kepada korban walaupun spesifik hanya untuk korban Peristiwa 1965-1966. Terlepas dari itu, menurut dia, tak cukup sekadar pengakuan dan penyesalan dari negara. Pengakuan dan penyesalan harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Herlambang Perdana, juga menekankan pentingnya tindak lanjut setelah pengakuan dan penyesalan negara. Pernyataan Presiden dinilainya sebagai langkah baik dan komitmen negara diharapkan tak berhenti pada retorika politik. Pasalnya, retorika politik kekuasaan atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat justru akan menambah luka dan duka bagi korban dan keluarganya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menghargai sikap Presiden yang mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu. Pernyataan tersebut dinilainya sudah lama tertunda mengingat penderitaan para korban yang dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade.
”Namun, pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Sederhananya, pernyataan Presiden tak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas,” katanya.
Dia juga menyayangkan langkah pemerintah yang hanya memilih 12 peristiwa sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Sementara itu, empat pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah diadili di pengadilan dikesampingkan, yaitu kependudukan Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, Peristiwa Paniai, dan Peristiwa Abepura. Tidak dimasukkannya empat kasus HAM berat itu seolah pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses hukumnya telah membebaskan semua terdakwa dalam persidangan sebelumnya.