Komitmen Negara Terkait Kasus HAM Masa Lalu Jangan Sebatas Retorika
Pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat masa lalu perlu ditindaklanjuti. Komitmen jangan berhenti pada retorika politik.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengakuan adanya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu oleh Presiden Joko Widodo diapresiasi. Hal ini diharap menjadi momentum untuk mengubah situasi mendasar dan menyeluruh problem impunitas atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Herlambang Perdana, menilai pengakuan tersebut adalah langkah yang baik yang dilakukan oleh Presiden RI. Langkah baik ini perlu menjadi momentum untuk mengubah situasi secara mendasar dan menyeluruh atas problem impunitas atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Herlambang menambahkan, pernyataan Presiden tersebut merupakan pengakuan negara atas peristiwa-peristiwa keji yang tak bisa diterima oleh masyarakat di seluruh muka bumi. Oleh karena itu, komitmen negara tak boleh berhenti di retorika politik. Retorika politik kekuasaan atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat justru akan menambah luka dan duka bagi korban dan keluarganya.
”Pertanyaan kemudian, apa tindak lanjut yang menjadi mendasar dilakukan oleh pemerintahan Jokowi saat ini? Pertama, pemulihan korban dan keluarga korban. Upaya ini mendesak, mengingat usia korban, keterbatasan kondisi, dan lainnya. Karena itu, diperlukan payung hukum yang kuat untuk menegaskan proses pemulihan tersebut. Payung hukum apa, seharusnya ini di level undang-undang dan harus disegerakan,” tuturnya.
Pemerintah juga harus menghentikan segala bentuk kekerasan dan pendekatan-pendekatan keamanan yang eksesif yang kerap mengorbankan jiwa, baik di Papua maupun sektor agraria. Tanpa upaya ini, kekerasan berulang dan potensi berulangnya pelanggaran HAM berat menjadi lebih tinggi.
Selain itu, Herlambang menilai Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu dilibatkan.
Inisiatif maju yang dilakukan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh juga semestinya dikawal. Dengan demikian, lanjutnya, tidak lagi ada penghalang dalam menuntaskan mandat mereka memaksimalkan upaya perlindungan hukum dan HAM, termasuk kebijakan penganggaran, menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang selama ini kerap diabaikan begitu saja oleh pemerintahan saat ini.
Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara menyampaikan pengakuan atas terjadinya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa di masa lalu. Presiden juga menyesalkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.
Sebanyak 12 peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
”Saya menaruh simpati dan empati mendalam kepada korban dan keluarga korban. Karena itu, saya dan pemerintah berusaha memulihkan hak para korban secara adil dan bijak, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” tambahnya setelah menerima rekomendasi dari tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Pemerintah juga akan berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak terulang di Indonesia di masa datang. Menkopolhukam juga diminta mengawal kedua upaya tersebut.
Seusai pertemuan di Istana Merdeka, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan tindak lanjut ke depan. ”Presiden akan mengundang menteri-menteri terkait, seperti Menteri Sosial, Menteri PUPR, Menteri Keuangan, Panglima TNI, Kapolri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan lainnya. Para menteri ini akan diberi tugas berdasarkan rekomendasi tim PPHAM,” ujarnya.