Korban Talang Sari, 33 Tahun Menanti Tanggung Jawab Negara
Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM turun ke Lampung untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus Talangsari, Way Jepara, Lampung Timur, secara non-yudisial. Para korban Talangsari tetap menuntut penegakan hukum.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia turun ke Lampung untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus Talangsari, Way Jepara, Lampung Timur, secara non-yudisial. Sementara itu, para korban Talangsari tetap menuntut negara bertanggung jawab dan mengadili aparat yang terlibat dalam penembakan warga kelompok Anwar Warsidi pada 7 Februari 1989.
Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) Makarim Wibisono menuturkan, tim bekerja berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di masa lalu. Pihaknya diminta memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo terkait pemulihan korban dan keluarganya serta pencegahan kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Air.
Menurut dia, pihaknya telah berdiskusi dan mendengar langsung kesaksian para korban Talangsari di Lampung Timur. Selain itu, Tim PPHAM juga telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membahas penyelesaian kasus Talangsari secara non-yudisial.
”Ini tidak menutup mengenai proses penyelesaian secara yudisial. Kami ingin mengatasi masalah ini dari perspektif korban,” kata Makarim saat acara diskusi terpumpun di Bandar Lampung, Selasa (15/11/2022).
Menurut dia, Tim PPHAM akan tetap mendorong penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari. Akan tetapi, upaya penyelesaian secara non-yudisial ini diharapkan menjadi alternatif agar hak-hak para korban pelanggaran HAM segera bisa diberikan.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung Edi Arsadad menyatakan, pihaknya tetap menuntut penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari. Ia menyatakan siap menunjukkan sejumlah bukti terkait keterlibatan aparat dalam pembantaian warga kelompok Anwar Warsidi pada 7 Februari 1989.
Sampai hari ini, pihak yang telah diproses secara hukum dan dinyatakan bersalah baru dari kelompok Anwar Warsidi. Sementara keterlibatan pihak militer yang ketika itu berada di bawah komando Komandan Korem 043 Garuda Hitam tidak pernah diusut.
Ia mengungkapkan, ada 96 korban Talangsari dan keluarganya yang saat ini masih hidup dalam stigma dan diskriminasi. Selain belum mendapatkan hak atas tanah, para korban juga kerap tidak tersentuh bantuan pemerintah. Mereka juga masih menanggung stigma sebagai bagian dari kelompok gerakan pengacau keamanan.
Seperti diketahui, operasi militer dilakukan pada 7-8 Februari 1989 di Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara (saat itu Lampung Tengah). Dalam operasi militer tersebut dilaporkan 31 orang tewas, termasuk Warsidi. Dari pihak militer, Kapten Soetiman yang kala itu menjabat Danramil Way Jepara juga dilaporkan tewas.
Adapun, berdasarkan investigasi oleh Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Smalam), jumlah korban meninggal mencapai 246 orang. Para korban bukan hanya dari kelompok Warsidi, tapi juga warga dari desa-desa sekitar.
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung Cik Ali menilai, penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara non-yudisial justru melemahkan upaya penyelesaian secara hukum yang selama ini dituntut oleh para korban. Hal itu juga menunjukkan kelemahan negara dalam menindak pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Mereka juga masih menanggung stigma sebagai bagian dari kelompok gerakan pengacau keamanan.
Padahal, kata dia, Komnas HAM telah merekomendasikan agar pemerintah dan DPR membentuk peradilan HAM untuk mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun, hingga kini, para pelaku pelanggaran HAM berat di Tanah Air tidak pernah diusut.
Ia menilai, pemerintah tetap mempunyai kewajiban pemenuhan hak-hak dasar warga di Talangsari. Sebagai warga negara, mereka mempunyai hak-hak yang sama untuk mendapat pendidikan hingga bantuan sosial dari pemerintah. Sementara, hak-hak mereka sebagai korban pelanggaran HAM adalah mendapat pengakuan negara dan penegakan hukum.