Secuil Perhatian bagi Korban Kala Menanti Negara Penuhi Janjinya
Di tengah pemerintah belum merealisasikan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat, masyarakat sipil telah memulainya. Meskipun wujudnya tak terlampau besar, sebatas sembako dan THR, hal itu berarti bagi korban.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Senyum Tuba (79), korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, merekah saat menerima sebungkus bantuan bahan pokok dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat (14/4/2023) petang. Namun, seketika senyum itu berubah menjadi tangis haru saat dia mengingat lagi getir kehidupan sebagai eks tahanan politik 1965. Bertahun-tahun, dia hidup dalam keterbatasan karena lekatnya stigma di masyarakat.
Bantuan itu diterima Tuba bersama dengan 49 korban pelanggaran HAM berat lainnya dalam acara buka puasa bersama yang diadakan di kantor Kontras, Jakarta Pusat. Bantuan itu terasa hadir lebih nyata dibandingkan dengan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat yang dijanjikan pemerintah seperti diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Dalam kesempatan itu, mereka berkumpul sejak sore untuk menikmati sajian buka bersama, yaitu kolak dan nasi kotak. Sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing, Kontras memberikan bantuan berupa paket bahan pokok (sembako) dan tunjangan hari raya (THR). Dana kemanusiaan itu dihimpun melalui sejumlah platform yang digerakkan oleh Kontras dan jejaringnya.
Tuba tak kuasa menahan tangis saat ditanya tentang perasaannya setelah menerima paket sembako dan amplop THR dari Kontras. Bagi ayah dua anak itu, uluran bantuan dari Kontras sangat berarti. Sebab, selama ini, menurut Tuba, bisa dibilang hanya Kontras yang paling memedulikan nasib para korban pelanggaran HAM berat menjelang hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah.
Di usia senjanya itu, Tuba sudah tidak lagi bekerja. Beragam penyakit yang menghinggapi, mulai dari jantung, ginjal, hingga darah tinggi, membuat fisiknya terbatas. Sehari-hari, dia mengandalkan biaya hidup pada penghasilan kedua anaknya. Sebab, setelah keluar jadi tapol 1965, dia sulit mendapatkan pekerjaan karena di KTP-nya terdapat keterangan ET atau eks tapol.
”Setelah saya bebas tahun 1979, saat itu masih diawasi terus. Saya bekerja sebagai buruh lepas di dinas perikanan. Itu pun selalu dipersekusi, selalu dikejar-kejar, bahkan diejek,” tutur Tuba sembari terisak.
Kata-katanya selalu terhenti ketika menceritakan pengalaman getir tersebut. Perasaannya tak kuasa mengingat luka batin yang terus membayangi hidupnya sampai sekarang.
Kusmiyati (60), orangtua yang kehilangan anaknya pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, juga merasa terbantu dengan program yang dibuat Kontras tersebut. Ibu empat anak itu kehilangan anak pertamanya, Mustofa (14), dalam kerusuhan di Mal Yogya Klender, Jakarta Timur.
Saat itu, anak sulungnya itu masih duduk di kelas VIII SMP. Keluarga Kusmiyati merasa terpukul setelah mendapati putra satu-satunya menjadi korban kerusuhan 1998 itu. Suaminya yang semula bekerja sebagai buruh bangunan menjadi kurang bersemangat. Butuh waktu bertahun-tahun sampai keluarganya kembali hidup normal. Kini, suaminya juga telah meninggal.
”Sekarang, saya numpang tinggal di mes pabrik tempat anak saya bekerja. Untung saja diperbolehkan oleh bosnya. Saya tidak pernah punya rumah. Dari dulu saya selalu pindah-pindah kontrakan. Sekarang, karena sudah tua, tidak kuat lagi bekerja cuci-gosok di rumah orang. Saya numpang dengan anak,” tuturnya.
Sejak 2009, Kontras menghimpun dana publik untuk membantu korban pelanggaran HAM berat. Dana itu dihimpun melalui berbagai jenis kegiatan.
Himpun dana publik
Sejak 2009, Kontras menghimpun dana publik untuk membantu para korban pelanggaran HAM berat. Dana itu dihimpun melalui berbagai jenis kegiatan. Mulai dari program masak-memasak bersama sponsor (kitchen takeover), konser musik, hingga bazar cuci gudang. Tiga tahun terakhir, Kontras juga memanfaatkan platform penggalangan dana secara daring bernama Kitabisa.com.
Ketua Pelaksana Ramadhan for Human Rights (R4HR) dari Kontras Annisa Azzahra mengungkapkan, di platform tersebut, Kontras menggagas penggalangan donasi publik untuk membagikan rezeki dan menghadirkan kebahagiaan bagi korban pelanggaran HAM berat. Wujud kebahagiaan itu berupa solidaritas, kepedulian, untuk mewujudkan ketahanan dan penguatan kepada korban pelanggaran HAM dalam momen Ramadhan.
”Kontras juga mendapatkan sumbangan dana dari para pekerja sendiri, alumni, hingga jejaring ataupun donatur rutin,” ujar Annisa.
Sejauh ini, bantuan tersebut tidak hanya digunakan untuk tunjangan hari raya. Dana juga diendapkan untuk membantu korban pelanggaran HAM berat yang disebutnya mengalami pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah sebuah upaya sistematis, terstruktur, yang dilakukan negara, bisa juga berupa pembiaran yang membuat kelompok tertentu sulit untuk memperbaiki nasibnya.
Dana digunakan juga untuk membantu pengobatan korban pelanggaran HAM berat. Sejauh ini yang menjadi sasaran penerima bantuan Kontras adalah sembilan kelompok.
Sebut saja korban pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II 1998-1999, Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, pelanggaran HAM di Aceh pada masa konflik 1998-2003, hingga kelompok korban HAM isu alih fungsi dan penyerobotan lahan yang terjadi di Wadas, Sangihe, Pancoran Buntu, ataupun kelompok korban peradilan sesat, seperti Yusman Telembauana, Deki Susanto, dan Dani Susanda.
”Sembako hanya diberikan kepada mereka yang berdomisili di Jakarta. Untuk mereka yang di luar Jakarta, bantuan kami berikan melalui transfer bank senilai Rp 500.000,” kata Annisa.
Untuk donasi di tautan https://kitabisa.com/campaign/manikr4hr/story akan dibuka hingga Mei mendatang. Kontras menargetkan bantuan mencapai Rp 30 juta dari kanal tersebut. Saat ini, target itu belum juga mencapai 50 persen.
Jika dana terkumpul sesuai target dan lancar, Kontras juga berencana memberikan semacam program beasiswa untuk generasi kedua korban pelanggaran HAM berat, atau anak-anak dan keluarganya. Menurut Annisa, Kontras terus menjalankan program bantuan itu karena selama ini mereka masih kesulitan mengakses bantuan dari pemerintah. Selain itu, program pemerintah juga sering berhenti secara mendadak.
Jika dana terkumpul sesuai target dan lancar, Kontras juga berencana memberikan semacam program beasiswa untuk generasi kedua korban pelanggaran HAM berat.
Korban Peristiwa 1965 atau G30S, misalnya, kesulitan mengakses bantuan dari pemerintah karena masih tebalnya stigmatisasi. Sampai sekarang, walaupun Presiden Joko Widodo menyatakan telah mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, para korban peristiwa itu masih dianggap kelompok yang ingin mengudeta pemerintah yang sah saat itu.
”Program dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebenarnya juga sudah ada, tetapi tidak bisa menjangkau semuanya karena pendanaan yang kurang,” ujar Annisa.
Presiden Jokowi pada awal Maret lalu pun sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Selain Inpres, Presiden juga menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Keberadaan dua payung hukum itu sebenarnya diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan rekomendasi dari tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PPHAM) yang banyak diapresiasi publik. Rekomendasi itu seperti pembangunan tugu memorabilia, pelurusan sejarah, hingga pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara ekonomi, sosial, dan budaya.
Namun, hingga saat ini, realisasi rekomendasi itu belum juga tampak. Ketika negara tidak bisa bekerja cepat memulihkan hak-hak korban, kerja-kerja senyap masyarakat sipil hadir memberikan secercah harapan bagi korban yang telah menunggu sekian lama....