Anggota DPR: Putusan MK Tak Berlaku untuk Pimpinan KPK Saat Ini
Putusan MK yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun dinilai berlaku untuk pimpinan KPK periode mendatang. Pemberlakuan norma baru dalam perumusan undang-undang membutuhkan ketentuan peralihan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengucapan putusan empat perkara pengujian undang-undang di MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/2/2019). MK dalam putusannya menolak seluruh gugatan permohonan pengujian undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara, Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Profesi, Gelar Profesi dan Asosiasi serta Perseroan Terbatas.
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi lima tahun, dari sebelumnya empat tahun, dinilai tak dapat diberlakukan untuk pimpinan lembaga antirasuah periode ini. Ketua KPK Firli Bahuri dan pimpinan lainnya sebaiknya tetap berhenti pada Desember 2023 atau enam bulan lagi sebab putusan MK dinilai tidak dapat berlaku surut.
Pendapat demikian diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, Sabtu (27/5/2023). Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan Nurul Ghufron, wakil ketua KPK saat ini, yang mempersoalkan Pasal 34 Undang-Undang KPK yang mengatur masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun.
Taufik Basari juga menyanggah pendapat Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso yang menyatakan bahwa putusan tersebut berlaku untuk pimpinan KPK yang sedang menjabat. Menurut Taufik, keterangan juru bicara MK tersebut bukanlah hukum sebab yang seharusnya dirujuk adalah isi putusan, baik amar maupun pertimbangannya.
Dalam pertimbangan putusan MK poin 3.17 disebutkan tentang perlunya kesegeraan MK memutus pengajuan permohonan yang diajukan oleh Nurul Ghufron. Perlu ada kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan mengingat masa jabatan pimpinan MK saat ini akan segera berakhir enam bulan lagi.
”(Tetapi) Tidak ada kalimat tegas bahwa putusan ini berakibat pada perpanjangan masa jabatan pada periode ini,” tegas Taufik Basari.
Sebelumnya, Fajar mengungkapkan bahwa putusan MK langsung berlaku prospektif, memiliki kekuatan mengikat sejak putusan selesai diucapkan. Pertimbangan keberlakuan putusan juga ada di paragraph [3.17] halaman 11 yang intinya MK memutus perkara tersebut agar putusan MK memberikan kepastian dan kemanfaan berkeadilan khususnya bagi pemohon (Nurul Ghufron) dan keseluruhan pimpinan MK saat ini.
Dengan demikian, Fajar mengungkapkan, masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang selama satu tahun ke depan hingga genap menjadi lima tahun masa jabatannya atau sesuai dengan putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022.
Namun, menurut Taufik Basari, putusan MK tersebut semestinya berlaku untuk pimpinan KPK pada periode mendatang. Sebab, pengangkatan pimpinan KPK saat ini pada 3,5 tahun lalu adalah untuk masa jabatan 4 tahun. Dengan memberlakukan putusan masa jabatan selama lima tahun untuk pimpinan KPK periode ini, sama artinya dengan membatalkan keputusan yang dibuat sebelumnya sehingga membuat putusan MK tersebut berlaku surut.
Pemberlakuan norma baru dalam sebuah perumusan undang-undang biasanya membutuhkan ketentuan peralihan. ”Yang menjadi masalah adalah MK yang semestinya menjadi negatif legislator, tetapi dalam putusan ini bertindak sebagai positif legislator. Akibatnya terdapat norma baru ciptaan putusan MK. Jika konsisten pada asas non-retroaktif, putusan MK ini baru berlaku pada keputusan pemilihan pimpinan KPK periode ke depan,” ungkapnya.
Ia juga khawatir putusan MK tersebut berdampak buruk terhadap sistem pembuatan legislasi dan sistem pengujian produk legislasi yang tak lagi memuat check and balances. Putusan ini telah menjadikan MK memiliki fungsi pembuat legislasi (positive legislator) karena telah melahirkan norma baru yang semestinya dimiliki oleh badan legislasi yaitu DPR yang disetujui bersama-sama dengan Presiden.
Pemberlakuan norma baru dalam sebuah perumusan undang-undang biasanya membutuhkan ketentuan peralihan.
"Open legal policy"
Secara terpisah, MK juga diingatkan untuk tidak bermain-main dalam menerapkan perangkat atau prinsip open legal policy (kebijakan hukum yang terbuka) dalam pengujian sebuah norma undang-undang. Suatu hal dinyatakan sebagai open legal policy menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Jika MK ingin menerabas dengan memasuki wilayah tersebut, harus ada alasan yang sangat luar biasa untuk kepentingan-kepentingan yang luar biasa.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengingatkan hal tersebut dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum UGM, Jumat (26/5/2023). Zainal menilai, putusan MK terhadap pengujian konstitusionalitas norma masa jabatan pimpinan KPK yang diajukan Nurul Ghufron sangat rancu.
Berdasarkan riset yang dilakukannya, setidaknya ada 30 putusan MK yang mengandung open legal policy di mana kebijakan hukum terbuka itu selalu dianggap milik pembentuk undang-undang. Namun, apabila ada kepentingan yang luar biasa, MK akan menerabasnya. MK senantiasa bilang, sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, bukan penyalahgunaan wewenang, tidak bertentangan dengan UUD 1945, tidak menegasikan prinsip-prinsip UUD 1045, serta tidk bertentangan dengan kedaulatan rakyat, tidak dilakukan secara sewenang-wenang, dan tidak melampaui kewenangan, maka hal itu tidak akan dianggap sebagai open legal policy yang bisa diterabas.
”Cuma belakangan ini saya tidak tahu lagi dengan MK, khususnya putusan (pengujian) UU KPK (Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi) kemarin. Sesuatu yang sering kali dibahasakan oleh MK dengan open legal policy, dalam kaitannya dengan masa jabatan, tiba-tiba diterabas oleh MK dengan alasan yang sangat rancu. Saya mulai khawatir, MK dengan mudah mengubah standar open legal policy-nya. Ini terjadi di kasus KPK,” ujarnya.
Ia melanjutkan, ”Bagaimana mungkin tiba-tiba dianggap ada ketidakadilan yang intolerable, terhadap Ghufron, karena masa jabatannya empat tahun sedangkan lembaga negara lain lima tahun. Ini lucu sekali. Karena kalau standar itu diberlakukan, banyak sekali lembaga yang harus diperbaiki. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), kan tiga tahun,” ungkapnya.
Putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK tersebut membuat Zainal Arifin makin khawatir dengan putusan pengujian sistem pemilu proporsional terbuka. Kebanyakan ahli, termasuk Titi Anggraini, Zainal Arifin sendiri, Charles Simabura, dan lainnya mengatakan bahwa sistem pemilu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan karena merupakan open legal policy.
”Cuma saya khawatir dengan logika itu sekarang. Karena ternyata mudah sekali untuk diubah, mudah sekali untuk di-shifting. Misalnya dengan tiba-tiba MK bilang ada ketidakadilan yang intolerable atau ini bertentangan dengan kedaulatan rakyat, ya sebenarnya ini bisa menjadi berbeda dengan putusan MK sebelumnya (tentang sistem proporsionalitas terbuka),” ujar Zainal.
Untuk itu, ia mengingatkan agar perangkat open legal policy tidak dimain-mainkan seperti dalam putusan UU KPK.