Masa Reses Usai, DPR Didesak Prioritaskan Bahas RUU Perampasan Aset
DPR akan kembali memasuki masa sidang pada Selasa (16/5/2023) besok. Diharapkan, pada masa sidang ini, DPR memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset yang diusulkan pemerintah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD (tengah) memberikan keterangan pers seusai memimpin rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (14/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat diminta memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana pada sisa masa sidang tahun ini. Tidak ada alasan untuk menunda pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset, karena setiap tahun Indonesia telah kehilangan puluhan ribu triliun rupiah akibat korupsi dan pengembalian kerugian negara belum maksimal.
Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (surpres) berisi usulan pembahasan RUU Perampasan Aset berikut naskah RUU kepada pimpinan DPR pada 4 Mei 2023. Dalam surpres tersebut, Presiden menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo mewakili pemerintah membahas RUU Perampasan Aset bersama DPR.
Namun sampai saat ini, surpres tersebut belum ditindaklanjuti lantaran DPR masih reses. Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan, DPR baru kembali memulai masa sidang pada Selasa (16/5/2023).
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, saat dihubungi di Jakarta, Senin (15/5/2023), mengatakan, jika DPR serius dan memiliki semangat memberantas korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lain, pimpinan DPR harus segera membacakan surpres pembahasan RUU Perampasan Aset pada rapat paripurna pembukaan masa sidang, Selasa besok. Badan Musyawarah (Bamus) DPR juga diharapkan dapat segera menunjuk alat kelengkapan yang akan membahas RUU tersebut bersama pemerintah.
RUU Perampasan Aset, lanjut Alvin, mendesak dibahas karena korupsi masih merajalela. Setiap tahun, negara kehilangan hampir Rp 40.000 triliun akibat tindak pidana korupsi. Namun, kerugian negara yang dikembalikan diperkirakan belum sampai 10 persen dari total kerugian negara.
Bukan hanya itu, RUU Perampasan Aset juga penting untuk memberikandampak hukum lain. Sebab, selama ini, ketentuan yang berlaku di Indonesia belum dapat memberikan efek jera secara maksimal terhadap pelaku korupsi maupun kejahatan ekonomi lainnya.
Pengesahan RUU Perampasan Aset juga diyakini dapat mengubah pendekatan pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya. Jika selama ini pelaku kejahatan dihukum dengan pidana badan, ke depan, dengan adanya UU Perampasan Aset, akan ada alternatif hukuman berupa perampasan aset.
Setiap tahun, negara kehilangan hampir Rp 40.000 triliun akibat tindak pidana korupsi. Namun, kerugian negara yang dikembalikan diperkirakan belum sampai 10 persen dari total kerugian negara
UU Perampasan Aset juga penting untuk meningkatkan kepercayaan pelaku usaha. Sampai saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara G20 yang belum masuk Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang atau Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrorism Financing (FATF). Sebab, Indonesia dianggap belum cukup mempunyai instrumen yang memadai soal kejahatan ekonomi, salah satunya pencucian uang (money laundering).
”Alasan-alasan itu menjadi kontekstual yang sangat penting, bukan lagi menunda, tetapi menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset,” ujar Alvin.
Meski didorong untuk segera dibahas, DPR diharapkan tidak mengesampingkan prinsip partisipasi bermakna dalam pembahasan RUU nanti. Sebab, dalam pembentukan legislasi, yang menjadi poin penting bukanlah semata aspek materiil, melainkan juga aspek formil.
”Selama ini, kan, juga tidak cukup terbuka proses pembahasan di internal pemerintah walau masih awal. Ada gejala-gejala susahnya kami mendapat draf RUU, ataupun mengirim surpres diam-diam. Itu harusnya tidak boleh terjadi dalam proses pembahasan nanti,” kata Alvin.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD (tengah) memberikan keterangan pers seusai memimpin rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Jumat (14/3/2023).
Apalagi, jika dilihat dari aspek materiil, diperkirakan akan ada tarik-menarik kepentingan politik dalam pembahasan RUU Perampasan Aset. Karena itu, partisipasi publik penting untuk dibuka lebih luas dan transparan serta melibatkan secara aktif masyarakat sipil, akademisi, dalam pembahasan.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menjelaskan, penunjukan alat kelengkapan yang akan membahas RUU Perampasan Aset akan diputuskan dalam rapat Bamus atau rapat konsultasi pengganti Bamus yang diikuti pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi.
”Kalau PPP, sih, berharap rapat-rapat tersebut nantinya menunjuk Komisi III yang akan membahas RUU Perampasan Aset karena selain penegak-penegak hukum utama itu adalah mitra Komisi III, maka Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mitra Komisi III,” ujar Arsul.
Semua kementerian/lembaga yang akan menjadi pemangku kepentingan dalam perampasan aset juga bakal diawasi oleh Komisi III. Di samping itu, materi RUU juga merupakan masalah penegakan hukum yang juga menjadi domain pengawasan Komisi III.
RIAN SEPTIANDI
Arsul Sani
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, sependapat dengan Arsul. Menurut dia, akan lebih tepat jika RUU Perampasan Aset dibahas Komisi III karena terkait dengan penegakan hukum. Substansi RUU itu juga ditujukan untuk memperkuat penegakan hukum, utamanya korupsi. RUU itu pada pokoknya akan mengatur alternatif hukuman bagi para pelaku tindak pidana berupa pengembalian aset tanpa melalui putusan pengadilan.
Regulasi itu juga membuka peluang bagi negara untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana (proceed of crimes) dan aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana.
Selain itu, muatan pokok materinya juga mengatur beberapa hal. Pertama, tata cara penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan perampasan aset tindak pidana. Kedua, wewenang mengajukan permohonan perampasan aset dan wewenang pengadilan untuk mengadili secara keperdataan yang diwakili oleh jaksa pengacara negara. Ketiga, pengelolaan aset rampasan oleh Jaksa Agung. Keempat, ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan. Kelima, perlindungan terhadp pihak ketiga yang beritikad baik.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, pimpinan DPR akan memproses surpres terkait pembahasan RUU Perampasan Aset sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Pada prinsipnya, DPR tidak akan menghambat proses pembahasan itu.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat diwawancarai wartawan di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/2/2021).
”Jadi, kami akan ikuti mekanisme yang ada di DPR untuk melakukan proses-proses undang-undang apa pun yang masuk di prolegnas (program legislasi nasional) sesuai dengan mekanisme yang ada,” tutur Dasco.
Terkait proses pembahasannya, DPR juga tidak ingin asal cepat dan terburu-buru. Pembahasan akan dilakukan secara komprehensif dan hati-hati karena RUU ini juga menyangkut beberapa aturan yang mesti disinkronkan.
”Jadi kalau kami tidak hati-hati, tentunya akan menimbulkan dinamika yang ada. Makanya, cepat atau lambat, itu nanti tergantung di pembahasan dan juga tergantung DIM (daftar inventarisasi masalah) dari pemerintah tentunya, kan, begitu,” ucap Dasco.