Karpet Merah untuk Kerabat di Pemilu 2024
Sejumlah parpol mendaftarkan kerabat dari pimpinan parpol yang tengah menjabat di eksekutif ataupun legislatif sebagai bakal caleg. Strategi yang dinilai sebagai jalan pintas parpol untuk meraup suara.
JAKARTA,KOMPAS - Politik kekerabatan dalam pencalonan anggota legislatif kembali menonjol menjelang Pemilu 2024. Anggota keluarga sejumlah pimpinan partai politik didaftarkan sebagai bakal calon anggota legislatif. Alih-alih menjalankan fungsi kaderisasi, partai politik dinilai cenderung menempuh jalan pintas dengan mencalonkan tokoh yang sudah memiliki modal sosial dan finansial guna mengoptimalkan pemenangan pemilu.
Keberadaan kerabat sejumlah pimpinan parpol dalam bursa bakal calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkuak sepanjang pendaftaran bakal caleg ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam dua pekan terakhir.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
PDI Perjuangan (PDI-P), misalnya, mendaftarkan Pinka Hapsari, anak Ketua DPP PDI-P yang juga Ketua DPR Puan Maharani. Partai Gerindra juga mendaftarkan Titiek Soeharto, mantan istri Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dari Partai Golkar, tercatat nama Atalia Praratya, istri Gubernur Jawa Barat sekaligus Wakil Ketua Umum Golkar Ridwan Kamil. Adapun Partai Amanat Nasional (PAN) mendaftarkan Futri Zulya Savitri atau Putri Zulkifli Hasan, anak Ketua Umum PAN yang juga Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, serta Yane Ardian Rachman, istri Wali Kota Bogor, Jawa Barat, sekaligus Ketua DPP PAN, Bima Arya Sugiarto.
Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily membenarkan, partainya mendaftarkan Atalia sebagai bakal caleg DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat I (Kota Bandung dan Kota Cimahi). Atalia direkomendasikan Ridwan Kamil yang telah menjadi kader Golkar sejak Januari 2023.
”Kami memang meminta kepada Pak Emil (Ridwan Kamil) untuk merekomendasikan siapa figur-figur yang dinilai memiliki potensi untuk mendapatkan suara untuk Partai Golkar di Jawa Barat, salah satunya Ibu Atalia,” kata Ace saat dihubungi, Senin (15/5/2023).
Ia tidak memungkiri, perekrutan tokoh yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi parpol merupakan salah satu langkah yang efektif untuk mendongkrak perolehan suara partai. Akan tetapi, Atalia dipilih bukan hanya karena dia merupakan istri Kamil, melainkan juga tokoh penggerak berbagai aktivitas sosial di Jawa Barat.
Selain itu, Atalia disebut tetap mengikuti proses seleksi sesuai mekanisme partai.
Baca juga: Jatuh Bangun Caleg Pendatang Baru Menembus Parlemen
Mirip dengan Golkar, Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, partai mendaftarkan Putri Zulkifli Hasan dan Yane Ardian Rachman karena keduanya dipandang sebagai tokoh potensial. PAN disebutnya lebih dulu aktif mengajak mereka untuk bergabung dalam daftar bacaleg PAN.
Menurut rencana, Putri akan maju sebagai caleg di Dapil Lampung I (Kabupaten Lampung Barat, Lampung Selatan, Pesawaran, Pesisir Barat, Pringsewu, Tanggamus, serta Kota Bandar Lampung dan Metro), dapil yang sebelumnya menjadi arena pertarungan Zulkifli Hasan, ayahnya. Pada Pileg 2024, Zulkifli tak lagi maju di dapil tersebut karena akan maju di Dapil Jawa Tengah I jika dibutuhkan. Adapun Yane bakal berkontestasi di Dapil Jawa Barat III (Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor), wilayah yang sebagian dipimpin Bima Arya.
Eddy mengungkapkan, kesediaan Putri dan Yane menjadi bacaleg PAN patut disyukuri. Sebab, tak mudah bagi partai mencari perempuan politisi, apalagi yang sudah memiliki modal sosial kuat di dapilnya masing-masing.
”Itulah pertimbangan kami. Mereka adalah perempuan politisi yang punya modal sosial sehingga insya Allah bisa bertarung dengan kapasitasnya sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Pindah Partai Politik, Kursi Tak Hilang
Adapun Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengatakan, pendaftaran Pinka sebagai wujud komitmen partai untuk mendorong kader milenial dan perempuan masuk ke parlemen. Sekalipun ia merupakan putri sulung Puan Maharani sekaligus cucu Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Pinka tak mendapatkan perlakuan istimewa. Ia juga harus mengikuti mekanisme pengaderan, salah satunya sekolah partai untuk bakal caleg.
”Di PDI Perjuangan, meskipun bisa jadi memiliki hubungan kekerabatan, prinsipnya semua kader ideologis. Semua diajarkan materi yang sama dalam pendidikan kader. Jadi, mereka merupakan hasil proses seleksi yang berlaku di partai,” kata Arif.
Ia menambahkan, dalam sistem pemilu proporsional terbuka, semua caleg baik yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi parpol maupun tidak harus bertarung di arena yang sama. Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa partai juga menghitung modal sosial kerabat petinggi parpol yang memberikan pengaruh tersendiri dalam perolehan suara.
”Semua itu ada di dalam kalkulasi politik di mana partai harus menang di setiap dapil, apalagi dapilnya di Jawa Tengah,” ujar Arif.
Baca juga: Caleg Pesohor, dari Panggung Turun ke Kampung
Jalan pintas
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes melihat, politik kekerabatan masih terjadi karena Pemilu 2024 bakal menjadi kontestasi yang kompetitif dan pertarungan sengit antarparpol.
Parpol pun cenderung masih mengalami kesulitan untuk mencari caleg yang memiliki modal sosial dan finansial yang mumpuni untuk berkampanye, apalagi bisa berkontribusi pada elektabilitas partai.
”Kondisi-kondisi itu membuat parpol akhirnya menempuh cara instan, jalan pintas, untuk mencalonkan tokoh-tokoh yang punya kekerabatan politik dengan kepala daerah atau anggota legislatif yang tengah menjabat,” kata Arya.
Melalui pencalonan mereka, tambah dia, parpol mendapatkan sejumlah keuntungan selain dari segi popularitas tokoh. Figur kerabat petinggi parpol, kepala daerah, atau anggota legislatif juga memiliki akses pada sumber finansial untuk membiayai kampanye mereka. Dengan demikian, kans untuk memperoleh suara yang bisa dikonversikan pada perolehan kursi partai akan lebih besar dibandingkan dengan caleg berlatar belakang lainnya.
Baca juga: Jalan Aktivis ”Jalanan” Menuju Senayan
Namun, di sisi lain, menonjolnya politik kekerabatan menunjukkan bahwa sistem pengaderan partai belum mampu memberikan kesempatan kepada para kader untuk mengembangkan karier. Tidak ada mekanisme pemberian penghargaan kepada kader yang sudah lama membangun karier di partai. Keberadaan mereka bisa dengan mudah digantikan oleh politisi baru yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi parpol.
”(Jika kondisi ini terus terjadi), pelembagaan partai tidak akan bisa dilakukan dengan baik, sistem kaderisasi internal juga tidak bekerja,” katanya.
Verifikasi bakal caleg
Sementara itu, KPU diminta transparan dalam proses verifikasi administrasi bakal caleg. Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU mesti dibuka agar publik dapat memberikan masukan terkait rekam jejak para bakal caleg yang telah diajukan parpol ke KPU. Transparansi diperlukan agar tak terjadi kesalahan, termasuk mencegah kemungkinan bakal caleg ganda atau parpol mendaftarkan bakal caleg yang sama.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, mengatakan, setiap dokumen persyaratan bakal caleg yang diajukan parpol peserta Pemilu 2024 perlu diverifikasi secara detail oleh KPU. Selain melihat kesesuaian di internal parpol, KPU juga mesti mengecek daftar bakal caleg di lintas parpol untuk menghindari nama ganda.
Ia juga meminta KPU membuka Silon kepada publik. Keterbukaan ini dapat membantu kerja KPU karena membuka ruang masyarakat memberikan masukan terhadap para bakal caleg yang diajukan parpol.
Sebelumnya, mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang kini merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar dilaporkan elite Partai Gerindra telah didaftarkan sebagai bakal caleg DPR dari Gerindra. Ia akan bertarung di Dapil Jawa Barat VII yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta.
Namun, pada Minggu (14/5), Partai Golkar mengaku masih mendaftarkan Dedi sebagai bakal caleg dari partai berlambang pohon beringin itu. Golkar pun masih mendaftarkannya di Dapil Jawa Barat VII. Alasan Golkar masih mendaftarkan Dedi karena menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, partai belum menerima surat pengunduran diri Dedi. Golkar pun berencana meminta klarifikasi dari Dedi soal keputusannya maju dari Partai Gerindra. Untuk ini, Golkar terus berupaya menghubungi Dedi untuk mendengarkan klarifikasi pengunduran diri tersebut.
”Kami punya prosedur dan mekanisme internal dalam pengunduran diri sebagai kader Golkar. Keputusan akhir ada pada ketua umum (Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto),” kata Doli.
Baca juga: Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Anggota KPU, Idham Holik, menegaskan, parpol dilarang mengajukan bakal caleg yang sama dengan parpol lain. ”Apabila seorang bakal caleg hendak maju dengan parpol berbeda, bakal caleg wajib menyerahkan pengunduran diri kepada parpol lamanya,” ujar Idham.
Pasal 240 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Pasal 12 Peraturan KPU (PKPU) No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota mengatur bahwa bakal caleg hanya dapat dicalonkan oleh satu parpol peserta pemilu untuk satu lembaga perwakilan di satu dapil.
Idham melanjutkan, dalam kurun 15 Mei-23 Juni 2023 KPU akan melakukan verifikasi administrasi, termasuk mengecek keabsahan dokumen persyaratan bakal caleg. Dalam proses verifikasi administrasi itu pula KPU akan meneliti ada tidaknya nama ganda dalam daftar bakal caleg yang didaftarkan oleh parpol.
”Jika berdasarkan hasil klarifikasi memang benar yang bersangkutan belum mengundurkan diri dari status keanggotaan parpol yang lama atau melanggar PKPU No 10/2023, bakal calon itu akan dinyatakan TMS (tidak memenuhi syarat),” ucapnya.
Baca juga: Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol
Pengajar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengingatkan, selain potensi bakal caleg ganda, KPU juga harus meneliti para bakal caleg yang pernah terjerat pidana. Kecermatan dalam verifikasi juga penting untuk melihat kemungkinan berkas persyaratan yang diserahkan bakal caleg merupakan dokumen palsu.
”Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusannya bahwa syarat masa tunggu selama lima tahun bagi mantan terpidana jika ingin mencalonkan diri sebagai caleg, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. KPU harus jeli menghitung masa jeda lima tahun itu, jangan hanya memeriksa pada surat keterangan tidak pernah dipidana dari pengadilan negeri,” ujarnya.