Korban Pelanggaran HAM Berat Menanti Realisasi Pemulihan Hak
Korban dan keluarga korban juga berharap agar pelurusan sejarah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan pembangunan tugu memorabilia bisa direalisasikan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/3/2023). Aksi ini rutin digelar setiap Kamis untuk mengingatkan negara agar menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah dibentuk 15 Maret lalu, Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat bentukan Presiden Joko Widodo berencana menggelar rapat perdana dengan 19 kementerian/lembaga pada pekan pertama April.
Keluarga korban dan korban pelanggaran HAM berat masa lalu berharap program pemulihan hak-hak korban seperti direkomendasikan oleh Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (PPHAM) dan ditindaklanjuti Presiden bisa segera direalisasikan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga ditunjuk sebagai Ketua Tim Pengarah Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM menyampaikan rencana rapat perdana itu saat dihubungi pada Jumat (24/3/2023).
Rapat sekaligus diharapkan dapat langsung menyusun agenda terpadu untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM.
Wakil Ketua Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM Makarim Wibisono mengatakan, rapat bersama untuk menindaklanjuti instruksi dan keputusan Presiden penting untuk segera digelar agar harapan korban pelanggaran HAM berat masa lalu bisa terpenuhi. Ditambah lagi, masa kerja tim pemantau seperti tertuang di Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 hanya berlaku hingga akhir 2023.
”Kami berharap rapat perdana dulu untuk menjelaskan apa yang harus kami laksanakan. Sekarang kami belum tahu langkah-langkah yang harus dilakukan karena belum pernah bertemu,” katanya.
Makarim yang dulu memimpin Tim PPHAM juga akan mengawal seluruh rekomendasi tim diimplementasikan. Salah satu rekomendasi yang belum terakomodasi di dalam inpres adalah pelurusan sejarah. Padahal, hal itu sangat fundamental dan substantif bagi korban dan keluarga korban. Pelurusan sejarah dapat menjadi ajang rekonsiliasi nasional jika dilakukan secara komprehensif.
”Tentunya, dalam rapat akan kami klarifikasi tentang rekomendasi pelurusan sejarah itu. Ini sangat penting karena bisa menjelaskan mengenai duduk perkara pelanggaran HAM berat masa lalu,” ucapnya.
TANGKAPAN LAYAR YOUTUBE PPAD TNI TV
Makarim Wibisono
Terkait dengan permintaan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil untuk merilis laporan lengkap Tim PPHAM, Makarim menyebut laporan itu sudah diserahkan langsung kepada Presiden. Artinya, bolanya berada di pemerintah, apakah bisa dibuka kepada publik atau tidak.
Sementara itu, keluarga korban pelanggaran HAM berat berharap program pemulihan hak-hak korban dan keluarga korban bisa segera direalisasikan oleh negara.
Sekretaris Jenderal Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) Zaenal Muttaqin menuturkan, sudah banyak komunitas korban dan keluarga korban yang menggelar rapat atau pertemuan untuk menyikapi terbitnya inpres dan keppres tersebut.
Mereka mulai aktif mencari informasi hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk mendapatkan hak-hak dari negara. Korban juga proaktif meminta surat keterangan korban (SKK) atau surat keluarga korban pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah foto korban pelanggaran HAM berat masa lalu, beberapa di antaranya perempuan, dipampang saat aksi Kamisan ke-767 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/3/2023).
”Kami menunggu program riil dari pemerintah. Sembari menunggu, kami juga berdiskusi dengan masyarakat sipil untuk membekali diri mengawal jalannya program tersebut,” kata Zaenal.
Zaenal berharap 19 kementerian/lembaga dan tim pemantau segera bekerja, terutama untuk mendata dan memverifikasi korban pelanggaran HAM berat. Ini akan membutuhkan waktu karena belum ada lembaga yang memiliki data valid terkait jumlah korban dari 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Korban disebutnya membuka diri untuk dikontak dan bekerja sama dengan tim verifikator agar proses identifikasi korban bisa diakselerasi. Korban bahkan bersedia mendampingi tim verifikator saat mendata korban dan keluarga pelanggaran HAM berat.
Korban juga berharap sekitar 5.500 korban dan keluarga korban yang telah mendapat SKK dari Komnas HAM diprioritaskan. Sebab, jika program harus menunggu pendataan seluruh korban dikhawatirkan akan memakan waktu lama. Padahal, tim hanya bertugas sampai 31 Desember 2023. Korban berharap akhir tahun 2023, program sudah tuntas. Sebab, 2024 sudah masuk tahun pemilu, di mana fokus dan perhatian pemerintah pasti akan terkuras ke sana.
Suasana para aktivis saat mengikuti aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/2/2023).
”Kami berharap tim segera bertemu dan menyosialisasikan apa yang harus dipersiapkan korban untuk mendapatkan hak-hak pemulihan,” katanya.
Zaenal Muttaqin menambahkan, korban dan keluarga korban juga berharap agar pelurusan sejarah dan pembangunan tugu memorabilia bisa direalisasikan. Sebab, belajar dari pengalaman tugu peringatan peristiwa 1998 di Pondok Rangon, hal itu efektif untuk mengurangi stigmatisasi terhadap korban. Tugu juga bisa menjadi simbol pengakuan atas kekejian masa lalu sekaligus peringatan agar tak terulang kembali di masa depan.
”Soal pelurusan sejarah dan pembangunan tugu memorabilia itu sangat penting. Kami minta supaya rekomendasi itu tetap dijalankan meskipun secara eksplisit tidak ada di inpres,” ujarnya.