Popularitas tak menjamin seorang pesohor akan dipilih menjadi wakil rakyat. Pada Pemilu 2019, dari 96 pesohor yang maju pemilu, hanya 14 yang lolos ke DPR. Bagaimana trik dan tip mereka agar lolos ke parlemen?
Oleh
IQBAL BASYARI
·7 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Pesohor yang menjadi anggota legislatif periode 2019-2024, Krisdayanti, bersama Nurul Arifin (kanan) saat hadir dalam pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR dalam sidang paripurna di Gedung Kura-kura, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Tujuh bulan menjelang Pemilu 2019 menjadi hari-hari yang sibuk bagi penyanyi Krisdayanti. Bukan sibuk bernyanyi di panggung-panggung besar nan megah, diva pop Tanah Air itu malah sibuk manggung dari kampung ke kampung. Berbekal pengeras suara portabel seharga Rp 15 juta, kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memberikan suara emasnya kepada konstituen di Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sejak Oktober 2018 hingga pemungutan suara 17 April 2019, perempuan berusia 47 tahun ini bernyanyi dari kampung ke kampung. Tak kurang dari 651 lokasi di 471 desa didatanginya untuk bernyanyi tanpa dibayar sepeser pun. Padahal, jika masyarakat ingin mendatangkan sang diva, mereka mesti merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Lokasi yang didatangi pun tak sembarangan. Ia memilih manggung di rumah warga yang paling sederhana karena kecil kemungkinan mereka mampu mengundangnya bernyanyi. Pendekatan itu juga dipilih sebagai upayanya memanusiakan manusia karena semua warga, tanpa memandang status, berhak menikmati lantunan suara merdunya.
”Pengalaman itu, asli, enggak pernah saya alami sepanjang karier saya bernyanyi selama 30 tahun,” ujar Krisdayanti saat ditemui di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan, akhir Juni lalu.
Kerja-kerja lapangan untuk meyakinkan pemilih sejatinya tak perlu dilakukan Krisdayanti. Sebab, dalam dua survei yang dilakukan pada November 2018 dan Februari 2019, popularitas dan elektabilitasnya mendapatkan hasil tertinggi di antara seluruh calon anggota legislatif (caleg) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur V.
Karena itu, ia memutuskan tidak memasang banyak baliho di jalanan dan pelosok dapilnya. Baliho hanya dipasang masing-masing satu titik di Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang. Baliho itu pun hanya dipasang satu bulan menjelang pemungutan suara.
Perempuan kelahiran Batu itu lebih memilih terjun ke dapil. Langkah itu diambil karena ia menyadari, sekalipun namanya sudah dikenal dan hasil survei menunjukkan potensi keterpilihan tinggi, menyapa calon pemilih merupakan keharusan. Baginya, membangun kedekatan emosional dengan pemilih amatlah penting agar dipilih di bilik suara.
Sama dengan calon anggota legislatif (caleg) lain pada umumnya, Krisdayanti pun melakukan pemetaan dapil untuk menentukan lokasi kampanye. Dari hasil penelusuran tim pemenangannya, ceruk suara diketahui berasal dari kalangan ibu-ibu dan kaum milenial. Sebab, kalangan itu seumuran dengannya, bahkan menjadi penikmat suara Krisdayanti.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Krisdayanti.
Agar tidak saling berebut suara, istri pengusaha Timor Leste, Raul Lemos, itu berbagi lokasi kampanye dengan caleg PDI-P lain di Dapil Jatim V. Langkah itu juga dilakukan karena pencalonannya di Dapil Jatim V membawa misi khusus, mendongkrak perolehan suara PDI-P. Harapannya, perolehan kursi DPR dari PDI-P yang pada Pemilu 2014 hanya dua kursi, bisa bertambah.
Berkat kerja kerasnya, Krisdayanti berhasil lolos ke parlemen. Ia bahkan meraup 132.131 suara sah nasional, tertinggi dari seluruh caleg di Dapil Jatim V. Misi yang diberikan partai pun berhasil dilaksanakan dengan penambahan perolehan kursi DPR menjadi tiga kursi.
Petakan pemilih
Pesohor lain di parlemen, Eko Hendro Purnomo, sepakat popularitas saja tak cukup untuk bisa lolos di parlemen. Harus ada kerja-kerja politik untuk mengonversi popularitas itu menjadi elektabilitas. Sebab, popularitas tinggi belum tentu membawa caleg pesohor mendapatkan kursi DPR.
”Jangan terlena dengan popularitas, kita harus bertemu dengan konstituen,” ucapnya.
Pemetaan dapil menjadi langkah pertama yang dilakukan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu. Sejak pertama kali terjun di dunia politik pada Pemilu 2009, Eko memetakan potensi pemilih di Dapil Jatim VIII.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Politisi Partai Amanat Nasional, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), berjoget saat penyanyi membawakan lagu untuk memeriahkan pembukaan Rapat Kerja Nasional V PAN 2019 di Jakarta, Sabtu (7/12/2019).
Langkah itu juga dilakukan saat ia berpindah ke Dapil DKI Jakarta I pada Pemilu 2019. Pria yang pernah menjadi anggota grup lawak Patrio itu mempelajari karakter pemilih dan penyebab parpol lain bisa mendapatkan kursi di dapil tersebut.
Dalam memetakan pemilih potensial, Eko menggunakan indikator rating dan sharing dalam program-program di televisi. Analisis tersebut menunjukkan, rating acara tertinggi ditonton oleh ibu-ibu. Data itu kemudian dimanfaatkan untuk menggaet pemilih dari kalangan ibu-ibu. ”Kalau saya nyamperin bapak-bapak, yang ada malah milih kagak, diskusi terus. Padahal, masa kampanye sangat terbatas,” ujarnya.
Ilmu saat kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta juga dimanfaatkan untuk melihat ceruk pemilih. Pada awalnya ia menyasar pemilih dari keluarga besarnya di tanah kelahiran di Nganjuk dan meluas ke kalangan ibu-ibu yang sering menontonnya di dunia hiburan dan generasi milenial yang cenderung rasional.
”Jadi, pertama, harus pintar memetakan daerah pemilihan. Kedua, mau capek untuk bertemu dengan pemilih, enggak perlu semua didatangi tapi harus tepat sasaran. Harus ada prioritas,” katanya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Artis sekaligus anggota legislatif terpilih periode 2019-2024, Rieke Diah Pitaloka, mengenakan kebaya saat dilantik melalui Sidang Paripurna MPR di Ruang Rapat Paripurna I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Meski sudah mengantongi strategi jitu, perjalanan Eko di panggung elektoral masih saja terkendala. Nama asli dan nama panggungnya berbeda. Nama Eko Patrio tidak akan ditemukan di surat suara karena nama aslinya adalah Eko Hendro Purnomo. Padahal, khalayak, termasuk ibu-ibu yang menjadi target kampanye, lebih mengenal nama Eko Patrio.
Alhasil, ia harus bekerja keras menyosialisasikan nama aslinya. Soal nama asli itu bahkan menjadi materi kampanye kepada ibu-ibu. Sosialisasi dilakukan dengan menggunakan gimik, seperti membandingkan nama-nama presiden yang mayoritas berakhiran dengan huruf vokal O, sama seperti dirinya.
Ia pun sempat diingatkan untuk mengubah namanya sesuai nama panggung agar lebih mudah dikenal masyarakat. Namun, hal itu tak dilakukan karena ia menganggap nama tersebut merupakan warisan tertinggi yang diberikan oleh kedua orangtuanya. ”Pokoknya yang ribet malah kita jadikan gimik kampanye. Ingat Eko Hendro Purnomo, bukan Eko Patrio,” demikian kampanyenya kala itu.
Pesohor tak hanya sekadar menjadi pengumpul suara untuk parpol, apalagi ada parpol yang menjanjikan modal kampanye, tetapi ujungnya tak mampu meraih kursi. Oleh sebab itu, pesohor mesti bekerja keras terjun langsung menemui masyarakat dan tidak salah menentukan pilihan parpol.
Sementara terkait pemanfaatan alat peraga kampanye, Eko memilih memasangnya di rumah tim pemenangan. Baliho berukuran 1 meter x 2 meter dipasang di depan rumah anggota tim sehingga tetangga sekitar yang juga calon pemilih akan tertarik untuk memilih Eko. Pemasangan di rumah tim pemenangan dianggap lebih efektif dan lebih aman dibandingkan dipasang di luar ruangan.
Eko berharap, pesohor tak hanya sekadar menjadi pengumpul suara untuk parpol, apalagi ada parpol yang menjanjikan modal kampanye tetapi ujungnya tak mampu meraih kursi. Oleh sebab itu, pesohor mesti bekerja keras terjun langsung menemui masyarakat dan tidak salah menentukan pilihan parpol.
Tak cukup popularitas
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan mengatakan, pesohor memang memiliki potensi besar untuk dipilih konstituen. Namun, bukan berarti peluang terpilih dan mendapatkan kursinya tinggi. Sebab, popularitas tak cukup untuk menopang seseorang terpilih, perlu kerja-kerja darat karena popularitas hanya hasil dari kerja-kerja udara.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan.
”Seseorang yang punya popularitas tinggi tidak perlu lagi melakukan serangan udara, tetapi harus melakukan serangan darat dan punya tim yang bergerak di lapangan. Kalau tidak dilakukan, maka potensi menang berkurang,” katanya.
Berdasarkan catatan Litbang Kompas, pesohor yang maju menjadi caleg pada Pemilu 2019 sebanyak 96 orang. Mereka maju melalui delapan partai politik. Partai Nasdem menjadi parpol yang paling banyak mencalonkan pesohor sebagai caleg di Pemilu 2019, yaitu 39 orang. PDI-P berada di urutan kedua dengan jumlah caleg pesohor 15 orang. Namun, dari 96 caleg pesohor hanya 14 orang yang mampu menembus parlemen.
Sementara pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2009, jumlah pesohor yang mengikuti kontestasi masing-masing berjumlah 59 orang. Dari jumlah itu, pesohor yang mampu mendapatkan kursi di Pemilu 2014 hanya 16 orang. Adapun pada Pemilu 2009 dari 59 pesohor, hanya 18 orang yang berhasil lolos.
LITBANG KOMPAS
Caleg pesohor di Pemilu 2019.
Djayadi mengatakan, seseorang akan memilih jika memiliki kedekatan dengan caleg. Oleh sebab itu, pesohor perlu melakukan kerja-kerja politik untuk meningkatkan elektabilitasnya. Sebab, perlu ketokohan yang kuat di tingkat lokal agar mampu dipilih konstituen, sedangkan pesohor belum tentu memiliki ketokohan tersebut atau bahkan ketokohannya lebih rendah dibanding tokoh lokal setempat.
Jika mereka mampu bertransformasi menjadi tokoh lokal yang tidak hanya dikenal dari aktivitasnya di dunia hiburan, potensi terpilih menjadi lebih besar. Namun, jika gagal, ia hanya berperan menjadi pengumpul suara parpol tanpa bisa meraih kursi di parlemen.
Menurut Djayadi, ada persepsi yang sering kali salah di kalangan pesohor karena merasa popularitasnya tinggi. Ada logika yang berbeda ketika menjadi caleg dan pesohor. Jika biasanya mereka diundang dan dibayar, ketika berkampanye mereka harus berinisiatif mendatangi warga tanpa dibayar. Sebab, mereka membutuhkan suara dari penggemar yang kini menjadi konstituennya.
Jika ingin memperbesar peluang lolos, lanjutnya, popularitas pesohor di dapil harus di atas 50 persen dan tingkat kesukaan di atas 70 persen. Itu pun harus ditopang dengan kerja-kerja politik karena belum tentu penggemar rela memilih para pesohor menjadi wakil rakyat.