Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di 12 Peristiwa Masa Lalu
Negara akhirnya mengakui adanya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu. Pemulihan hak korban dijanjikan, demikian pula upaya mencegah hal serupa terulang. Proses penegakan hukum pun dijanjikan tetap berlanjut.
JAKARTA,KOMPAS - Negara mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat pada 12 peristiwa yang terjadi antara 1965 hingga 2003. Negara berjanji akan memulihkan hak para korban sedangkan proses penegakan hukum akan tetap dilanjutkan.
Presiden Joko Widodo menyampaikan pengakuan ini setelah menerima rekomendasi dari tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Hadir pula Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan delapan anggota tim PPHAM yakni Makarim Wibisono, Ifdhal Kasim, Suparman Marzuki, Mustafa Abubakar, Rahayu, KH As'ad Said Ali, Letnan Jenderal Purn Kiki Syahnakri, dan Komaruddin Hidayat.
"Dengan pikiran jernih dan hati tulus, saya sebagai kepala negara mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat," tutur Presiden Jokowi.
Sebanyak 12 peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
"Saya menaruh simpati dan empati mendalam kepada korban dan keluarga korban. Karena itu saya dan pemerintah berusaha memulihkan hak para korban secara adil dan bijak, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," tambahnya.
Presiden juga menegaskan, pemerintah akan berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak terulang di Indonesia di masa datang. Menko Polhukam juga diminta mengawal kedua upaya tersebut. "Semoga upaya ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," tambah Presiden.
Mahfud MD menegaskan, kerja tim PPHAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2022 ini tidak menegasikan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yuridis. "Penyelesaian secara yuridis sudah kita upayakan dan hasilnya seperti kita tahu semuanya, untuk empat kasus yang sudah dibawa ke MA, semua bebas, karena bukti-buktinya secara hukum acara tidak cukup," tambahnya.
Meski pelanggaran HAM tak belum terbukti, Mahfud menegaskan peristiwa tersebut tetap sebagai bentuk kejahatan dan karenanya, proses hukum atas kejahatan tersebut disebutnya sudah dilakukan.
Baca juga: Kegagalan Masa Lalu Membayangi Penegakan Hukum Kasus HAM Paniai
Selain itu, pelanggaran HAM berat, sesuai Pasal 46 Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia, harus diproses secara yudisial, dan kasusnya tak mengenal kadaluarsa. Karenanya, kata Mahfud, pemerintah akan terus mengusahakan dan mempersilakan Komnas HAM serta DPR untuk melanjutkan hal ini.
Disampaikan pula, penyelesaian oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga mengalami jalan buntu. Sebab, terjadi saling curiga di tengah masyarakat. Karenanya, menurut Mahfud, Presiden membentuk tim PPHAM untuk memeriksa dan menyelidiki ulang serta mencari kemungkinan penyelesaian di tengah situasi ekonomi, politik, budaya yang berkembang sekarang ini.
Keberadaan maupun hasil kerja tim PPHAM juga ditegaskan tidak untuk menghidupkan kembali komunisme. Sebab, larangan komunisme sudah ditegaskan dalam Tap MPRS Tahun 1966. Selain itu, korban yang disantuni tak hanya dari pihak yang disebut menjadi bagian dari PKI, tetapi juga termasuk para ulama dan keturunannya yang jadi korban dari PKI. Dicontohkan, semua korban dan keluarga yang disantuni di Aceh adalah Muslim.
Baca juga: Pemerintah Janji Kawal Implementasi Rekomendasi Tim PPHAM
Seusai pertemuan di Istana Merdeka, Mahfud menjelaskan, ke depan, Presiden akan mengundang menteri-menteri terkait seperti Menteri Sosial, Menteri PUPR, Menteri Keuangan, Panglima TNI, Kapolri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan lainnya. Para menteri ini akan diberi tugas berdasarkan rekomendasi tim PPHAM.
Terkait terobosan upaya hukum dalam penanganan pelanggaran HAM berat secara yudisial setelah berkali-kali gagal, Mahfud enggan menjawab. "Biar DPR yang memutuskan kalau itu. Karena dulu 'kan yang buat undang-undang itu 'kan DPR. Kita lapor saja ini tidak bisa dilaksanakan karena dari sudut prosedur acaranya berbeda," tambahnya.
Rekomendasi Tim PPHAM
Selain memberikan rekomendasi pada Presiden sebagai Kepala Negara untuk menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu, Tim PPHAM merekomendasikan sepuluh poin lainnya pada Presiden.
Sepuluh poin dimaksud, menyusun ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa, memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat lainnya yang tidak masuk dalam cakupan mandat Tim PPHAM, mendata kembali korban, serta memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.
Baca juga: Kontras Kritik PPHAM Kesampingkan Empat Kasus HAM Berat Masa Lalu
Selain itu, memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya. Untuk ini, perlu dilakukan pembangunan upaya-upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural. Kemudian, melakukan resosialisasi korban dengan masyarakat secara lebih luas,
Membangun memorabilia
Poin rekomendasi lainnya, membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelangaran HAM yang berat melalui: kampanye kesadaran publik, pendampingan masyarakat dengan terus mendorong upaya untuk sadar HAM, sekaligus untuk memperlihatkan kehadiran negara dalam upaya pendampingan korban HAM, peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama untuk mengarusutamakan prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari, dan membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri.
Selain itu, membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan. Selanjutnya, melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM. Upaya ini meliputi ratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru. Rekomendasi terakhir, membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM.
Sebelas rekomendasi tim PPHAM itu mengacu pada temuan dan analisis tim. Dalam berkas ringkasan eksekutif tim PPHAM yang diterima Kompas disebutkan, tim menemukan secara umum tiga pola yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu di Indonesia, yaitu tindakan aktif aktor negara (state actor by commission); tindakan pengabaian aktor negara (state actor by omission); dan tindakan saling pengaruh antara keduanya.
Korban yang ditemukan oleh Tim PPHAM kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: korban langsung, korban tidak langsung, dan korban yang tidak teridentifikasi (unidentified victims). Kategori korban menunjukkan bahwa terdapat korban yang sesungguhnya berasal dari komunitas yang sama sekali tidak terkait dengan konflik maupun isu politik yang ada di balik suatu peristiwa.
Adapun faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM yang berat disebutkan sebagai kelindan dari berbagai faktor. Pertemuan antara faktor kesadaran ideologis dan kepentingan material bisa menjadi penyebab. Dua hal itu mewujud dalam kekuasaan dan persoalan konkrit kehidupan yang terkait dengan ekonomi, politik, dan sosial. Kemudian posisi negara dalam menjalankan kebijakan dan pengaturan berbentuk tindakan terkait berbagai situasi itu yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
"Tindakan negara itu, dalam temuan lapangan, menjadi penyebab jatuhnya korban," demikian dikutip dari ringkasan eksekutif tim PPHAM.
Baca juga: Tegakkan Hukum dalam Penanganan Kasus HAM Berat Masa Lalu
Tindakan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu tindakan negara yang secara normatif merupakan bagian dari tindakan pelanggaran HAM yang berat. Tindakannya antara lain pembunuhan, penyiksaan, penculikan atau penghilangan orang secara paksa, pengusiran, penganiayaan dan/atau kekerasan, serta perkosaan dan kekerasan seksual lainnya.
Kategori kedua, tindakan lainnya yang meneguhkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Tindakannya antara lain pengambilalihan properti secara paksa, kerja paksa, penjarahan, perusakan, pembakaran properti (rumah, maupun rumah ibadah), penghilangan status kewarganegaraan, pengancaman, pemberian stigma dan diskriminasi sistematis, serta penghilangan hak-hak sipil politik dan sosial-ekonomi.
Akibat tindakan-tindakan tersebut, para korban mengalami kematian, luka-luka fisik, kerugian material, tekanan mental/psikologis, kerugian sosial, dan stigma dan diskriminasi.